Buyutku memang orang yang kondang dengan keahliannya kala itu, ia menjadi dukun bayi ternama di desa ini. Kalian tau sendirilah, pada jaman dulu pasti banyak orang yang memiliki keilmuan kan? ya, termasuk mbah buyutku.
Kembali ke masa beberapa tahun yang lalu, tragedi keluarga yang rumit. Dimana keserekahan telah merenggut kedamaian. Keributan antar anak dan cucu membawa kutukan dan dendam. Semasa hidupnya, selain menjadi dukun bayi buyut juga memiliki banyak sekali sawah, tanah, yang menjadi sumber penghasilan dan juga tabungan dimasa depan. Namun, seiring berjalannya waktu, dan berkurangnya kemampuannya untuk mengolah sawah, buyut memasrahkan pada anak dan cucunya untuk meneruskan mengolah sawah juga tegal yang ia miliki.
Buyut memiliki 4 cucu, yaitu bude Parni, Uwak Ijo, mamaku, dan paman Reki. Namun cucu-cucu lelaki yang buyut kira bisa diandalkan, malah diam-diam menjual sawah dan juga tegal tanpa sepengetahuannya, kala itu tinggal tersisa satu sawah dan lahan yang sekarang jadi rumah untuk kami tinggali. Hingga pada puncaknya, saat itu buyut mengutarakan kekecewaannya pada cucunya. Buyut menangis, sedih, kenapa tega menjual sumber penghasilan demi memenuhi keegoisan mereka saja.
Salah satu cucunya, yaitu Uwakku, Ijo. Ijo adalah kakak laki-laki mama, dari semua saudara dia dan Reki yang paling banyak menghabiskan harta. Padahal dari saat mereka menikah semua kebutuhan telah dipenuhi oleh buyut dan juga mamaku yang dulunya sampai rela merantau ke kota.
Niat hati buyut ingin menegur Ijo, kenapa dia menjual sawah tanpa ijinnya. Tapi Ijo marah, ia membentak buyut dan ngamuk sambil membanting kursi, bahkan Ijo menghantam kaca pintu hingga pecah. Tidak sampai disitu, Reki adik dari ibuku juga ikut menggerogoti sisa harta yang buyut punya, bahkan Reki mengancam akan menjual rumah yang kami tempati ini.
Sedih, perih, buyut dan mbah putri merasa gagal menjadi orang tua yang tidak mampu mendidik anak dan cucunya. Semakin dewasanya mereka, Keserakahan membutakan hati mereka, tidak peduli bagaimana nasib orang tua juga saudara lainnya. Hingga buyut hanya memiliki sisa tanah dan satu sawah yang kini menjadi harapannya.
Buyut terus berfikir, bagaimana cara untuk menggagalkan Reki supaya tidak menjual rumah itu, akhirnya buyut memutuskan untuk pergi melakukan sebuah ritual. Buyut menjalani suatu ritual yang mbah putri tidak begitu paham saat itu. Mbah putri hanya melihat dan memperhatikan yang buyut lakukan pada tengah malam. Ia melihat ada telur wurungan (telur busuk) yang dibungkus kain putih, kembang, dan entah apalagi yang mbah putri tidak tau jenisnya.
"Untuk apa ini mak?" tanya mbah putri.
"Aku akan menanam telur ini, supaya Reki pergi dari sini dan supaya gagal menjual rumah ini!"
"Tapi mak..."
"Sudah! Cepat bantu aku gali dan kubur telur wurung ini di sini! Sampai kapanpun aku tidak rela jika Ijo dan Reki menjual tanah ini, rumahku!" ucap buyut penuh dengan kemarahan.
Mbah putri tidak bisa berbuat apa-apa, ia tidak setuju dengan cara mbah buyut, tapi disisi lain ia juga takut kalau anak-anaknya berhasil menjual satu-satunya tanah dan sawah yang tersisa.
"Kau dengar aku. Siapapun tidak akan betah tinggal dirumah ini jika mereka memiliki niat dan hati yang buruk. Meskipun mereka adalah keturunanku!" ucap mbah buyut lalu beranjak pergi mengurung diri di kamarnya.
Mbah buyut didera kesedihan, Sejak itu juga buyut mulai sakit-sakitan. Kesehatannya kian hari kian bruk, tidak doyan makan, juga jarang berkomunikasi dengan yang lainnya sampai mbah buyut pun meninggal. Meninggal dengan membawa kesedihan dan juga kekecewaannya.
Aku masih ingat dulu, bagaimana wajah uwak Ijo yang seperti orang khawatir. Bukan menyesal tapi khawatir karena tau buyut meninggal dalam keadaan marah padanya. Saat keranda mbah buyut sudah diangkat dan siap digotong menuju ke pemakaman, uwak Ijo meminta warga untuk berhenti sejenak, kemudian ia berjalan merunduk dibawah keranda 3x. Konon dengan cara itulah supaya arwah dari orang meninggal bisa memaafkannya.
Aku diam berdiri mengamati uwak, 1x, 2x ia menerobos kolong keranda dengan aman. Tapi pada yang ketiga kalinya, tiba-tiba kepala uwak terbentur besi keranda dengan cukup kencang.
"Paanggg" warga yang sedang menahan keranda menoleh dan terkejut karena posisi oleng akibat benturan kepala uwak tadi.
"Ijo. Hati-hati" ucap salah satu dari warga.
"Kamu ga papa Ijo?" tanya mbah putri. Sedangkan uwak terjongkok meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya.
"Sakit mak. Nyeri" kata uwak dengan nada yang berat. Mbah putri kemudian menyuruh Ijo masuk lalu mengompres kepalanya yang benjol dan sedikit berdarah akibat terbentur keranda tadi. Aneh aja sih, padahal uwak sudah merunduk jauh dari besi keranda, tapi kepalanya tetap saja terbentur. Aku melihatnya sendiri.
Tiga hari usai meninggalnya nenek buyut, atmosfir rumah terasa sangat begitu mencengkam. Banyak juga kejadian aneh yang cukup membuat orang-orang didalam rumah ketakutan. Sweesss... Angin dingin menerpa tengkuk mama yang sedang berada di pawon untuk menyiapkan makanan untuk orang yang datang tahlil malam itu.
Derrr.... Gradak... gradak... meja yang berada di depan mama bergetar seperti tergoncang gempa. mama berdiri terpaku. "Apa yang terjadi? Apa ada gempa?" gumam mama mulai gemetar memperhatikan meja yang terguncang.
Braaakkk. Kuali yang ada di cantolan tiba-tiba terjatuh tanpa sebab. Mama kaget dan ketakutan. Ia langsung berlari menghampiri bude dan juga mbah putri yang sedang berada diruang tengah. "Ada apa Iyah? Kenapa kemu berisik banget di pawon?"
"Bukan aku mbayu, tapi kuali itu jatuh sendiri. Meja juga getar kaya kegoncang gempa" jelas mama gemetar.
Mbah putri dan bude saling pandang. Tersirat kecemasan di wajahnya. "Ya udah, aku temenin yuk" ucap bude. Akhirnya mama dan bude menyiapkan makanan sama-sama di pawon.
Selama tahlil dilangsungkan, bude, mbah putri, dan mama ikut mebaca doa dikamar mbah buyut. Sesekali terlihat mbah putri yang menyeka airmatanya. Siapa yang tidak sedih jika ditinggal oleh seorang ibu.
Gradak, gradak, gradak. Kaleng tempat untuk menyimpan makanan tiba-tiba bergetar, mama, bude dan mbah mbah putri serentak noleh ke kaleng itu, aneh, ga ada yang nyenggol tapi kaleng bergetar beberapa kali. Mbah Putri mendekati kaleng itu lalu mengangkatnya, tapi tidak ada apa-apa disana.
Hawa rumah jadi ga enak setelah buyut meninggal. Entah sebuah kutukan atau apa, tapi setiap laki-laki yang tinggal dirumah ini pasti tidak betah lama.
Memang rumah ini tidak jadi dijual. Setelah buyut meninggal Ijo pergi dan tinggal di rumah istrinya yang letaknya hanya selang beberapa desa dari sini, ia mampu membangun rumah berkat menjual tanah buyut. Begitu juga dengan Reki, ia pindah ke rumah istrinya yang berada di Bumiayu.