webnovel

Teka Teki Bu Putri Dan Makan Malam

Sepeneninggal Bu Putri, suasana tak enak di rumah ini kembali menjalari bulu kudukku dan membuat rambut-rambut di tengkuk meremang.

Aku segera menutup pintu belakang dan jendela, melakukan sarannya Ibu Putri tadi. Setelah semua terasa aman, aku menuju meja makan untuk menyajikan ayam kecap.

Aku memilih menonton televisi sambil menunggu mas Fadil, tidak lama kemudian suara ketukan pintu depan terdengar. Aku bangkit dari duduk dan langsung membuka pintu.

Mas Fadil tersenyum, ada guratan lelah di wajahnya. Dia semangat sekali menggarap sawah. Hanya demi kamu Mas, aku akan tahan semua gangguan di sini.

"Makan, yuk!" ajakku sambil merangkul lengannya, dia mengangguk dan kami berjalan menuju meja makan.

Sebelum itu suamiku ke kamar mandi duli untuk mencuci Muka, kaki, dan tangan. Dia kembali ke meja makan dengan wajah yang lebih segar.

Dengan semangat aku menyeok nasi ke piring. Aku menaruh sepotong tahu, tempe dan sayur sup, tidak lupa ayam kecap dari Bu Putri.

Mas Fadil menyantapnya dengan lahap. Rasa lapar dan lelahnya menjadi satu, membuat dia makan dengan cepat.

"Enak banget sayurnya. Aku pikir udah abis. Kamu buat banyak hari ini?"

"Maksud Mas?"

"Iya, tadi siang ada orang antar makanan ke sawah, pakai sayur sop terus kamu bilang habis, eh gak taunya masih ada. Katanya titipan dari kamu."

"Tadi siang? Antar makanan ke sawah?"

'Aku baru selesai masak menu ini jam lima sore.' Sayangnya, kalimat terakhir hanya bisa kukatakan dalam hati. Mas Fadil tidak akan percaya untuk masalah ini. Dia harus memastikan beberapa hal terlebih dahulu.

Satu lagi, aku tidak pernah menyuruh orang untuk pergi ke sawah sekali pun. Apalagi tadi siang. Aku juga tak mengenal siapa pun di sini. Batinku mulai bergejolak. Semakin tak tenang.

"Oh iya, Fir. Ayam kecapnya juga tadi enak. Besok masak kayak gini lagi, ya, sayangku."

Tubuhku bergetar mendengar penuturannya. Bagaimana bisa aku melakukan hal itu. Apalagi, memberikan makanan yang baru aku masak. Keterlaluan sekali gangguan ini. Rupanya hanya aku yang diganggu, tapi kenapa Mas Fadil percaya saja.

"Kamu gak ikut makan, Sayang?" Mas Fadil menghentikan acara makannya sekejap. Dia menatapku.

"Mm ... i-iya aku makannya nanti aja, Mas." Aku sama sekali tak bernapsu. Kejadian ini merenggut semua semangatku.

"Yaudah, aku sisain, nanti malam harus makan!" perintah pria tampan itu.

Aku tak menanggapi lagi. Kakiku rasanya seperti jeli, benar-benar tak kuat menahan beban tubuh sendiri. Kenapa hanya aku yang dihantui, kalau saja Mas Fadil merasakannya. Tentunya kami sudah pergi dari sini.

"Fira ... duduk, dong. Masa suami makan sendirian." Mas Fadil mulai merajuk dan dia tak suka aku tak menemaninya makan.

Aku duduk di samping kanan Mas Fadil. Namun, otakku tak pernah berhenti berpikir untuk mencari jalan keluar dari rumah berhantu ini. Setidaknya ada yang bisa mengusir energi burul yang terus saja menghantuiku.

Setelah suamiku selesai makan. Aku langsung bergegas merapikan meja makan. Mencari baju ganti selagi Mas Fadil mandi. Kemudian cepat-cepat masuk ke kamar tidur.

***

Dengkuran halus Mas fadil membuatku terjaga. Aku mencoba memejamkan mata, mengingat jam masih menunjuk angka sebelas malam. Namun, perutku tak bisa diajak kerja sama. Cacing di dalamnya sudah berdemo minta makanan.

Aku lapar, tetapi takut untuk pergi ke dapur. Mau membangunkan suami, takut dia terganggu. Ya, sudahlah daripada sakit aku akan ke dapur.

Sesampainya di dapur, aku segera mengambil piring di rak, membuka laci penyimpanan makanan, lalu menyendok lauk yang disisakan Mas Fadil. Setelah itu langsung melesat ke kamar tidur.

Lahap, aku menyuap makanan ke mulut. Rasa ayam kecap buatan Bu Putri, benar-benar sedap. Aku harus belajar dari beliau. Karena suamiku sangat menyukainya. Buktinya dia hanya menyisakan satu potong sayap.

Nasiku sudah hampir habis, tetapi rasa lapar masih sangat kuat. Rasanya makanan tadi hanya selewat saja, tidak membuat aku kenyang sama sekali. Sampai sendok terakhir, aku merasa perutku semakin lapar.

Tergesa-gesa aku ke dapur, membuka laci penyimpanan bahan makanan. Namun, sial! Tidak ada apapun di dalam laci. Bagaimana ini, perutku melilit, kelaparan. Rasanya berbeda dari lapar yang biasa.

Aku tak bisa berbuat apa-apa selain mengganjal perut dengan air. Sampai sepuluh gelas tetap saja tidak terasa  kenyang. Saat ingin kembali ke kamar, sayup-sayup terdengar suara nyaring dari luar.

"Te ... sate ...!" Begitulah yang kudengar.

Ah, lebih baik aku membeli sate saja. Bergegas kuambil piring dan meluncur ke luar rumah. Tergesa aku membuka pintu depan dan berlarian munuju pagar. Rasa takutku seakan lenyap karena makanan.

"Bang, sate!" teriakku.

Abang penjual sate langsung berhenti. Dia tidak mundur, malah menungguku di depan rumah warga lain. Aku terpaksa menghampirinya dengan bertelanjang kaki. Beberapa kali kakiku menginjak kerikil yang cukup tajam. Tidak pernah sekali pun, aku begitu mendambakan makanan dan mengejarnya sampai begini.

Ini terasa sangat aneh. Seperti bukan diriku. Semua berubah sejak tinggal di sana. Iya ... aku yakin itu.

"Berapa tusuk, Mba?" tanyanya.

Aku terdiam. Kalau pesan 10 tentu kurang, 20, 30.

"Seratus tusuk, Bang!"

Aku mengelus perut yang seakan teraduk-aduk. Air liurku beberapa kali menetes tanpa kehendak. Lapar, aku kelaparan!

"Ini, Mbak, satenya. Jadi 150.000."

Aku merogoh uang di kantong. Pecahan seratus ribuan dan lima puluh, kuberikan.

"Ambil aja kembaliannya."

"Ti-tidak, i-ini kembaliannya."

Penjual sate itu mendadak gugup. Dia langsung pergi setelah memberikan kembalian. Aneh sekali, baru kali ini aku menemui orang yang menolak uang tip.

Aku bergegas pulang. Kepalaku menunduk memandang sate yang melimpah. Sebagian dibungkus karena tidak muat di piring yang kecil.

Aku masuk lagi ke kamar dan memakan sate itu dengan kedua tanganku. Saat sudah hampir habis, aku tersedak. Sesuatu menyangkut di dalam mulut, membuatku susah menelan. Aku terbatuk dan mengambil benda yang menempel di mulut.

Rambut panjang keluar. Aku terus menariknya dengan kedua tangan, layaknya seorang pesulap yang mengeluarkan pita dari mulut. Namun, semakin kutarik, rambut ini malah bertambah panjang. Sekarang bertambah dengan cairan merah yang pekat.

Oh, tidak! Ini bahaya. Aku sudah tak tahan dan bergumam tak jelas. Kuharap Mas Fadil bangun dan menolongku yang semakin sulit  bernapas.

"Firaaa ... tidurnya yang tenang, dong. Aku jadi kebangun, nih!"

Akhirnya dia bangun. Aku menggerakan tubuh semakin kencang.

"Mmm ... mmmm ...." Hanya itu yang keluar dari mulutku.

Rambut itu semakin panjang dan tak berhenti melilit tenggorokanku. Aku sudah tak sanggup.

"Fira ...!"

Tangan Mas Fadil langsung menarik tubuhku dan melempar piring berisi sate itu ke pintu. Membuat keramik bulat itu pecah berkeping-keping.

"Kamu kenapa, Sayang!" Mas Fadil menjerit dan mendekat.