webnovel

bab 8

selama perjalanan Vanilla benar-benar terdiam setelah mendengar perkataan Devano tadi. Bingung, itulah yang Vanilla rasakan. apalagi dengan sikap Devano sekarang yang benar-benar berbeda dari biasanya. lelaki iti tampak lebih dingin dan tidak banyak bicara.

sesampainya di hotel pun Vanilla hanya diam, meskipun ia kembali di gendong oleh Devano. tidak ada ucapan terimakasih yang keluar dari bibirnya, karena Devano terlihat sibuk sendiri.

"huh, sialan. kenapa gue jadi kepikiran Devano?" batin Vanilla

karena tidak mau terlalu larut dengan perkataan terakhir lelaki. Vanilla memilih untuk langsung tidur, kalinya masih terlalu sakit karena luka. jadi ia tidak ingin mengganti baju ataupun sekedar cuci muka.

"shhh" Vanilla sedikit terganggu karena lututnya terasa sangat perih

dengan berat hati ia membuka matanya yang sudah sangat berat, ia baru bisa terlelap tapi rasa sakit pada kakinya mengganggu. alangkah terkejutnya saat ia melihat Devano tengah mengobati luka di lututnya yang belum ia bersihkan sama sekali.

"kalo ada luka harusnya di bersihkan dulu, atau di obati. bukannya malah tidur gitu aja! katanya mahasiswa kedokteran, kenapa gak bisa menerapkan hidup sehat untuk diri sendiri?" ujar Devano,

Vanilla terdiam saat mendengar perkataan Devano, dia memang mahasiswa kedokteran. tapi itu karena kemauan sang ayah, ia tidak ingin menjadi seorang dokter atau apapun yang berhubungan dengan kedokteran.

"kuliah kedokteran itu kemauan Papa, gue cuma menuruti apa aja yang papa mau semenjak Mama meninggal. Dan gue emang gak pernah membersihkan luka apapun yang ada pada diri gue, karena gue takut merasakan perih." jelas Vanilla, matanya tampak menerawang ke masa lalu. dimana ia dan sang Ayah tengah bernegosiasi untuk membicarakan jurusan yang akan Vanilla ambil.

"lain kali obati dulu, atau sekedar disiram pake air. supaya luka lo bersih meskipun gak di obati!" nasehat Devano

Vanilla menggeleng, senyum tipis terlihat dari bibirnya. membersihkan luka dan mengobati? itu tidak akan pernah terjadi. sejak kecil Vanilla selalu dibantu untuk mengobati luka yang ada oleh mendiang sang ibu dan juga oleh sahabat kecilnya yang entah dimana. sejak kedua orang itu pergi, tidak pernah sekalipun luka yang Vanilla dapatkan di obati. ia akan membiarkan luka itu hilang sendiri.

"gue gak bisa! biar aja luka itu nanti hilang sendiri, toh gue gak akan mati." ujar Vanilla enteng

Devano menatap Vanilla tak percaya, gadis itu bahkan tidak peduli jika terjadi sesuatu karena luka kecil. Devano beranjak dari duduknya, lalu ikut duduk di ranjang agar berhadapan dengan Vanilla.

"gue mohon, ubah kebiasaan buruk itu Vanilla. kalo lo gak bisa obati sendiri, lo bisa minta tolong sama gue!" pinta Devano, tatapannya sendu berbeda dari biasanya

"gue gak mau merepotkan orang lain dan bergantung sama orang lain. jadi jangan paksa gue buat obati luka yang ada!" tolak Vanilla, tangannya dengan sendirinya bergerak mengelus pipi Devano pelan

Devano memegang tangan Vanilla yang ada di pipinya, merekat pelan tangan mungil itu. matanya tertutup kuat karena bayang-bayang masalalu berputar dalam ingatannya.

"Devano, lo kenapa?" Vanilla panik ketika merasakan tangan Devano bergetar hebat

perlahan tubuh Devano semakin meringkuk di lantai, dengan tubuh bergetar dan keringat dingin yang membasah seluruh tubuhnya. Vanilla bingung harus berbuat apa karena Devano tak kunjung menjawab dirinya.

grep

Vanilla terpaku saat Devano memeluk kakinya dengan begitu erat. perlahan Vanilla melepaskan pelukan Devano pada kakinya dan menggantikan dirinya yang memeluk lelaki itu.

"Dev, lo kenapa?" bisik Vanilla dengan suara lembut

"Obati luka, jangan matii"

"Dev, Devano bangun!" Vanilla menepuk-nepuk pelan pipi Devano

lelaki itu hilang kesadaran setelah mengatakan obati luka dan jangan mati. Vanilla benar-benar panik dan khawatir karena Devano tiba-tiba pingsan.

Vanilla berusaha menaikkan tubuh besar Devano ke atas ranjang dengan susah payah, meskipun itu akan sedikit menyakitkan. tapi harus dilakukan agar Devano tidak tergeletak begitu saja di pingsan

"duh, Devano sebenernya lo kenapa? masa iya gara-gara liat luka gue gak di obati, kan lucu?" gumam Vanilla

melihat Devano belum mengganti pakaiannya, Vanilla berinisiatif untuk menggantikan baju yang di kenakan suaminya. dengan telaten, Vanilla juga mengelap tubuh kekar Devano. melepaskan sepatu dan membersihkan kaki sang suami.

"sebenernya lo kenapa Dev? kenapa sampe pingsan cuma gara-gara gue gak mau obati luka?" bisik Vanilla sambil mengelus pelan pipi Devano

"dan apa maksud ucapan lu minta gue untuk buat lo jatuh cinta ke gue? apa lo udah mulai menerima gue sebagai istri lo? dan apa lo akan berubah? gak akan lagi jadi lelaki brengsek yang suka main perempuan?" tanya Vanilla

"kalau itu bener, gue akan berusaha untuk bantu supaya lo gak lagi main perempuan dan berubah jadi lelaki yang lebih baik. gue juga janji akan selalu menemani lo dalam keadaan apapun! tapi gue takut permintaan lo itu hanya untuk mempermainkan perasaan gue aja Dev. gue masih gak berani untuk membuka hati, lo terlalu brengsek." setelah mengeluarkan begitu banyak pertanyaan, Vanilla mulai merasakan matanya kembali berat. perlahan kedua mata indah itu tertutup membawa Vanilla ke alam mimpi. dengan posisi Vanilla yang sekarang, yaitu berada di sebelah Devano sambil memeluk lelaki itu sari samping.

kiri keduanya tidur saling memeluk, Devano tanpak nyaman ketika Vanilla semakin mengeratkan pelukannya. sungguh seperti pasangan suami istri yang saling melengkapi.

tepat jam tiga pagi, Devano terbangun dari tidurnya saat merasa kepalanya tiba-tiba pusing. perlahan Devano bergerak ingin bangun dari ranjang dan meminum segelas air putih, hal yang sering ia lakukan ketika pusing tiba-tiba. gerakannya yang akan duduk terhenti saat merasakan tangan Vanilla melingkar sempurna di perutnya. melihat wajah cantik Vanilla sedang tidur sangat damai membuatnya tidak tega jika mengganggu tidur gadis itu. akhirnya Devano kembali tiduran, mengurungkan niatnya untuk mengambil segelas air putih.

***

sinar matahari mulai menampakan diri, memberikan penerangan pada bumi. satu-persatu orang mulai bangun untuk menyambut pagi yang cerah untuk melakukan aktivitas masing-masing. begitu juga dengan pasangan suami istri yang masih asik berpelukan hangat di dalam selimut.

euh

lenguh Vanilla, perlahan mata cantiknya terbuka. pemandangan pertama yang di lihatnya adalah wajah tampan sang suami, lelaki itu tanpak begitu damai dengan kedua mata tertutup. nafasnya teratur menandakan tidurnya masih begitu nyenyak.

perlahan, Vanilla bangun dari tidurnya. ia segera bangkit dari ranjang, meninggalkan Devano. setelah mencuci wajahnya, Vanilla membuka jendela kamar hotelnya agar bisa merasakan udara segar.

"indahnya pemandangan Paris di pagi hari." gumamnya sambil menyesap secangkir air hangat untuk menghangatkan tubuh

samar-samar telinganya menangkap suara lenguhan dari Devano, lelaki itu terlihat semakin mencari kenyamanan di atas bantalnya. Vanilla menggeleng pelan kepalanya melihat kelakuan CEO yang sering bangun siang.

"daripada nungguin Devano, mending gue mandi." gumam Vanilla

senyumnya mengembang ketika melihat Devano semakin membenamkan wajahnya pada bantal.

"tidur yang nyenyak, suami!" bisik Vanilla, sambil mengelus pelan rambut Devano

setelah mengatakan itu Vanilla berjalan menuju kamar mandi sambil tersenyum. sejak membuka matanya tadi pagi, Vanilla terus kepikiran dengan yang Devano katakan. agar Vanilla mencintai lelaki itu.

"apa mungkin Devano akan benar-benar berubah? tapi kenapa hati ini terus mengatakan agar tidak percaya pada Devano. kenapa ada rasa bimbang yang selalu gue rasakan untuk membuka hati buat Devano. apa memang dia gak akan berubah?" pertanyaan-pertanyaan itu terus terngiang di dalam kepala Vanilla

dibawah guyuran air shower, Vanilla terus memikirkan hubungannya dengan Devano kedepannya. jika memang tidak berjodoh, apa mereka harus hidup bersama hanya karena permintaan orang tua? bisakah mereka berpisah jika seandainya tidak berjodoh?

"gue bimbang sama Devano, tapi gue percaya dia bisa berubah."