webnovel

Dilan : Suara Dari Milea

Pagi itu, di Bandung, pada bulan September, tahun 1990, setelah turun dari angkot, aku jalan menuju sekolahku sebagaimana yang lainnya yang juga sama begitu. Bedanya, aku jalan sendirian, yang lain ada yang berdua atau lebih. Dari arah belakang, aku mendengar suara motor. Suaranya agak berisik dan yang bisa kuingat di masa itu, belum begitu banyak siswa yang pergi sekolah dengan memakai motor. Ketika motor itu sudah mulai sejajar denganku, jalannya melambat. Seperti sengaja ingin menyamai kecepatanku berjalan. Pengendaranya menggunakan seragam SMA Meskipun saat itu banyak orang yang pada mau pergi sekolah, aku tetap waspada, kuatir barangkali dia mau berbuat buruk kepadaku. Dia bertanya: —Selamat pagi|| —Pagi||, kujawab, sambil menoleh kepadanya sebentar —Kamu Milea, ya?|| —Eh?||, kutoleh dia, memastikan barangkali aku kenal dirinya. Nyatanya tidak, lalu kujawab: - i y a l l —Boleh gak aku meramal? || —Meramal?||, Aku langsung heran dengan pertanyaannya. Kok meramal? Kok bukan kenalan? —Iya. Aku ramal, nanti kita akan bertemu di kantin||. Dia pasti ngajak becanda. Aku gak mau. Tapi aku tidak tahu harus jawab apa. Hanya bisa senyum, mungkin itu cukup, sekedar untuk berbasa-basi.

MasBoY · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
16 Chs

3. Dia Adalah Dilan

Hari senin, di tengah-tengah barisan siswa yang ikut upacara, aku berharap tidak ada satu pun orang tahu bahwa diam-diam mataku mencari dirinya, meskipun aku sendiri tidak tahu untuk apa juga kucari. Mungkin cuma ingin lihat saja. Tidak lebih dari itu.

Sampai upacara sudah mau selesai, orang itu, Peramal itu, tak berhasil kutemukan. Di mana dia?

Hatiku bertanya. Jangan-jangan tidak sekolah? Aku tidak tahu. Ah, ngapain juga kupikirin!

Emang siapa dia?

Seorang guru, dengan menggunakan speaker, tiba-tiba, memberi komando, agar seluruh siswa jangan dulu bubar dari barisan. Kupandang ke depan karena ingin tahu ada soal apa gerangan, oh saat itulah aku bisa melihat dirinya.

Dia di sana, di depan, menghadap ke arah kami, bersama dua kawannya. Berdiri di sana karena dibawa oleh guru BP, setelah berhasil ditemukan dari tempatnya sembunyi, untuk menghindar ikut upacara bendera.

Dia dan dua orang temannnya disebut Komunis oleh guru BP. Aku tidak mengerti apa sebabnya seseorang sampai disebut komunis hanya gara-gara tidak ikut upacara. Entahlah.

Nun di sana, di tempatnya berdiri, aku yakin, dia sedang menyadari bahwa ada seseorang di tengah barisan peserta upacara, yang sedang memandangnya, yaitu diriku. Atau tidak?

Tapi yang pasti, sebagaimana yang lain, aku sedang memandangnya dari jauh, dengan perasaan yang sulit kumengerti.

—Dia lagi! ||, bisik Revi seperti ngomong sendiri. Dia teman sekelas, yg berdiri di sampingku

—Siapa dia? ||, kutanya Revi

-Dilan||

"Oh||

Dilan itu, adalah yang kemaren datang ke rumah, senyam-senyum depan pintu. Komunis itu, adalah yang pernah nyuruh si Piyan ngirim surat ke aku. Anak nakal itu, adalah yang kemaren sempat membuatku penasaran karena ingin tahu lebih jauh tentang dirinya.

Mendadak, hari itu, aku bagai malu sendiri bahwa aku pernah ada sangkut paut dengan dirinya.

Mendadak, aku bagai menyesal karena sudah merasa terhibur oleh surat undangannya.

Sampai-sampai kalau misal ada orang yang nanya, apakah Milea kenal Dilan? Aku yakin, aku akan langsung pura-pura tidak tahu. Apakah Milea teman Dilan? Entah mengapa segera akan langsung kujawab: Bukan. Aku hanya mengenal Beni, pacarku! Beniku baik dan tidak nakal, malahan guru-guru banyak yang suka kepadanya walau entah karena apa.

Kata Rani, di kelas, setelah upacara, Dilan itu anak kelas 2 Fisika 1 dan anggota gengmotor yang terkenal di Bandung. Jabatannya Panglima Tempur. Oh ya ya. Aku sering membaca namanya ditulis di tembok-tembok pake pilox. Oh dia ternyata!

Aku betul-betul jadi takut. Dia pasti sangat nakal, dan juga mungkin jahat. Meskipun aku yakin, dia tidak seperti yang kuduga. Lagi pun kalau benar dia begitu, mengapa juga harus takut, toh siapa pun dirinya, ayahku seorang tentara, yang akan siap menembaknya jika harus.

Pokoknya, mulai besok, aku harus waspada seandainya dia berusaha mendekati, meskipun tidak harus kasar kepadanya. Dan tidak perlu terlalu menanggapi apa pun yang ia lakukan padaku, jika hal itu adalah bagian dari usahanya untuk melakukan pendekatan.

Kalau dia ingin jadi pacarku, katakanlah begitu, aku yakin dia akan minder setelah tahu siapa Beni. Dilan pasti akan mundur daripada harus kecewa karena cinta yang tak sampai.

Bubar dari sekolah, cuaca mendung, aku pulang bersama kawan-kawan. Ada Dilan yang menyusulku dengan motornya. Aku langsung bisa yakin dia pasti akan mengajak aku pulang bersamanya naik motor. Nyatanya tidak, padahal aku sudah menyiapkan berbagai alasan untuk bisa menolaknya.

—Kamu pulang naik angkot?||

Kujawab dengan anggukan. Entah mengapa, saat itu, aku seperti gak enak dilihat kawan-kawan sedang didekati oleh dia, si anak nakal.

- A k u ikut....||

—Ikut apa? ||, tanyaku tanpa menoleh kepadanya, tapi bagian sudut mataku berusaha melihat ke arahnya.

—Naik angkot ||.

—Gak usah||, jawabku sambil memandangnya sebentar —Kan angkot buat siapa aja|| —Kamu kan naik motor? ||

—Nanti motorku dibawa kawan ||

Eh? ||

Lalu dia pergi. Kutengok sebentar ke belakang, dia datang lagi dengan sedikit berlari. Aku tak ingin tahu disimpan di mana motornya. Itu bukan urusanku, termasuk kalau hilang.

Di angkot, dia duduk di sampingku. Aku benar-benar jadi kikuk, dan juga mati gaya.

—Ini hari pertama, aku duduk denganmu||

Tidak kurespon, karena memang gak perlu. Kuambil buku, lalu kubaca. Mudah-mudahan bisa membantu mengalihkan pikiranku kepadanya. Mudah-mudahan bisa membantu membuat dia mengerti untuk jangan mengganggu orang yang sedang baca.

Tapi dia berbisik, suaranya kudengar pelan sekali menyebut namaku:

—Milea ||

Aku diam untuk tidak menanggapi.

—Kamu cantik ||, katanya lagi dengan suara yang pelan tanpa memandangku.

Heh? Aku kaget. Serius, hampir-hampir tak percaya dia akan bicara begitu. Aku bingung harus gimana dan berusaha memastikan bahwa kawan-kawanku di angkot, tidak mendengar apa yang dia katakan. Aku merasa seperti malu.

—Makasih||, akhirnya kujawab sambil tetap baca buku, dengan intonasi yang datar, tanpa memandang dirinya. Dengan suara yang pelan bagai berbisik, kudengar dia bicara:

—Tapi, aku belum mencintaimu Enggak tahu kalau sore||

Ih! Suaranya pelan, tapi rasanya seperti petir. Aku diam,

tidak mau merespon omongannya

—Tunggu aja||» katanya lagi.