webnovel

ELIKYA Number Zero : The Unknown Brave Hero

Tenza seorang anak berumur 16 tahun memulai SMA nya di negara baru bernama Elikya. Elikya adalah sebuah negara yang dibangun pada tahun 2080 dan selesai pada tahun 2086. Elikya dibangun atas persetujuan pemerintah dari seluruh dunia. Elikya hanya dapat dihuni oleh orang orang yang memiliki prestasi dan potensi. dua puluh tahun semenjak didirikan Elikya, akhirnya pemerintah memberikan kesempatan bagi mereka yang masih ada pada tahap sekolah untuk menunjukan kemampuan mereka untuk menjadi yang terbaik sehingga mereka dapat diberikan kesempatan untuk belajar disana. Dan disinlah akhirnya Tenza. Tenza sang anak yang berhasil masuk Elikya pada tahun 2110 tersebut menikmati kesehariannya di sekolah barunya itu. Tetapi ada satu hal yang janggal ketika dia menyadari bahwa kejadian yang dia hadapi saat ini pernah dia alami sebelumnya. "Apa yang sedang terjadi saat ini?"

Meong_Cat · Fantasy
Not enough ratings
34 Chs

Arc 2 - Chapter 7 - 2/2 (Ayah Reina)

Ayah Reina melengkungkan alisnya, menatap penuh ketabahan di dalam hatinya. Menghela nafas secara perlahan, membayangkan apa saja yang telah dilewati Tenza di malam itu. Menghela nafas, berusaha iklas kepada anak dan istrinya.

pandangannya menatap penuh dengan keprihatinan terhadap Pemuda ini. Menutup mata lalu membukanya secara perlahan, mengatur perasaan hatinya yang terguncang dengan apa yang telah terjadi pada hari itu.

"Angkat kepalamu, Tenza." Dia berucap penuh kelembutan, namun diiringi dengan sebuah ketegasan.

Anak itu tidak merespon. Kepalanya tampak bergetar kecil, secara tidak langsung sedang memperlihatkan dirinya menahan tangisan yang tak terbendung. Kembali menghela nafas, kepala ayah Reina berputar ke kiri, melihat ke arah mereka yang sedang menonton pemandangan ini.

Kepalanya sedikit menunduk dan terangkat kembali. Dengan gerak geriknya, dia meminta maaf kepada para pelanggan atas keributan yang telah mereka ciptakan. 

Setelah itu, beberapa dari mereka berpaling dan kembali kepada pesanannya masing masing.

Ayah Reina kembali menghadapkan kepalanya kepada Tenza. Melihat seorang anak yang sedang menahan kesedihannya. Menatapnya dan merenungi kepedihan yang dialaminya.

Dia menarik nafas setelah itu.

"Kau tahu? ada sesuatu yang ingin aku ceritakan kepadamu..."

Tenza masih menunduk dan menangis dalam diam di sana. Pria itu menatapnya dengan penuh kesabaran.

"Mungkin kau berpikir kalau aku akan menyalahkanmu karena hal itu. Pada awalnya aku berpikir akan melakukannya."

Dia berucap, namun Tenza masih teringkuk tidak membalas perkataannya.

"Tapi aku menyadarinya..."

"..."

Terlepas dari Tenza yang menangis di sana, dia tetap mengatakannya.

"Pada saat itu kau mengalami situasi yang berat. Aku telah mendengar kabar dari polisi..." Pria itu menyenderkan tubuhnya, mengangkat wajahnya ke atas dan menatap kosong terhadap langit langit.

"...Tentang kau yang berusaha menahan Jason demi menyelamatkan Istri dan anakku." Suasana melankolis yang tercipta.

"Aku sudah mendengarnya...Meski pada akhirnya..." Suasana tiba tiba menjadi lebih sunyi.

"Aku mengetahuinya, aku mengetahui itu."

"..."

"Aku tahu bukan kaulah yang salah..Jadi tidak apa apa...Aku sudah dengar seberapa putusasanya dirimu saat itu."

Ayah Reina menegakan tubuhnya, menggerakan lehernya dan mengarahkan pandangannya kepada Tenza yang menunduk. Menekan alisnya, menatap laki laki malang itu, memandang dengan penuh ketegasan di dalamnya.

"Angkatlah kepalamu, Tenza!"

"..." 

Dia sedikit mengangkat kepalanya, nampak tiba tiba dia menggeleng kecil setelah itu.

"Menurut anda saya siapa?" Tiba tiba dia berucap, ucapannya terdengar cukup pelan. 

Tubuhnya bergetar kecil, kepalanya perlahan terangkat ke atas. Kedua tangannya menompa setengah badannya yang teringkuk, menumpukan keduanya di atas meja, kembali menegak tubuhnya seperti semula.

Menampakan wajahnya, bagian bawah mata memerah karena menangis tadi.

Ekspresi masam ia tunjukan pada wajahnya.

Kedua mata masih menghadap ke bawah, tidak berani memandang wajah orang yang ia ajak bicara. Satu tanda tanya besar muncul dalam kepalanya.

"Kenapa anda berterimakasih kepada saya?" Dirinya tidak menggapai makna dari ucapan terimakasih itu.

"..."

"Kenapa?" Kata itu terlukis dalam di hatinya. "Itu semua tidak masuk akal.." Kepalanya tertunduk lemah. Isi kepalanya berubah menjadi sangat kacau saat dia berusaha memikirkannya. Kelopak mata yang memicit, bibirnya mengkerut, bergetar membendung kesedihnya yang mencuat.

Ayah Reina terlamun memandang wajah anak itu. Menatap masuk, melihat ke dalam isi hatinya, isi hati yang dipenuhi dengan kesedihan yang meletup letup. 

Di sisi lain dia sendiri juga menahan pahitnya kehilangan, berusaha untuk terlihat tegar dan tidak menunjukan emosi dalam hatinya terhadap orang lain.

Melapangkan hatinya, berusaha tegar terhadap badai masalah yang melanda rumah kehidupannya. Tepi bibirnya bergeser perlahan, membentuk sebuah senyuman kecil di pipinya.

Kenapa?

Itu adalah pertanyaannya.

Itu semua tidak masuk akal..

Dia juga berpikir seperti itu. 

Seorang ayah telah kehilangan istri dan anaknya. Kenapa dia berucap terimakasih kepada Tenza yang gagal menyelamatkan dua kebanggaannya? Itu memang tidak masuk akal. Meski begitu di dalam hatinya, dia sudah mempersiapkan jawaban. Dia melepas nafas tabah.

"Karena saya sudah mengetahui.."

Tck

Tenza menggeram.

"ANDA tidak mengetahuinya!!" Pita suaranya menguat menyemburkan kekesalannya, memotong kalimat yang belum diselesaikan lawan bicaranya. 

Gigi Tenza menekan satu sama lainnya. Alisnya mengkerut jengkel mendengar sesuatu yang terus menerus diulang ulang.

"..." 

Namun perlahan dia menyesali lantang suara yang ia keluarkan dari bibirnya. "Anda...anda saat itu tidak berada di sana..." Otot wajahnya perlahan mengendur.

"Anda tidak mengetahui apa saja yang sudah terjadi di saat itu."

.....HAHAHAHAHAHHAHAHAHAHAHHAHA...

Suara tawa yang mencekik, mendengung, menggema di dalam kepalanya. Hatinya terguncang ketika mengingat hari itu. Mengingat betapa kuat terornya, betapa ketakutan dirinya, betapa keras suara tawanya, suara yang mengundang bulu kudunya untuk berdiri.

Tapi tangannya mengepal keras, berusaha mengalahkan semua itu. Matanya menutup kuat, menahan rasa takut. Otot otot wajah saling berkontraksi.

"Anda tidak mengetahuinya.." Suaranya memelan. "..anda tidak mengetahui apa saja yang terjadi di sana...Anda tidak mengetahui...seberapa mengerikannya orang itu."

Tenza menggeram menahan air matanya. Namun usahanya gagal, setetes air mata mengalir jatuh membasahi pipinya. Menundukan badannya sehingga tak terlihat oleh orang itu.

Mata yang berekspresi penuh dengan rasa kasian. Tenza tidak bisa mengendalikan dirinya, kesedihannya terlalu besar untuk ia bendungi.

Pria itu menghela nafas panjang, lalu menghirup udara setelahnya.

Tenza mengangkat kedua tangannya, menutup matanya dan mengusap air mata yang keluar menetes. Melakukan itu meski air mata lainnya akan keluar kembali dari matanya.

Tenza terus menerus menahan air matanya, sesekali mengjisap ingus yang perlahan keluar dari lubang hidungnya. Berusaha untuk menenangkan dirinya agar air matanya berhenti mengalir.

Perlahan dan perlahan. Pada akhirnya dia berhasil mengontrol dirinya. Air mata sudah berhenti mengalir, namun wajahnya lengket karena tangisan itu. Dia menegakan tubuhnya.

Pria itu memandang Tenza. Sepertinya dia sudah lebih baikan, itulah yang ada di dalam pikirannya. Karena itu, dia menarik nafas dan mulai berbicara.

"Aku mengenal Jason.."

Mata Tenza tiba tiba terbelangah mendengarnya. Tangannya mengepal, wajahnya menunjukan ekspresi keterkejutan yang besar.

Tentu saja...!

Matanya terbuka, Tenza mengangkat kepalanya, melihat sebuah ekspresi kebingungan yang muncul di wajah ayah Reina.

"Saya mengenal Jason.."

Tentu saja....

Pikiran yang berucap kembali.

Tenza baru saja menemukan sebuah celah dari puzzle rumit ini. Ketakutannya seakan akan sirna terhalang oleh sebuah misteri yang secara perlahan retak.

"Meski tidak sebegitu mengenalnya sama seperti istriku, setidaknya aku mengetahui seperti apa dirinya."

Tenza membuka telinganya lebar lebar.

"Pertama kali aku berjumpa dengannya adalah saat Reina masih kecil...Aku tidak ingat sudah berapa tahun semenjak hari itu..."

Laki laki itu tersenyum kecil ketika berkata itu, mengingat sebuah kenangan yang sudah menjadi masa lalu. "Pria itu adalah teman lama istriku..."

Tenza mengangguk mendengarnya. "Saya sudah mengetahui hal itu."

Pandangan pria dewasa ini menurun. "Begitu yah.." Menarik minatnya untuk menceritakan masa lalu yang ada di memori tuanya.

"..Beliau pernah menceritakannya sedikit kepada saya." Ucap Tenza.

..dia jarang sekali terlihat berkumpul bersama teman temannya. Meskipun begitu, dia adalah orang yang baik.

Nyonya Mirabelle yang mengatakan itu. Isi kepalanya tercampur aduk saat mendengarnya, dipenuhi dengan fakta fakta yang saling berkontradiksi. Tenza ingin percaya dengan yang dikatakan Nyonya Mirabelle. Namun Jason yang ia kenal bukanlah Jason yang baik seperti gambaran perempuan itu.

Mata Tenza menatap pada ekspresi yang diperlihatkan orang itu. Kepala Ayah Reina menunduk menatap ke bawah. Tangan kanannya mengepal, terangkat menempel dan menutup mulut serta lubang hidungnya. 

Sama seperti yang dialami dirinya, Ayah Reina berpikiran sama dengan yang dipikirkan Tenza, tentang apa yang sudah terjadi saat ini.

Jason yang Tenza kenal, adalah Jason yang kejam dengan hawa membunuh yang kuat, senyuman menyeringai menertawakan seberapa tidak berdaya mangsanya, tapi anehnya apa yang dijelaskan oleh nyonya mirabelle kepadanya berbanding terbalik dengan yang ia lihat.

Dan Jason yang dikenal pria ini adalah Jason yang baik, sama seperti yang di ucapkan Nyonya mirabelle. Tapi jika mengingat pria besar itu yang menyebabkan semua masalah ini, sudah dipastikan telah membuat pria ini sangat kebingungan.

Dan karena itulah wajahnya terlihat tampak demikian, mata yang tertunduk dengan pandangan yang kosong, tangannya yang mengepal pada bibir dan hidungnya. Pria itu tenggelam dalam lautan pemikiran.

Meski apa yang mereka ketahui saling berlawanan, pada akhirnya menuju satu titik yang sama.

Tangan Tenza terangkat, mengosok kedua matanya yang masih berair dengan lengan bajunya. Menghisap lendir yang keluar dari hidungnnya, membenarkan bentuk wajahnya yang terlihat menyedihkan.

Mata Tenza teralih kembali melihat wajah Ayah Reina.

"Eeeh..jadi.." Tenza berdeham sebelum melanjutkan kalimatnya. Disisi lain mata pria itu bergulir menoleh kearahnya. "Bisa anda ceritakan seperti apa Jason itu?"

"Ahh iya..maaf.." Pria itu sepertinya terkejut ketika Tenza berucap.

Dia membenarkan posisi tubuhnya. Kembali duduk tegak dengan kedua tangannya yang di letakan di atas meja dengan posisi yang menyilang. Lalu menatap ke arah lawan bicara sebagai bentuk dari sopan santun.

"Jadi..Awalnya Istriku pernah bercerita tentangnya...aku sedikit lupa dengan apa yang ia ceritakan saat itu. Tapi seingatku dia pernah berkata kalau dia adalah temannya saat masih duduk di bangku sma."

"..." Tenza terdiam membatu.

"Menurut saya Jason adalah orang yang sangat unik.."

Anak itu memiringkan lehernya. 'Unik?', Itu adalah sebuah perumpamaan kata yang sangat aneh untuk mempresentasikan diri pria itu. Bagi Tenza, jika ia diperintahkan untuk menjelaskan Jason hanya dengan beberapa kata, maka 'Bajingan', 'pembunuh' dan kata kata kutukan lainnya merupakan kata yang tepat untuk merujuk pada pria psikopat itu.

Tapi jika diingat dari cerita kecil nona mirabelle, Tenza tidak mengeluh dengan apa yang diucapkan Pria ini. Meski masih menjadi misteri yang besar, Tenza masih bisa untuk terus mendengar ceritanya.

"..Dia mengakui dirinya sebagai pengembara. Aku bahkan tidak bisa melupakan julukan yang ia berikan sendiri kepada dirinya." Pria itu memaksa untuk tertawa ketika mengucapkan kalimatnya sendiri.

'Pengembara? aneh sekali.' Ucap anak itu dalam hati.

"Sejujurnya aku cemburu ketika dia tiba tiba datang menemui istriku..."

"..."

"..Mereka berdua terlihat cukup akrab, mereka pernah berjanji untuk bertemu kembali. Dan karena posisiku sebagai seorang suami, aku sedikit tidak menyukai dirinya."

Tenza menahan nafas. Secara alami dia memahami posisi ayah Reina saat itu. 

"Meski begitu, dia adalah orang yang baik." Lanjutnya.

Dari apa yang ia dengar, tidak ada sesuatu yang terdengar khusus dengan apa yang pernah terjadi saat itu. Justru poin yang dapat Tenza ambil dari ucapannya adalah bahwa Jason adalah orang yang baik. Tapi secara pribadi dia menolak poin itu mentah mentah.

"Sangat aneh ketika saya mendengar bahwa dirinya mengaku sebagai seorang pengembara." Tenza mengisi kekosongan topik dengan senyuman kecut di bibirnya.

Pria itu tampak memicu tawa paksanya. "Aku juga berpikir sama sepertimu." Tenza yang melihat senyum paksa itu, dengan terpaksa pula dia tersenyum. 

Beberapa saat yang hampa, tidak ada yang memulai pembicaraan. Tenza menutup matanya, lalu membuka keduanya kembali.

"Lalu...apa yang terjadi selanjutnya?"

"Selanjutnya yah..."

Pria itu menutup matanya, mengangkat sedikit kepalanya ke atas. Berusaha mengingat ngingat kelanjutan dari cerita masa lalunya. Setelah itu dia kembali memposisikan wajahnya menghadap ke arah Tenza dan membuka matanya.

"Aku tidak terlalu ingat apa saja yang sudah terjadi saat itu..tapi pada akhirnya dia kembali pergi mengembara lagi.."

Alis Tenza mengkerut. "Mengembara lagi?" Dia memajukan kepalanya sedikit, berpikir kalau telinga telah salah mendengar pada dua kata terakhir yang diucapkan Ayah Reina. Kemudian dia mendapatkan sebuah anggukan darinya.

"Semenjak saat itu, aku belum melihatnya lagi..."

"Begitu yah..." Tenza berbisik pelan. Mata pria itu kembali menurun.

Melihat itu, Tenza turut mengikuti gerakan matanya. Dia ikut berduka atas apa yang terjadi dengan keluarga pria ini. Jika Tenza dan pria ini bertukar peran dalam kehidupan, mungkin dia akan sangat marah terhadap pria di depannya itu karena saat itu hanya dirinya sajalah yang selamat.

Mata pria itu terangkat kembali. Menunjukan senyum kecil yang terpahat di bibirnya. Tenza tidak berkomentar ketika melihat senyum kosongnya. Dia hanya terdiam seakan akan sedang menunggu sesuatu.

"Aku akan menjawab pertanyaanmu.."

Mata Tenza bergerak secara perlahan. Menegakan tulang belakangnya.

"Alasan kenapa aku sangat berterimakasih kepadamu..."

Tenza menelan air ludahnya tiba tiba. "Ke.kenapa?" Dia kemudian bertanya. Tidak sengaja menggigit lidahnya sendiri.

'Sebelumnya aku pernah berkata bahwa aku mengetahui apa saja yang sudah terjadi saat itu dari polisi.." Tenza ingat pria ini pernah berkata demikian. Dia merendahkan pandangannya kemudian mengangguk kecil.

"Alasanku berterimakasih kepadamu adalah, karena sebelumnya, seorang polisi telah menceritakannya kepada saya, tentang dirimu yang bersikap cepat ketika mengetahui tentang Jason yang menyusup ke negara ini.."

"..?"

"Polisi itu berkata bahwa kau merasa curiga saat itu.."

"Saya merasa curiga?" Tenza tidak terlalu ingat bahwa dia pernah berkata seperti itu. Tenza terdiam dan berbisik pelan terhadap pertanyaannya. Tenza tidak yakin, tapi saat itu dia terlalu terbawa emosi sehingga tidak bisa berpikir jernih.

"Saya juga pernah menanyakannya kepada perempuan yang bernama Ova, aku pernah dengar bahwa kau cukup dekat dengan perempuan itu."

Mendengarnya Tenza mengangguk. "Yah.." Ucapnya. Mengangkat jari jemarinya menyentuh seragam birunya. "aku rasa dia adalah orang yang mudah akrab dengan siapa saja termasuk diriku."

Tidak hanya itu, jika saja tragedi yang menimpa Reina tidak pernah terjadi, maka Ova tidak akan sedekat ini dengan dirinya. Karena jika hal itu tidak terjadi, maka seharusnya keesokan harinya Tenza dan teman teman sekelasnya akan bersenang senang di ETP, bukan mengantar Tenza pulang ke rumahnya setelah dirawat di rumah sakit, atau saat mengantar dirinya ke rumah sakit untuk melepas gipsnya.

"Perempuan itu berkata bahwa kau pernah menonton sebuah berita, tentang jason yang menyusup waktu itu, lalu setelahnya kau bertanya kepada anakku, tentang apakah dirinya pernah melihat orang itu."

"Aku pernah berkata..." Isi kepala Tenza mengambang, seakan akan seperti tengah berjalan pada delusi ingatan yang sudah lalu. Ingatannya menjadi sedikit kacau karena pengulangan pengulangan yang terjadi kepadanya.

Tenza tiba tiba tersentak. Dia melebarkan matanya. 'Sekarang aku paham!' Ucapnya dalam hati, Akhirnya dia menggapainya. 

Meski begitu, perasaan hatinya tidak berubah. 

"Reina berkata bahwa dia seperti pernah melihat pria itu. Jika saja saat itu kau tidak bertindak, mungkin..."

"Meski begitu.."Tenza menurunkan kepalanya. "..tetap saja saya gagal melakukannya." Ucapnya terdengar berbisik.

Ayah Reina terkejut dengan perkataan anak ini. Memotong perkataannya yang belum selesai, lalu menyimpulkannya begitu saja. Dinding kesabarannya yang tebal hampir saja hancur, tapi dia tetap menahannya.

"Tapi itu tidak mengubah fakta bahwa kau sudah melakukan yang terbaik! Jika saja saat itu kau tidak bertindak..mungkin keadaan semakin parah."

"Tapi.."

"Karena itu aku sangat berterimakasih kepadamu." Pria itu tidak memberikan Tenza ruang untuk berbicara.

"..." Tenza terdiam.

"Setidaknya, terimalah rasa terimakasihku kepadamu."

"..." Mulutnya tidak bisa mengeluarkan suara.

"Jika saja saat itu kau tidak ada disana...mungkin, keadaannya akan semakin buruk, jika saja kau tidak bertindak, mungkin Reina akan bernasib sama seperti ibunya. Saya tidak tahu Reina menghilang kemana, tapi aku harap dia baik baik saya sekarang." Ayah Reina meninggikan suaranya.

Beberapa saat setelah itu keadaan berubah menjadi hening. Tenza mengalihkan pandangannya, melihat ke dunia luar melewati jendela besar di sebelahnya. 

"Kalau begitu...saya akan menerimanya...permintaan maaf anda." 

Suaranya terdengar datar seperti tidak ada maknanya. Meski begitu ujung bibirnya bermekaran membentuk senyuman. "Terimakasih." Ucapnya.

Tenza hanya mengangguk memandang kosong keluar. Keduanya berdiam diri tidak berbicara. Seorang pelayan datang membawa sebuah nampan coklat dengan dua gelas berisikan teh di atasnya. Pria itu memandang pegawai wanita itu. Wajahnya sedikit cemberut.

"Maafkan saya.." Sepertinya karena keributan yang mereka berdua lakukan telah mengganggu pelanggan lainnya. Mata Tenza diam diam melirik ke arah pesanannya.

Ayah Reina berdiri, mengambil beberapa lembar dolar yang ada di saku celana bagian belakang dan memberikan lembaran uang tersebut kepada pegawai itu.

"Minumlan pesananmu.." Pria itu mempersilahkan Tenza, kemudian kembali duduk. 

Tenza meluruskan kepalanya, membenarkan posisi tubuhnya. "Terimakasih.." Bisiknya kepadanya. Mengambil sedotan yang terbungkus plastik dan merobeknya. Memasukan sedotan itu ke dalam wadah teh, kemudian memajukan kepala menyeruput isi tehnya.

Bibirnya membentuk senyuman kecil diam diam. 

"Tadi..sebelumnya anda ingin mengetahui apa yang terjadi di saat itu, apakah saya benar?" Suara Tenza terdengar pelan. Matanya menatap ke arahnya, pria itu ternyata sedang menyeruput juga minuman yang sama dengan pesanan Tenza.

Pria itu melirik ke arahnya, meneguk minuman yang ada di dalam mulut kemudian mengangguk menjawab pertanyaan.

"Sebelumnya...tanggal berapa anda sampai ke negara ini." Tenza masih bertanya.

"Tanggal 23, bulan juli yang lalu.."

Tiba tiba Tenza menahan tawa. "Begitu yah.." Tangan Tenza terangkat menutup mulutnya. Menanggapinya Pria itu membalasnya dengan senyuman pula. "Sepertinya ketahuan yah.." Pria itu memiringkan kepalanya lalu menyeringai. 

Tenza mengangguk mendengarnya. "Kenapa anda baru ingin bertemu dengan saya sekarang? padahal bisa saja anda langsung menemui saya waktu itu di rumah sakit." 

Pria itu tersenyum. "Itu karena saya tidak ingin membebanimu perasaanmu lagi saat itu. Aku berusaha memahami kondisimu. Karena itu saya memilih waktu yang tepat untuk menanyakannya."

Mendengarnya Tenza menaikan ujung bibirnya. "Anda benar benar baik." Kemudian dia kembali menyeruput minumanya. Menelannya lalu menghela nafas panjang dengan lega. Dia menampilkan senyuman di bibirnya, seakan akan semua kesedihan yang ia luapkan itu tidak pernah terjadi.

Tenza kembali menghadap ke arah jendela, menatap pemandangan jalan raya di luar sana. Perlahan senyuman dibibirnya menghilang, alis mata yang mengendur tiba tiba menekuk. Tenza kembali menghadapkan kepalanya ke ayah Reina.

.....khihihii...

Kepalanya menunduk, mengingat sekali lagi kejadian yang sangat menakutkan hari itu.

Aku ini...tidak dapat merasakan sakit lho..

"Sebenarnya saya sudah menceritakan kejadian secara garis besar saat itu..."

Selama aku dapat membunuhmu, aku tidak akan menyesali apapun yang sudah aku lakukan.

"..Jadi saya rasa tidak ada yang perlu saya ceritakan lagi.."

Kepala Pria itu tertunduk. "Begitu yah.." Dia berbisik pelan kepada dirinya sendiri. Dalam diri Tenza dia merasa bersalah karena mengatakan itu kepadanya. 

"Tapi.." Dia kemudian berbicara. Berusaha membenarkan dirinya.

"Secara ditailnya, saya belum pernah menceritakan kepada siapapun." Ucap Anak itu. Ayah Reina kembali menghadap ke arah Tenza, seakan akan secercah harapan muncul di hadapannya.

"Bisakah kau menceritakannya?" Pria itu mencondongkan tubuhnya ke arah Tenza. Melihat itu, Tenza kemudian mengangguk.

"Saat itu...ketika Jason datang mengetuk pintu rumah. Saya menyuruh mereka berdua untuk pergi ke kamar yang menghadap langsung ke arah jalan raya. Saya menyuruh mereka menghancurkan kaca jendela, lalu mengikat frame jendela dengan kain sprei, mengubahnya menjadi tali dan melarikan diri lewat sana jika mendengar keributan di bawah."

"..."

"Saat itu saya berada di bawah, berusaha menghadang Jason untuk pergi ke atas dan menciptakan keributan hingga terdengar sampai ke lantai dua." 

'Kclaangg...'

"Awalnya, rencana berjalan lancar. Saya tinggal menunggu mereka berdua turun dan membuka pintu keluar, memberi saya sinyal untuk lari dari sana keluar menjauh dari Jason."

Penjelasan Tenza sangat dimengerti oleh dirinya. "Tapi.." Lanjut Tenza bercerita.

Apakah tanganmu terasa sangat sakit hah?khihihii.

Jika kau kesulitan, bagaimana dengan ini?

Khahaahaaaa....karena kau sudah mengetahui segalanya, itu artinya aku sudah punya target lain setelah tubuh ini yhaah...jika begitu...

"Reina tidak segera membuka pintu dan karena itu..."

AKU AKAN MEMBUNUHMU.

"Saya pingsan karena tongkat baseball milik saya sendiri yang di ambil secara paksa oleh Jason."

Tangan Tenza terangkat. Menyentuk kening sebelah kiri yang tertutup poni pendeknya. Jarinya menyentuh pelan pada bagian kening yang melengkung ke dalam itu.

"Bekas luka ini di sebabkan oleh Jason."

Pria itu diam mendengar cerita Tenza. Tenza menurunkan tangan kanannya dan menggeletakannya di atas meja kembali.

"Saya menghalau pukulan baseballnya dengan tangan kanan saya dan berakhir patah, kemudian Pria itu menghantam tongkat baseball tepat ke kening saya sehingga menyebabkan pendarahan yang banyak."

"..."

"Setelah itu saya pingsan dan terbangun di rumah sakit."

Pria itu membatu di seberang sana. Mendengar cerita Tenza dengan terlalu mendalaminya. Setelah itu dia membenarkan posisi duduknya kembali. Cerita Tenza cukup memuaskannya, tapi dalang di balik pembunuhan ini tetap tidak terjawab juga.

Dia ingin saja menganggap bahwa Jason telah membunuh istrinya lalu bunuh diri setelah itu. Tapi mengingat luka berupa lubang tubuh yang terbuka sangat besar, sudah dipastikan ada orang lain yang membunuh istrinya dan begitu juga dengan Jason.

Kepalanya tertunduk mengingat hari itu. Mengingat hari dimana dia melihat jasad istrinya yang tertutupi oleh kain putih dari ujung kaki hingga kepala, melihat tubuh pucatnya yang penuh dengan bekas luka di perut.

Hatinya benar benar tersayat melihat jasad wanita kesayangannya.

Polisi telah mengatakan kepadanya, tentang luka yang awalnya terbuka lebar saat mereka menemukan jasad istinya. Sebuah luka yang tidak mungkin bisa di lakukan dengan sebuah pisau ataupun tongkat baseball.

Kepala Pria itu terangkat kemudian. "Apakah kau tidak melihat pembunuhnya?"

Terlihat Tenza sedang menyeruput minumannya, matanya segera berputar memandang wajah Ayah Reina. Bibirnya terlepas dari sedotannya. Mengangkat dan menggelengkan kepalanya.

"Saya tidak melihat orang lain di sana, jujur saya sangat terkejut ketika mendengar Jason meninggal." Ucap pemuda itu.

"Begitu yah.." Ayah Reina menundukan kepalanya. Misteri ini benar benar tertutup rapat.

Tidak ada yang mengetahuinya bahkan Tenza sendiripun yang berada di sana tidak tahu.

Tenza hanya mendapatkan satu spekulasi yang terjadi setelah dirinya pingsan. Yaitu ada seseorang yang membunuh Nyonya mirabelle dan Jason, lalu menculik Reina dari sana.

Tenza tidak yakin dari mana pembunuh itu masuk dan kabur dari mana, tapi seharusnya ada jejak kaki atau sidik jari yang menempel di suatu tempat.

Tapi sepertinya polisi tidak menemukan diantara keduanya.

Tapi jika mengingat kejadian sebelum pengulangan terjadi, Reina selalu ditemukan dalam keadaan tewas. Kenapa di pengulangan terakhir ini Reina menghilang? Tenza tidak mengetahui alasannya.

Dia tidak memiliki satupun petunjuk.

Sebenarnya hal ini sudah ia sadari sejak lama. Bahwa tersangka terkuat yang ada di dalam benak polisi adalah dirinya sendiri.