webnovel

Tawa Misterius

Dia membantu menarik rambut dan menepuk-nepuk punggungku.

Setelah dua atau tiga kali tarikan yang dibantu suami. Akhirnya, rambut itu berhenti melilit tenggorokanku.

Banyak sekali rambut yang bisa ditarik. Namun, aku merasa lega. Akhirnya, dengan kejadian ini, dia tahu kalau rumah yang kami beli ini membawa pengaruh buruk kepadaku yang baru saja datang.

Aku tak sendirian, aku tak menghadapi ini tanpa siapapun.

Semua tulangku terasa dilolosi satu persatu dari tubuh. Tak mampu lagi ditopang dengan baik oleh diriku sendiri.Aku lemas dan tersungkur ke bawah kasur.

Mas Fadil buru-buru mengangkatku  dan membaringkanku di kasur. Dia mengelap semua darah yang berceceran di tangan. Membuka kancing baju satu per satu, lalu mengelap keringat di tubuhku. Setelah itu dia memakaikanku baju.

Tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Dia bungkam seribu bahasa. Aku melihat bagaimana tangannya trempor saat membersihkan darah dari tubuhku ini.

"Kamu lihat, kan? Kamu jahat, Mas. kamu gak perduli sama aku!"

Aku memakinya. Kemarahan ini terasa membelenggu tubuh, mengajakku untuk pergi jauh dan tak pernah kembali ke sini. Ke tempat dan rumah menyeramkan ini.

Mas Fadil terus saja diam. Pria itu tak sama sekali merespons apa yang sudah aku katakan. Entah karena dia mau fokus terhadap masalah ini, atau justru dia pura-pura seakan ini tak pernah terjadi. Kalau sampai iya, aku akan sangat membencinya.

Akan tetapi, tampak buliran air bening keluar dari matanya yang indah. Aku yang melihatnya malah ikut menangis. Menyedihkan sekali kehidupan kami kali ini. Baru saja aku dan dia bahagia bisa pindah ke rumah impian. Namun, kejadian-kejadian aneh ini malah terus menghantui.

Tadinya, aku ingin dia merasa diganggu, tetapi saat melihatnya hanya bisa menangis, sekarang aku menyesalinya. Mas Fadil pasti ketakutan dan akan segera pindah dari sini. Itu berarti impian kami hanya sampai di sini.

Aku ikhlas, memulai semuanya dari nol kembali, meskipun tak punya apa-apa. Itu tak jadi masalah, asalkan bisa keluar dari rumah berhantu ini, dan kembali ke kehidupan normal kami di kota besar. Bekerja kantoran lagi, lembur lagi, tapi setidaknya penuh kenyamanan dibanding ini semua.

Mas Fadil memelukku dan berbisik, "Aku tahu, Fira. Aku tahu ini sejak awal. Berjanjilah, demi pernikahan ini. Kita akan tetap tinggal di sini. Selamanya, Sayang. Selamanya seperti cinta kita." Mas Fadil tak membahas apa yang terjadi kepadaku, dia malah memaksakan kehendaknya lagi.

Aku tak percaya dengan apa yang dia katakan. Setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri, dan menyaksikan gangguan yang hampir membuatku kehilangan nyawa. Mas Fadil tetap bersikeras tinggal di sini.

Hatiku mencelos, air mata mengalir begitu saja. Tamparan keras kuberikan di pipi kanannya dengan semua sisa tenaga yang kupunya.

Suami yang kupikir akan menjaga istrinya sepenuh hati dan tak sekalipun mau melihatku menderita seperti janji pernikahannya. Aku tak menyangka, dia tega berkata seperti itu, hanya untuk membuatku tetap tinggal.

Kalau aku tinggal lama lagi di sini. Sudah barang tentu, para demit dan hal-hal mistis itu lagi, akan datang dengan cepat. Mereka akan mengepungku di sini.

"Aku gak ngerti lagi, Mas! Tega-teganya kamu!" Aku mendorong tubuhnya. Pelukan erat dia terlepas.

Walaupun lemas, aku berusaha bangkit dan mengemas semua pakaian ke koper. Mas Fadil menghalangiku, dia menarik kopernya dan menata kembali pakaian yang sudah kutaruh ke dalam lemari.

"Biarin aku pergi, Mas! Kamu udah tau rumah ini banyak gangguannya, tapi malah tutup mata! Aku yang tersiksa sendirian! Aku yang hampir lenyap dan kamu dengan tega-teganya nahan aku. Apa kamu masih ada akal sehat, Mas. Ke mana emati kamu. Aku hampir gila di sini!"

Kupukul dada berkali-kali, meluapkan semua emosi yang membuat sesak. Air mata terus saja merembes, walaupun terus kutahan demi membela harga diriku yang diinjak-injak suami sendiri.

Mas Fadil berjalan ke arah pintu kamar. Dia mengambil pecahan piring. "Kalau kamu nekat pergi. Aku akan melukai diriku sendiri, Fira!"

Dia mengarahkan keramik tajam itu ke pergelangan tangannya. Dia semakin medekatnkannya dan terlihat serius. Aku tak mampu melihatnya ini terlalu mengerikan.

Pakaian yang kugenggam terjatuh begitu saja. Aku mendadak bingung. Kenapa Mas Fadil sangat kekanankan seperti itu. Padahal aku sudah memintanya baik-baik. Dia pun begitu.

"Jelaskan, apa yang kamu ketahui. Aku janji gak akan pergi, asal kamu jawab!" Aku hanya perlu alasannya. Setelah itu mungkin akan pergi diam-diam juga.

"Aku belum bisa! Belum waktunya, Fira!" Dia membentak. Mas Fadil tak pernah sekonyol ini. Dia menggelikan.

Setelah mengatakan itu, Mas Fadil meninggalkanku sendirian di kamar.

"Mas, kamu gak bisa begini sama Aku! Kita harus bicara. Jangan pergi dalam keadaan marah. Kita harus selesaikan dulu!"

Aku mengikutinya dari belakang sambil terus memintanya untuk kembali. Namun, dia malah keluar rumah tanpa mau menatapku sedikit pun.

Setelah memakai alas kaki, dia berhenti membelakangiku, aku juga ikut diam.

Mas Fadil bicara tanpa berbalik sedikitpun.

"Dengar, Fira, kita akan bicara jika kamu mau tetap di sini, itu pun di waktu yang tepat!" Mas Fadil benar-benar pergi pada akhirnya meninggalkanku.

Aku menangis di depan rumah. Mengasihani diri sendiri yang terabaikan. Bahkan melihatku hampir tiada saja, Mas Fadil tetap pada pendiriannya.

Aku tak tahan lagi dan segera masuk kamar. Mengambil ponsel kemudian menghubungi Mamah. Nada dering terus terdengar, beberapa detik kemudian, telepon tersambung.

"Halo, Fira, ada apa menelpon malam-malam begini?"

"Mah, jemput aku. Bawa aku pergi dari sini, Mah! Aku gak kuat lagi ...."

"Syukurlah, Fira, kalau kamu betah di sana. Kemarin mamah khawatir ngelepas kamu, tapi ngeliat kamu sedih mamah jadi gak tega."

Aku menjauhkan ponsel dari telinga. Memastikan telepon masih tersambung dengan kontak yang tepat.

"Mamah salah dengar. Aku gak betah sama sekali di sini, bahkan sejak hari pertama!"

"Iya, Fira. Mamah tahu kamu suka di sana. Semoga kamu diberi kemudahan terus di sana. Nurut sama Fadil. Dia keliatan sayang banget sama kamu, Fir. Fadil suami yang baik."

"A-apa?! Mamah kenapa gak nyambung gini sih, Mah! Buka—"

"Fira, Kamu sekarang berani nonton film setan? Suara ketawa perempuan sampai ke sini, lho."

Aku melihat sekeliling. Suara tertawa perempuan, siapa.

"Mamah jangan bercanda, deh. Tolongin aku, Mah. Jemput aku dari sini aku tak—"

"Masa kamu gak dengar suaranya dekat banget. Kayak gini nih, hihihihihi...."

Aku melempar ponsel saat mendengar suara cekikikan yang terdengar dan itu dipastikan bukan suara Mamahku.

"Hihihihi ...!"

Aku mendengar suara tertawa itu lagi, kali ini sangat nyaring sampai menusuk telinga. Aku menutup kedua telinga dengan tangan dan berlari dari kamar.