Sekarang aku merasakan embusan angin kencang yang panas melewatiku. Lagi-lagi diiringi tawa itu lagi. Tawa melengking yang sering kutonton di film-film horor.
Kini bukan lagi bulu kudukku yang berdiri jika ada aktifitas mistis ini di rumah kami. Namun, semua bulu di tubuhku meremang. Aku merinding ketakutan dan panik.
"Pergi! Jangan ganggu aku, pergi!" Aku mencoba mengusir energi negatif dari makhluk-makhluk yang sepertinya sudah sering datang ke sini. Namun, tak ada gunanya. Apa yang kulakukan sama sekali tidak ada efeknya.
"Hihihihi ... dasar wanita sial! Kau harus tiada! Hihihihi ...."
Makian-makian itu terasa sekali membuatku semakin takut. Suara-suara menyeramkan itu juga terus saja terngiang-ngiang mengiringi langkahku yang berat dan susah. Kedua kaki ini juga terasa ada yang menahannya. Sulit untuk sekadar melangkah.
Aku berlari semakin kencang mendengar makian itu. Jadi yang menggangguku selama ini adalah setan perempuan. Entahlah. Sering kudengar setan atau jin itu bisa menyerupai banyak bentuk, benda, bahkan manusia sekalipun. Aku tak mau banyak mengira-ngira.
Aku berlari menerobos keluar rumah. Memacu kaki lebih cepat, tak perduli meskipun kerikil tajam menancap dalam. Sambil berlari aku menengok ke belakang. Memastikan setan itu tak mengejarku. Mencoba menajamkan telinga, apakah suara-suara ghaib tersebut masih ada.
Saat menghadap ke depan, aku menabrak tubuh seorang wanita berbaju putih selutut. Dia memandangku kaget begitupun sebaliknya.
"Fira?! Kamu kenapa?"
"I-Ibu Putri ... tolong aku!"
***
Aku menggeliat, mataku perlahan membuka dan melihat langit-langit kamar Ibu Putri. Aroma manis tercium dari arah kiri. Ternyata di sana terhidang sepiring pisang goreng.
Aku segera mengambilnya dan memakan gorengan manis itu karena merasa lapar, pisang goreng adalah favoritku.
"Nyenyak tidurnya?"
"Maaf, Bu. Saya merepotkan Ibu. Padahal, Ibu belum kenal saya."
"Inilah yang saya takutkan Fira. Lambat laun semuanya pasti terkuak. Sejak hari pertama saya ingin memperingati kamu, tetapi banyak yang melarang saya."
Aku bangkit dan menghampiri Bu Putri yang masih saja berdiri di depan pintu. Aku membimbingnya untuk duduk di pinggir ranjang.
"Sebenarnya apa yang terjadi dengan rumah kami, Bu?"
"Saya ... saya ... takut menjelaskannya."
"Bu, tolong ... saya butuh petunjuk." Aku terus memaksanya.
Bu Putri sudah membuka mulutnya, tetapi gedoran pintu depan sangat keras terdengar. Kami berdua bangkit dan keluar kamar.
"Bu Putri! Jangan sembunyikan Istri saya di dalam. Fira ... ayo, Sayang, kita pulang!" Suara Mas Fadil semakin menggila. Dia bagaikan orang yang sedang kerasukan.
Ketukan pintun semakin kencang dan ribut. Entah apa yang terjadi. Aku mulai curiga dengan dia dan Bu Putri.
"Astaga, Fira! Bagaiman ini, Fadil pasti marah," ucap Bu Putri dengan mimik yang ketakutan.
Aku merasa kasihan melihatnya dan menepuk-nepuk bahu beliau untuk menenangkan.
"Baiklah, saya pergi."
Namun, saat ingin memutar kunci. Bu Putri menahanku.
"Carilah berkas keluarga Pak Bayu. Di sana kamu akan menemukan jawabannya ... hati-hati dengan Fadil. Jangan sampai dia tahu, Fira," bisiknya.
Aku menetralkan napas yang mendadak memburu saat mendengar bisikan Bu Putri. Kubuka pintu perlahan dan Mas Fadil langsung muncul dengan tampang yang memberengut. Dia pasti marah besar, entah kepadaku atau Bu Putri.
"Aku cariin kamu kemana-mana, Sayang," katanya sambil menarik tanganku menjauhi pintu.
Buru-buru aku melepas genggaman tangannya, risih sekali dengan perlakuannya yang tiba-tiba posesif.
"Kita bahas di rumah saja. Ini bukan salah Bu Putri. Justru, dia yang nolongin aku. Karena aku dikejar setan tadi malam saat kamu pergi ninggalin rumah."
Mas Fadil langsung diam mendengar kata-kataku. Sebelum benar-benar pergi, aku masuk ke dalam dan berpamitan pada Bu Putri.
"Saya pulang, Bu. Masalah berkas Pak Bayu, apa yang harus saya lakukan bila menemukannya?"
Wanita yang sudah memiliki uban di sebagian rambutnya itu terlihat sumbringah. Dia mendekat dan berkata," Serahkan pada saya. Karena hanya kita berdua yang bisa memecahkan masalah ini."
Aku mengangguk setuju kemudian mencium punggung tangannya dan langsung keluar rumah. Kugamit lengan pria yang terus saja menatap sengit ke arah Bu Putri. Mas Fadil sepertinya penasaran dengan pembicaraan kami. Hal ini membuatku yakin kalau dia menyembunyikan sesuatu yang tidak baik.
***
Aku sebenarnya masih marah dengan suamiku. Namun, tetap berusaha membuat dia nyaman bersamaku dengan memasak makanan kesukaanya. Ayam goreng dan sayur sup. Dia memakannya dengan lahap.
"Terima kasih, Sayang. Kamu mau tetap di sini. Aku gak tau lagi harus gimana kalau kamu ninggalin aku."
"Kemana kamu semalam? Siapa yang kasih tahu kamu kalau aku ada di rumah Bu Putri."
"Aku ke rumah teman sesama petani, aku ingin menenangkan diri dan gak mau ribut sama kamu. Saat aku pulang, kamu gak ada di rumah. Aku panik dan nyari kamu ke luar. Selagi aku mencarimu, tiba-tiba ponselku bunyi, ada yang kirim aku sms kalau
kamu ada di sana."
"Siapa pengirim SMS-nya?"
"Tidak tahu, gak ada namanya, dan aku gak kenal."
Aku mengangguk dan berpikir sebentar kemudian meluncurkan pertanyaan pamungkas yang sejak tadi kupendam.
"Kalian berdua terlihat akrab. Walaupun kamu keliatannya benci sama Bu Putri, tapi dia tahu segala-galanya, Mas. Jangan-jangan kamu dan beliau sudah lama mengenal, ya?"
Mas Fadil menghentikan acara makannya. Dia menatapku sengit, amarahnya terlihat dari urat lehernya yang menegang.
"Ya, kami sudah lama mengenal dan mulai hari ini, aku akan menghapus dia dalam hidupku. Tolong jangan bahas ini lagi, Fira. Aku pamit mau ke sawah. Kali ini dengan terpaksa aku menguncimu dari luar, supaya dia gak ganggu kamu!"
Tanpa menengok lagi, Mas Fadil benar-benar pergi meninggalkanku. Semua jendela dan pintu dikunci. Aku terdiam beberapa saat dan memandang benda yang kuambil dari saku celana. Kunci serép yang kusimpan sejak hari pertama. Mas Fadil pasti melupakannya.
***
Sepeninggal Mas Fadil bekerja, aku tak mau menyia-nyiakan waktu. Keberanianku sebenarnya hanya seujung jari, tetapi semua tertutupi demi mendapatkan berkas Pak Bayu di sini.
Aku mulai memasuki gudang di belakang rumah. Terbatuk aku mendapat serbuan debu yang menggunung. Sarang laba-laba juga membuat pandangan menjadi buram. Aku mulai membuka beberapa laci lemari plastik usang. Mengeluarkan semua isinya, termasuk beberapa map berwarna coklat.
Kubuka satu per satu map hasil jarahan tadi. Sudah lima buah map tidak ada hasil yang memuaskan, hanya berisi hal tidak penting seperti potongan sebuah majalah misteri keluaran lama. Namun, saat aku ingin bangkit dari duduk, kepalaku terbentur lemari kayu yang tinggi.
Lemari itu terlihat rapuh dan setelah aku menjauh, benda itu langsung ambruk. Menumpahkan semua isinya ke lantai. Aku menatap semua benda yang terjatuh, dan ada sesuatu yang menarik perhatian. Itu adalah sebuah koper berwarna hitam.