Betul-betul, saat itu, rasanya ingin teriak, tepat di
kupingnya: Apa sih kamu ini?! Tapi tidak kulakukan. Aku
memilih diam dan bersikap berusaha tidak akrab dengannya.
Habis itu, dia juga diam.
—Aku ramal, kamu akan segera tahu namaku ||.
Udah tahuuu! Gak usah diramal-ramal. Udah tahu! Tapi kujawab:
- iyall
Ketika sudah sampai, aku turun dari angkot, dan langsung kaget, karena dia juga turun. Aku nyaris merasa kuatir dia akan mampir ke rumahku. Jika benar, aku akan langsung melarangnya.
Jangan sampai terjadi!
Syukurnya tidak. Dia pamit pergi, dan lalu nyebrang jalan, untuk naik angkot lagi, menuju arah sekolah. Aku ramal, dia ke sana pasti mau mengambil motornya.
Tadi, sebelum dia pergi, dia sempat bilang: —Kamu tahu, Milea, semua siswa itu sombong?|| —Kenapa?||, tanyaku.
—Siapa yang mau datang ke ruang BP, menemui Pak Suripto? Cuma aku, Milea! ||
-Ooh!||, aku senyum, tapi sedikit.
Ketika dia pergi, muncul perasaan bersalah sudah bersikap judes kepadanya. Pastilah dia sedih.
Pastilah dia kesal. Dan besok, mungkin, dia kapok. Sesampainya di rumah, si Bibi memberiku surat. Itu surat
yang terbungkus dalam amplop warna ungu. Oh, surat dari Beni! Kubaca surat Beni sambil terus kepikiran soal Dilan yang mungkin hari ini sudah kecewa dengan sikapku. Apa salahnya dia, Milea? Mengapa hari ini kau begitu, padahal baru kemaren engkau tersenyum kepadanya dan sedikit terhibur oleh surat
undangan yang dia berikan padamu?
Aku simpan surat Beni, surat yang penuh kata-kata mendayu berisi melulu soal cinta dan rindu itu. Heran, biasanya aku senang, entah mengapa, hari itu, aku merasa seperti sedang berubah di dalam menilainya: Ah, Beni kurang asik! Maksudku, mungkin aku merasa bosan dengan dia yang terlalu monoton!
Si Bibi ngetuk pintu, manggil, untuk nyuruh aku makan. Aku keluar dari kamar dengan isi kepala yang mulai dikacaukan oleh pikiran tentang omongan Dilan di angkot tadi:
"Mileci, kamu cantik. Tapi aku belum mencintaimu. Enggak tahu kalau sore. Tunggu aja".
Kata-kata aneh, yang sudah membuatku tersenyum dan yang terus nempel di kepalaku sampai malam harinya. Di
kamar, tiba-tiba ku ketawa, dan teriak dalam hati, seolah-olah hal itu kutujukan padanya: Mau cinta mau enggak, dengar ya, hai kau yang bernama Dilan: Terseraaaaaahhh! Itu urusanmu! Emang gua pikirin!?
Setelah usai shalat isya, aku dapat telepon dari Beni. Dia bicara lama sekali. Atau sebentar? Tapi entah mengapa aku merasa itu sangat lama. Dan katanya, dia mau ke Bandung, nanti, minggu depan.
—Kamu senang? ||, Beni nanya apakah aku senang jika dia ke
Bandung menemuiku? Kujawab:
- iyall
Memang, harusnya aku senang, Beni. Oke, kalau begitu, baiklah, aku akan berusaha untuk senang.
Itu hari selasa, ketika aku mendapat surat dari Dilan. Entah bagaimana Dilan bisa nitip suratnya ke Rani. Isi suratnya pendek:
"Pemberitahuan: Sejak sore kemaren, aku sudah mencintaimu
Dilan!".
Aku seperti terkesiap membacanya. Lalu dengan cepat, langsung kututup surat itu.
Jadi malu sendiri rasanya, dan berharap Rani tidak sudah membacanya. Kayaknya belum, karena surat itu dimasukkan ke dalam amlop yang tertutup.
Aku hanya kuatir orang-orang akan tahu apa isinya. Lalu dengan cepat kumasukkan ke dalam tas, seolah dengan itu bisa kujejalkan sampai masuk sedalam mungkin.
Dia, menurutku, hari ini, harus bertanggungjawab, karena sudah berhasil mengganggu kosentrasi belajarku.