webnovel

ELIKYA Number Zero : The Unknown Brave Hero

Tenza seorang anak berumur 16 tahun memulai SMA nya di negara baru bernama Elikya. Elikya adalah sebuah negara yang dibangun pada tahun 2080 dan selesai pada tahun 2086. Elikya dibangun atas persetujuan pemerintah dari seluruh dunia. Elikya hanya dapat dihuni oleh orang orang yang memiliki prestasi dan potensi. dua puluh tahun semenjak didirikan Elikya, akhirnya pemerintah memberikan kesempatan bagi mereka yang masih ada pada tahap sekolah untuk menunjukan kemampuan mereka untuk menjadi yang terbaik sehingga mereka dapat diberikan kesempatan untuk belajar disana. Dan disinlah akhirnya Tenza. Tenza sang anak yang berhasil masuk Elikya pada tahun 2110 tersebut menikmati kesehariannya di sekolah barunya itu. Tetapi ada satu hal yang janggal ketika dia menyadari bahwa kejadian yang dia hadapi saat ini pernah dia alami sebelumnya. "Apa yang sedang terjadi saat ini?"

Meong_Cat · Fantasi
Peringkat tidak cukup
34 Chs

Arc 2 - Chapter 7 - 1/2 (Ayah Reina)

"Dua...p.puluuh...semb..ilaan....T..tiga..puluuhh..."

Tenza langsung merubuhkan tubuhnya ke atas lantai, memutar tubuhnya yang tengkurap hingga terbaring di atas lantai, menunjukan keletihannya di ruangan gymnastic ini.

Setelah perjuangan yang berat, target yang di berikan pelatih akhirnya tercapai juga olehnya. Merentangkan kedua tangannya, dada Tenza terlihat naik turun ketika dirinya mengambil nafas terengah engah. Keringat bercucuran keluar dari seluruh tubuhnya.

"Hanya sampai tiga puluh saja sudah selelah ini?"

"Haahh...Haahh...Haah..." 

Tenza tidak merespon perkataan laki laki berkulit coklat ini, dia terlalu sibuk dengan pengambilan nafasnya yang sudah tidak beratur. Pelatih menghela nafas terhadap fisik Tenza yang benar benar lemah.

Sudah terlewat dua hari semenjak pelepasan gips di tangan kanannya. 

Dari awal tujuan dia melatih tubuhnya adalah untuk memperkuat otot lengannya. Tapi karena konflik yang pernah terjadi saat itu, ketika sebuah tongkat baseball besi meluncur keras ke arah lengannya itu, telah membuat tangan kanannya patah. Jadi karena itu Tenza pikir dia akan melatihnya saat tangannya sembuh.

Mengingat dirinya yang gagal melumpuhkan Pria besar berjaket parka hijau itu, membuat dari dalam dirinya dipenuhi dengan perasaan kesal. 

"Melihat fisikmu yang selemah ini...hah..kau benar benar butuh banyak latihan Tenza."

Mungkin memang pria itu tidak bisa merasakan sakit, tapi itu bukan artinya tubuhnya tidak dapat terluka sama sekali. Ketika mengingat hari itu, Tenza ingat dirinya telah berhasil meluncurkan banyak serangan dengan tongkat baseball logamnya, tapi tidak ada dampak kecil yang terlihat terhadap tubuh pria itu. Padahal dia sudah mengerahkan seluruh tenganya saat itu.

Sedangkan ketika Pria itu berhasil merebut tongkatnya, dia berhasil mematahkan tangan kanannya dan berhasil membocorkan kening sebelah kirinya hingga meninggalkan bekas hanya dengan satu pukulan keras.

Bekas luka yang melengkung masuk itu ia tutupi dengan poni rambutnya yang masih pendek, jadi apa yang ia lakukan sebenarnya tidaklah terlalu berguna untuk menutupinya.

Meski begitu Tenza sudah sadar dengan kelemahan fisiknya, oleh karena itu dia berusaha untuk tidak terlibat dengan perkelahian atau konflik apapun. Itu dapat diketahui dengan menyadari bahwa Tenza belum pernah berbicara kepada Chad sejak pengulangan terakhir.

Itu terjadi semenjak Tenza ingat bahwa dia pernah terhantam pukulan oleh tangan Chad pada siang hari sebelum kejadian tidak diinginkan itu terjadi. Sehingga berhasil membuat mata kirinya lebam biru.

Tapi untuk kasus pembunuhan Reina, meski dia sudah mengetahui apa yang akan terjadi keesokan harinya terhadap Reina berkat pengulangan yang tiba tiba terjadi, dia harus mengesampingkan pendiriannya dan memasuki zona bahaya itu.

Meski pada akhirnya, dia gagal melakukannya. 

***

Tenza memasukan lipatan baju olahraganya ke dalam tas selempangan barunya. Sudah terlewat dua jam semenjak dia memulai pelatihan fisiknya. Dan saat ini jam pada smartphonenya telah menunjukan puku 14.02.

Seharusnya sesuai dengan perjanjian bersama, Tenza harus segera pergi dari ruangan loker ini dan berjalan menuju lokasi pintu depan sekolah. Sepertinya saat ini teman teman sekelasnya sudah menunggu dirinya untuk berangkat pulang bersama. lagi pula perumahan yang mereka tinggali juga sama, sehingga mereka memutuskan untuk pulang bersama. hanya saja Tenza dan lainnya akan berpisah menciptakan 3 kelompok tepat di persimpangan pertama yang mereka dapati saat memasuki gerbang masuk.

Tenza memasangkan tas selempangan hitam berukuran sedang itu ke badannya. Dengan begini dia sudah selesai berkemas dan siap pergi menuju di mana teman temannya sedang menunggu. 

Tenza berjalan lalu membuka pintu keluar dari ruangan ini, setelah itu melangkah keluar dan berjalan menuju di mana teman temannya sedang berkumpul dan menunggu dirinya. 

Semenjak Tenza memutuskan pelatihannya, dia selalu pulang bersama teman temannya. Itu karena waktu selesainya Tenza melakukan pelatihan dan waktu selesainya kelas tambahan mereka sama, yaitu pukul 14.00. 

Semenjak saat itu, di saat perjalanan pulangnya, ketika Tenza dan lainnya sudah sampai di depan gerbang masuk perumahan ini, Tenza selalu melirik ke arah pos penjaga di dekat gerbang masuk. 

Dia tidak menemukan paman Ando di sana, seorang petugas yang ditugaskan untuk menjaga pintu gerbangnya sebelumnya. Ada dua petugas lain yang sudah menggantikan dirinya. Jika apa yang dikatakan oleh polisi yang pernah datang saat Tenza masih di rawat di rumah sakit itu benar, maka paman tersebut seharusnya sudah meninggal terbunuh di tangan Jason.

"Kau lama sekali Tenz..." Seorang perempuan berujar kepadanya, dari caranya menyingkat paksa namanya, Tenza mengetahui siapa yang berkata itu, dia adalah Youra, seorang perempuan yang memiliki tempat duduk tepat di sebelah kanannya. Sedangkan Tenza hanya menampakan ekspresi datar dan menghela nafas kepada mereka semua yang melirik ke arah dirinya ketika dia menampakan batang hidungnya.

"Haah...Tentu saja, sepertinya mulai hari ini latihannya akan semakin bervariasi dan lebih berat." Lirihnya. Alex melirik ke arah tangan laki laki itu, terlihat kedua tangannya yang bergetar dengan jari jarinya yang menyentuh tas selempangannya.

"Aku lihat kau sudah memulai melatih tanganmu." Matanya kembali mengarah ke wajahnya, mencoba untuk menebak apa saja yang sudah Tenza lakukan di saat pelatihannya.

"Yah kau benar." Tenza mengangguk. Ada wajah yang berekspresi seperti 'Yes aku benar!' di antara mereka. Namun tidak ada yang peduli dan menyadarinya.

Tenza menatap kepada mereka semua, melihat siapa saja yang sudah datang berkumpul di tempat ini, berdiri dan menunggu dirinya selesai mengemas pakaian olahraganya. 

Di sana terdapat Alex, Nick, Ning, Youra dan Elena. Berarti yang belum datang kemari adalah Niklas dan Michiko. Sepertinya mereka berdua sedang sibuk dengan tugas tugas mereka. Chad tentunya sudah pulang semenjak jam 12 siang tadi. Jadi hiraukan saja laki laki yang pernah memukul wajahnya hingga lebam tersebut.

"Oh ya Tenza..." Nick tiba tiba Berbicara. Youra dan Elena mengalihkan pandangannya ke satu arah, tentunya bukan dialah yang mereka berdua pandangi. Tenza menyadari gerak gerik kedua perempuan itu, matanya menatap ke arah yang sama dari tolehan mereka. 

"..Sepertinya pria itu ingin berbicara tentang hal penting denganmu." Nick kemudian melanjutkan.

Matanya kembali beralih kepada Nick. Melihat Laki laki itu teralih juga menampak ke arah yang sama dengan Youra dan Elena lakukan, dan kemudian diikuti oleh Alex. Ning masih menghadap Tenza, melihat ekspresi yang dihasilkan oleh laki laki pendek itu, sedang tampak kebingungan.

Seingatnya dia tidak memiliki agenda dengan teman temannya atau orang lain.

Tenza melihat ke arah yang sama dengan apa yang dilakukan keempat temannya. Pandangannya menghadap ke arah seorang laki laki dengan kemeja abu abu gelap dengan strip hitam di sana. Dia sedang terduduk di atas kursi logam panjang. Karena kedatangan Tenza sebelumnya, sepertinya dia menoleh ke arahnya.

Rambutnya hitam kecoklatan dengan mata coklat terang. Tangan kanannya sedang merangkul sebuah jaket kulit hitam. Dia menoleh kemari, tiba tiba dia berdiri dan berjalan mengarah kepada dirinya.

Alex mendekatkan kepalnya ke telinga Tenza dan berbisik. "Dia adalah ayah dari Reina. Sepertinya dia sedang mencari mu." Menerangkan kepadanya dengan singkat dan padat. 

"Ayahnya?" Tenza terkejut, memutar cepat pandangannya ke arah Alex. Entah apa yang harus di takutkan, tapi dia menelan air ludahnya seperti bersiap siap untuk menghadapi bencana besar.

Dia terus melangkah mendekat kepadanya, menatap ke arah Tenza dan berhenti tepat ketika beberapa langkah lagi pria itu akan menempel dengan dirinya. Mata Tenza menaik ke atas karena tinggi tubuh pria dewasa itu. Dia menelan lagi air ludah di dalam mulutnya.

"Selamat siang." Ucapnya memulai pembicaraan.

Tenza mengangguk canggung. "S.selamat siang juga." Keringat dingin perlahan muncul dari pori pori.

"Apakah kau yang bernama Tenza?" Tanya Pria tinggi ini. Tenza kembali mengangguk. "I..iya." 

Bayangan pada wajahnya yang tersenyum, dan sinar tajam yang sepertinya muncul dari matanya yang mengintimidasi, terasa seperti pemburu yang sedang menatap mangsanya. 

Tubuh anak ini bergetar, mangsa yang dimaksud orang itu adalah dirinya.

Tenza tidak bisa menyembunyikan ketakutan dan kecanggungannya terhadap orang ini. Kakinya bergetar ketika matanya dengan keterpaksaan harus memandang wajah pria itu.

"Ah begitu yah..."

Pria itu mengangkat tangan kanannya, mengarahkannya kepada Tenza. Sentak tidak sadar anak itu sedikit memundurkan tubuhnya. Matanya turun melihat tangan pria yang mendekatinya dengan penuh kewaspadaan. 

Keempat jari yang dirapatkan dengan ibu jari yang tegak lurus terhadap jari jari lainnya. Ayah Reina ternyata bermaksud untuk bersalaman dengannya. Matanya tampak terkejut ketika melihat uluran tangannya. Wajah Tenza terangkat memandang sekali wajah pria itu.

"Saya adalah ayah Reina." Suaranya terdengar ramah dan bersahabat.

Namun Tenza malah mewaspadainya dan takut kepada dirinya. Entah apa yang mempengaruhi dirinya, dia seharusnya tidak berperilaku seperti ini. Diam diam dia menggigit bibirnya sebagai hukuman.

Tangan Tenza terulur dan meraih tangan dari pria itu. Menangkap dan saling menggenggam satu sama lain. Beberapa saat kemudian mereka saling melepaskan genggamannya dan menarik kedua tangannya kembali ke tempatnya.

Tenza menutup mata dan menarik nafas panjang, berusaha mereset isi pikirannya yang buruk. Membuka kembali kelopak matanya dan memandang ke arah Pria tinggi ini dengan isi pikiran yang lebih bersih.

"Sebenarnya ada yang ingin saya bicarakan dengan kamu, apakah Tenza mempunyai waktu?" Tanya pria berkemeja abu abu ini.

Tenza mengangkat kepalanya dan mencoba mengingat apakah dia mempunyai rencana dengan seseorang hari ini atau tidak. Dan jawabannya adalah tidak. "Eee, bisa saja...biasanya saya tidak memiliki rencana oleh siapapun setiap selesai sekolah."

"Kalau begitu boleh ikut saya?"

Tenza terkejut. "Eh kemana?" Dia langsung bertanya.

"Kau pasti lelahkan setelah belajar seharian?"

"..." Dia hanya terdiam sambil mengangguk. Memandang ke arah Pria yang mengaku dirinya sebagai ayah Reina. Badan orang itu sedikit berputar ke belakang, mengarah ke halaman depan lapangan parkiran. Di sana terdapat beberapa kendaraan seperti mobil dan motor.

Mata pria itu sedang menghadap ke arah mobil abu abu miliknya.

Pria itu kembali memutar kepalanya menghadap ke Tenza. "Bagaimana kalau kita pergi dengan mobilku untuk mencari restoran, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan kepada anda."

"Boleh saja, tapi sebenarnya..." Tenza memutar matanya, menghadap kepada teman temannya yang berada di belakangnya. Mengingat bahwa Tenza punya rencana untuk pulang bersama dengan mereka setiap hari setelah pulang sekolah. Jika dia berkata 'iya' itu bukankah artinya Tenza meninggalkan janjinya?

"Kenapa tidak? Pergi saja." Nick tiba tiba berujar ketika Tenza sedang berpikir. Mendengarnya kata katanya membuat Tenza sedikit terkejut. "Eh..tapi.." Ucapnya, Alex berjalan mendekat kepada Tenza, mengangkat tangan kanannya dan merangkulkan lengannya melingkari leher Tenza.

Menarik tubuh Tenza sedikit menjauh dari pria itu.

Tangan Alex lainnya terangkat ke salah satu sisi bibir kemudian dia berbisik. "Sepertinya kau akan di traktir makanan olehnya, kau tidak boleh membuang kesempatan ini." Dia menyeringai sambil berbisik kepada Tenza.

"Hahaha.." Pria dewasa itu tertawa. Alex sengaja membesarkan bisikannya hingga terdengar olehnya. Entah apa yang direncanakannya, tapi sepertinya mereka berdua, Alex dan Nick telah membuat rencana ini kepada dirinya hanya dengan saling menatap.

"Jadi bagaimana?"

Pria itu bertanya lagi, Alex melepas rangkulan tangannya dan membiarkan Tenza memilih. Senyuman malu tertampik di bibirnya, tangannya terangkat menggaruk pipinya terpaksa memilih.

-----

Pada akhirnya, Tenza memilih untuk menuruti permintaaan Pria itu dan meninggalkan teman temannya di sekolah.

"Tenang saja, aku akan memberi tahu yang lainnya tentang ketidakbisaan dirimu..." Setidaknya Tenza telah berterimakasih kepada Alex yang telah memahami keadaannya. 

Dan sekarang ini, Tenza berdiri di suatu restoran yang terletak di suatu persimpangan jalan. Matanya tidak bisa diam melihat kesana kemari memperhatikan aksesoris dan berbagai macam hiasan yang menempel di dinding putih ini.

Seperti pot dengan bunga warna warni palsu, beberapa lukisan makanan ringan yang terbungkus oleh frame kayu, dan tanaman hias asri yang menyejukan mata dengan warna hijaunya.

Sudah terlewat beberapa saat setelah dirinya dan ayah Reina sampai di tempat ini. Sebelumnya karena akan pulang lebih lambat, Tenza sudah memberi tahu Tanisa yang sedang mengurusi rumah yang ia tinggali, bahwa dia sepertinya akan pulang agak lama untuk hari ini.

Pria itu melangkah memilih tempat duduk tepat di samping jendela, dan Tenza di belakangnya hanya mengikutinya saja. Jendela itu menunjukan sebuah pemandangan jalan raya di siang hari. Tenza bisa melihat beberapa ruko aksesoris, klinik kecil dan toko yang sepertinya menjual peralatan hewan peliharaan dan hewannya sekaligus dari tempatnya berdiri.

Pria itu duduk kursi pilihannya dan Tenza memilih untuk duduk saling berhadapan dengannya.

Dari sini Tenza dapat melihat seekor hamster sedang berlari di dalam kincirnya. Itu adalah pemandangan menarik baginya. Dia masih terpaku dari seberapa elegannya mahkluk itu berlari di kincirnya.

Tapi akhirnya Tenza berpaling dari hewan kecil itu.

Seseorang pegawai restoran dengan seragamnya yang mencolok datang menghampiri mereka berdua, memberikan table menu makanan yang mereka sediakan di restoran ini.

"Pilihlah makanan kesukaanmu." Kata Pria itu kepada Tenza. Tenza menanggapinya.

Karena saat ini dia sedang di traktir oleh seseorang, bukankah artinya dia tidak boleh membebaninya dengan pesanan yang mahal? Namun jika Tenza hanya memilih untuk memesan air putih, apakah itu artinya dia meremehkan finansial dari ayah Reina?

Ini membuatnya kebingungan sendiri. Tenza mencoba untuk melihat harga harga yang terpampang disana tanpa melihat makanannya, terus mencoba mencari harga yang paling murah di antara harga harga tersebut, dan memang hasilnya air putih adalah pesanan yang paling murah.

Tenza sudah melihat semua menu yang tersedia, dia menurunkan table menu yang ia genggam dengan kedua tangannya. Matanya bergerak menatap ke arah pegawai yang sedang bersiap mencatat dengan pensil dan sebuah kertas kecil di tangannya.

"Eehh..aku pesan teh dingin saja." Entah kenapa dia memesan minuman yang sama yang ia pesan tadi pagi saat waktu istirahat di sekolah. Jari telunjuknya terangkat menghadap ke pegawai perempuan itu.

"Hanya memesan itu?"

Tenza menghadap Pria yang berbicara itu dan mengangguk. "Sangat di sayangkan kalau makanan yang dibuat oleh pembantuku tidak habis karena aku memesan makanan di sini." Tenza bersyukur dia memiliki alasan yang jelas dan tepat untuk hal ini.

Ayah Reina menurunkan matanya ke menu. Tenza melirik melihat wajah dari pria itu, tiba tiba dia tersenyum kecil. Kepalanya terangkat dan menghadapkannya kepada pegawai itu. "Aku memesan minuman yang sama dengan anak ini." Dia memilih menu yang sama dengan yang Tenza pesan. 

Pegawai restoran itu mencatat pesanan mereka berdua, lalu bertanya apakah ada hal lain yang ingin dipesan, namun jawaban Tenza tentu saja tidak ada. Kemudian Pegawai itu kembali mengambil dua table menunya dari kedua laki laki itu dan berbalik meninggalkan mereka berdua duduk saling berhadapan.

Tenza melihat pegawai itu berjalan menjauhi dirinya, lalu pandangannya kehilangan orang tersebut saat pegawai wanita itu memasuki sebuah pintu yang berada lumayan jauh dari sini.

Mata Tenza kembali beralih ke Pria itu. "Jadi, apa yang ingin anda bicarakan dengan saya?" Tenza berbicara dengan formal. Dia merasa pernah berkata demikian kepada orang yang berbeda.

Pria itu mengangkat tangan, mengepalkannya dan berdeham. "Apakah saya harus mengatakan langsung keintinya saja?" Dia membalikan sebuah pertanyaan dengan pertanyaan. Tenza mengangguk serius terhadap pertanyaan yang terlontar. Tidak ada alasan untuk memulai basa basi kepada seseorang yang baru ia temui.

"Baiklah kalau begitu." Pria itu menutup matanya, menundukan kepalanya, sedang mengatur pertanyaan pertanyaan yang akan ia sampaikan kepada seorang anak di depannya. 

Di lain tempat, Tenza dengan nafas yang tertahan, matanya tertuju tajam kepada pria tersebut, dia menunggu setiap pertanyaan yang akan dilontarkan oleh pria berkemeja abu abu gelap.

Ayah Reina mengangkat kepala dan membuka matanya. Tenza tersentak sedikit karena gerakan kepala itu. Telinganya terbuka lebar bersiap untuk mendengar segala pertanyaan yang akan di ucapkannya.

"Ada satu hal yang ingin aku tanyakan kepadamu.."

Tenza menatap tajam, meneguk air ludahnya dalam keheningan. Keseriusannya telah menulikan kebisingan kecil di sekitar mereka. Tenza tidak mendengar suara apapun yang datang ke arahnya baik dari dalam atau dari luar restoran.

"Ini tentang pembunuhan..yang pernah terjadi di malam itu." 

Tenza melebarkan kelopak matanya. Dia sedikit terkejut karena tebakannya yang benar. Tangannya yang terlipat di atas meja mengepal menanggapi dengan perasaan yang serius.

Tentu saja.

Membayangkan seorang pria yang tiba tiba kehilangan anak dan istrinya. Pria ini pasti sangat terkejut ketika mengetahui kebenarannya. Tidak ada seorangpun yang akan menebak secara berbeda dengan apa yang tenza tebak.

..Hanya saja, biasanya aku pergi bersama ayahku, tapi saat ini ayahku masih berkerja di Prancis sana. Jika kontrak kerjanya telah selesai, maka dia akan terbang ke sini.

Reina pernah berkata demikian. Tenza menatap pada wajah Ayah dari gadis tersebut, warna mata pria itu sangat persis dengan warna mata yang dimiliki Reina. Reina mewarisi warna iris mata pria ini.

Itu artinya kontrak kerja ayah Reina di prancis sana sudah selesai, dan karena itu dia berangkat ke Elikya. 

Tenza tertunduk meratapi apa saja yangtelah terjadi pada hari itu. Bibirnya termanyun kecil mengingat kegagalannya.

"Saya sudah mendengar laporannya dari polisi." 

"Begitu yah.." Tenza berkata pelan, matanya berpaling tidak berani menatap wajah lawan bicaranya. Bibirnya menekan satu sama lain. Tatapan matanya mulai melemah.

Membayangkan ketika di saat saat bahagia mereka, ketika Elikya menerima anak gadis mereka untuk bersekolah di tempat bergengsi ini, namun seminggu kemudian dia mendapatkan kabar dari polisi yang menelpon bahwa istrinya meninggal terbunuh dan anaknya hilang entah kemana. Membayangkannya saja telah menyayat hati Tenza sebagai seorang piatu.

Pria itu pasti juga sudah mengetahui bahwa pada saat itu, Tenza sedang berada di sana. Dia bisa membayangkan betapa bencinya orang ini terhadap dirinya. Ketika istrinya terbunuh dengan cara yang keji, anaknya menghilang entah kemana sampai saat ini, sedangkan Tenza hanya ditemukan dalam keadaan pingsan dengan luka ringan di kepala dan tangan kanannya patah.

"Tapi sebelum itu ada yang harus saya katakan kepadamu."

Tenza terdiam menyerap isi perkataan dari pria itu.

Tenza hanya pasrah menerima ini, dia akan menerima segala kebencian darinya, segala kutukan dan segala percakapan kasar yang akan dilontarkan. Dia menutup matanya perlahan.

'Maafkan aku.' 

Permintaan semacam itu tidak akan bisa mengubah kejadian yang telah berlalu, meski kau terus mengatakannya terus menerus, itu semua tidak ada artinya sama sekali. Tenza menyadari hal itu. Seandainya dia tahu bagaimana mengembalikan waktu seperti yang lalu. Namun hatinya gundah ketika memikirkannya.

"Aku..."

Tenza masih tertunduk, matanya lemas pasrah dengan cacian yang akan menghujaninya. Menatap ke bawah tidak berani melihat ekspresi dari orang ini.

"...Sangat berterimakasih kepadamu."

Mata Tenza terbuka melebar seketika.

"Ehh..?"

Kepalanya terangkat cepat, menghadapkanya ke pria itu. Menatap memeriksa ekspresi yang terpasang di wajahnya. Matanya tidak bisa mempercayai apa yang dia lihat sebenarnya. Sebuah senyuman, sebuah senyuman ramah terpapah pada bibir pria itu.

Matanya terbuka lebar, bibirnya ternganga tidak percaya. 

'BUAKK!'

Dari dalam hatinya, ia sangat kesal dengan senyuman ramah itu. 

Tenza menekan telapak tangannya ke atas meja, mengehentakannya dan berdiri menatap tajam ke arahnya. Tenza telah membuat kebisingan, beberapa orang yang sedang di dalam restauran ini berpaling dan menatap ke arahnya.

"T..tapi, saat itu saya ada disana...anda tahu itu bukan? .." Dia menekan serta meninggikan suaranya terhadap pria tua di depannya. 

"..Seharusnya saya melindungi mereka berdua..." Melakukan sesuatu yang ia sadari bahwa dia tidak boleh melakukannya. 

Mengingat wajah kedua perempuan itu. Mengingat senyuman ramah mereka, perkataan sindirannya. Tatapan tidak senangnya. Mengingat segala hal yang ia ketahui terhadap diri mereka berdua.

Bibir Tenza mulai bergetar tak terkendali. "..tapi...tapi...pada akhirnya..."

Kalimatnya terputus, bibirnya hanya terbuka tidak mengeluarkan suara, pita suaranya tidak bergetar, bibirnya tidak bergerak, Tenza tidak berucap apa apa. 

Tenza tidak bisa melanjutkan perkataannya. Traumanya akan hari itu, dia tidak bisa menahan kengerian malam itu. Meski misalnya dia diberi kesempatan untuk mengulang waktu kembali, dia akan menolaknya. Itu adalah isi hati terdalamnya. Ketakutan telah mengalahkan dirinya.

Dia tidak bisa menghadapi masalah ini sendirian. Tapi dia juga tidak ingin orang lain terlibat ke dalam masalahnya. 

Bibirnya bergetar, tangannya mengepal lemah turut bergetar. Tenza menutup matanya kuat kuat. Menahan air mata penuh ketakutan agar tidak mengalir ke pipinya. Merendahkan tubuhnya dan kembali menduduki kursi. Menyilangkan kedua tangannya dan menempelkan kepalanya ke atas tangannya.

"Maafkan saya.." Ucapannya bergelombang menahan tangis yang segera pecah.