Bab 6
"Bagaimana, apa kamu setuju dengan rencanaku?" tanya Gupta padaku.
Kami sedang berbincang berdua di teras rumahku. Aku sendiri masih syok dengan penuturan Pak Dayat di ruang tamu tadi. Setelah aku dan Gupta berkenalan, Pak Dayat menerangkan maksud kedatangan mereka.
Beliau berkata ingin menjodohkan Gupta, anak mereka dengan diriku. Ayah dan Ibu menyerahkan keputusannya padaku. Walaupun dalam hati, aku yakin mereka ingin aku menerima perjodohan itu.
Aku masih berpikir dengan bingung, Gupta meminta waktu untuk kami bicara berdua. Jadilah sekarang kami duduk berdua di teras rumah. Ternyata Gupta juga tak setuju dengan perjodohan itu. Namun, dia tak kuasa menolak karena ancaman Pak Dayat.
Nama Gupta akan dicoret dari ahli waris dan akan diusir selamanya dari keluarga Pak Dayat. Jadi dia mengajakku untuk bekerjasama denganku. Kami akan menikah sesuai permintaan orang tuanya, tapi kami hanya menikah di atas kertas saja.
Gupta meminta waktu satu tahun untuk menjalani pernikahan pura-pura itu. Setelah itu, aku dibebaskan untuk menuntut cerai darinya.
Hatiku merasa nelangsa jadinya. Umur sudah tiga puluh belum ketemu jodoh juga, sekalinya ketemu, malah nikah pura-pura. Apa memang nasibku hanya untuk jadi alat untuk memenuhi keinginan orang lain saja?
"Bagaimana, Intan. Kalau kamu tidak setuju, silakan katakan langsung pada orang tuaku kalau kamu gak mau dijodohkan denganku," kata Gupta lagi.
"Aku ... bingung," jawabku.
"Hmm, aku dengar kamu sering di bully di perkebunan, kan? Mengapa tidak kamu terima saja perjodohan ini? Sekaligus membungkam mulut mereka yang suka menghina kamu?"
Gupta tahu tentang hal itu? Dari mana dia tahu? Aku semakin bingung, tapi kata-kata Gupta benar juga. Aku terima saja perjodohan ini, jadi tak akan ada lagi yang berani mengejekku.
Selain karena kamu sudah menikah, suamiku juga merupakan anak orang terkaya di kampung sini. Baiklah, sepertinya ini jawaban Allah akan doa-doaku selama ini.
"Baiklah, aku terima perjodohan ini dengan syarat yang kamu ajukan itu," ucapku akhirnya.
Gupta pun tersenyum lebar, kemudian mengajakku untuk masuk kembali ke dalam rumah.
"Sebelumya, kalau boleh aku tahu. Kenapa Pak Dayat sangat memaksa kamu untuk menikah?" tanyaku.
Aku juga ingin tahu alasannya.
"Itu karena ... Papa tak suka dengan kekasihku. Christin, kekasihku dari negeri Singapura. Selain beda negara kami juga beda agama. Papa tak setuju aku untuk menikah dengannya," jawab Gupta tanpa melihatku.
Jadi begitu alasannya, cukup masuk akal juga, pikirku.
"Jadi selama kita menikah, kalian akan tetap berhubungan?" tanyaku lagi.
Kali ini Gupta menoleh menatapku.
"Sesuai perjanjian kita tadi, kita tak boleh saling mencampuri urusan pribadi masing-masing. Jadi kamu sudah mengerti jawabannya, kan?" jawabnya.
Aku paham maksudnya, jadi kami bersikap seolah orang asing di rumah tangga kami nanti. Oleh, kita lihat bagaimana akhirnya nanti.
Aku pun berdiri dan berjalan masuk ke rumah diikuti oleh Gupta di belakangku.
Kedua orang tuaku menyambut senang keputusanku, pernikahan kami pun langsung di tetapkan tanggal dan waktunya.
Hanya berselang sebulan setelah lamaran itu, pernikahan kami dilaksanakan. Pernikahan yang cukup mewah di kampungku. Walaupun aku inginnya pernikahan sederhana saja, tapi kedua orang tuaku dan calon mertuaku tak setuju.
Akhirnya pesta pernikahan kami pun berlangsung dengan mewah. Para tetangga ibu dan teman kerjaku pun tak dapat berkata apa-apa lagi. Mereka merasa malu jika bertatapan denganku.
Ibuku tampak puas melihat kekalahan dari orang-orang yang telah mengejeknya selama ini.
Setelah menikah, Gupta mengajakku tinggal di rumahya sendiri. Rumah pemberian orang tuanya, yang letaknya tak jauh dari rumah Pak Dayat.
Hari pertama setelah menikah berlalu begitu saja, tak ada kemesraan di antar kami karena sesuai perjanjian sebelumnya. Kami hanya menikah pura-pura saja. Sampai waktunya nanti, kami akan berpisah kembali. Namun, jika di depan orang tuaku atau orang tuanya, kami akan bersikap mesra agar mereka tak curiga.
Hal itu berlangsung terus selama enam bulan. Hanya tinggal enam bulan lagi, maka aku akan terbebas dari pernikahan palsu ini.
---------
Sore itu, aku sedang berkunjung ke ruang orang tuaku. Gupta sedang ada tugas keluar kota, pekerjaannya sebagai abdi negara membuatnya harus mengikuti apa pun perintah dari atasannya
Sebenarnya dia bisa saja bekerja di perkebunan papanya, tapi Gupta ingin mandiri dan tak tergantung dengan kedua orang tuanya. Alasan yang masuk akal, tapi kenapa saat diancam akan kehilangan hak waris dia malah takut? Aku jadi bingung dengan pemikirannya.
"Kamu belum hamil juga, Nduk?" tanya ibuku sore itu.
"Belum, Bu. Belum rezekinya," jawabku berbohong.
Bagaimana mau hamil, kalau kami tak pernah tidur bersama, pikirku merasa bersalah.
"Ya, sudah. Gak apa-apa. Namanya rezeki itu datangnya dari Allah. Kamu harus banyak-banyak berdoa, Nduk," lanjut ibuku.
"Iya, Bu," jawabku pelan.
Ketika hari hampir malam, aku pun pamit pulang dengan mengendarai d sepeda motor pemberian Gupta. Sampai di rumah, aku terkejut melihat lampu teras sudah menyala.
Aku pun bergegas masuk.ek dalam ruang yang juga tak dikunci. Rasa was-was menyelimuti hatiku. Apa Gupta sudah pulang? Kenapa dia pulang lebih awal kali ini? Berbagai pertanyaan muncul di pikiranku.
"Dari mana kamu?" Suara bariton milik Gupta langsung mampir di telingaku.
Rupanya memang dia yang menghidupkan lampu di rumah.
"Gupta, kok kamu sudah pulang?" Aku malah balik bertanya.
Gupta berdiri di depanku sambil bersedekap, matanya menatap tajam padaku.
"Aku dari rumah Ibu," jawabku santai.
"Hmm, kenapa gak pamit?" Pertanyaannya kali ini membuatku melotot tak mengerti.
Sepertinya Gupta mulai pikun dan lupa dengan peraturan yang dibuatnya sendiri.
"Kenapa melotot? Jawab pertanyaan aku Intan?" Gupta kembali mengulang pertanyaannya.
Aku mendehem kecil sebelum menjawab pertanyaannya.
"Apa kamu lupa, Gupta? Kita berdua dilarang mencampuri urusan pribadi pribadinya masing-masing. Kita ini bebas hendak berbuat apa saja sepanjang tidak melanggar norma dan hukum. Apa sekarang peraturannya sudah berubah? Apa aku harus minta izin kalau hendak keluar rumah?" tantangku.
Gupta berdecak kesal kemudian meremas rambutnya dengan kasar. Tanpa bicara lagi, dia berbalik dan melangkah ke kamarnya.
"Dasar suami pikun," kataku seraya tersenyum.
Keesokan harinya, aku baru saja selesai memasak nasi goreng kesukaan Gupta. Aku pun menyusun hidangan di meja makan dengan cepat dan rapi,.karena sebentar lagi Gupta akan keluar dari kamarnya.
Aku pun duduk menunggu di meja makan, tapi sampai hampir setengah jam menunggu, dia tak juga keluar dari kamarnya. Aku merasa penasaran jadinya, segera saja aku bergegas ke arah kamar milik Gupta yang ada di lantai atas.
Pintu kamarnya masih tertutup rapat, aku mencoba mengetuk sambil memanggil namanya. Karena tak ada jawaban, aku pun mendorong pintu yang ternyata tak dikunci.
"Gupta, kamu kenapa"
Bersambung.