webnovel

Kesurupan

Kembali ke masa dimana aku sedang sakit waktu itu, setelah menengokku pakde langsung bergegas pergi menemui Ijo, menggunakan ojek. Karena kalau jalan kaki pasti makan waktu yang lama. Pakde sudah punya firasat yang tidak baik.

Ijo punya tiga orang anak, laki-laki semua. Sesampainya disana pakde melihat Ijo sedang berusaha mengendalikan Awi anak bungsunya. "Kenapa ini?" ucap pakde yang baru saja turun dari ojek. Ijo kelihatan kuwalahan, keringat terlihat di seluruh keningnya.

"Kebetulan kau datang kang. Awi... " ucap Ijo terengah.

"Kenapa Awi?"

"Sudah dari semalam dia ngamuk ga jelas, juga teriak-teriak ga jelas kang"

Pakde mengamati Awi yang sedang duduk di ruang tamu, kehebohan tadi tiba-tiba senyap dan Awi bertingkah biasa, normal, seperti tidak terjadi apa-apa.

Beberapa menit berlalu, sejak kedatangan pakde suasana aman. Ijo menemani pakde duduk di ruang tamu mereka mengobrol sambil menikmati teh hangat. Awi duduk di sebelah pakde sambil asik memainkan sendok, usianya sudah 8 tahun, tapi memang dia punya keterlambatan bicara. Awi anak normal, bukan autis, dia cuma lambat berbicara.

Ditengah obrolan antara Ijo dan pakde, tiba-tiba saja sendok yang dipegang Awi dilemparkan ke arah Ijo. Seketika itu juga, sendok langsung mengenai mata kanan Ijo.

"Aaarrrrhhh" teriak Ijo kesakitan. Pakde sangat terkejut dengan kejadian yang tiba-tiba itu, melihat bapaknya kesakitan Awi tertawa kencang dan mengerang.

"Awi!" kata pakde.

"Hahaha" Awi tertawa saat bapaknya merintih kesakitan. Mata Awi menatap Ijo dengan penuh kebencian, lalu ia berbalik menatap pakde. Yang lebih mengerikannya lagi, bagian lensa matanya tidak terlihat. Awi menatap dengan mata yang hanya terlihat bagian putihnya saja.

Brak... Brak... Brak... Tangannya memukul meja berkali-kali, kemudian Awi naik ke atas meja untuk kembali menyerang Ijo.

Pakde langsung mencegah dan memegangi Awi yang sudah hilang kendali. "Ijo. Kamu pergi dari sini cepat!." ucap pakde yang juga kewalahan dengan tenaga Awi yang kuat. Pakde tau, orang yang sedang menjadi incarannya adalah Ijo, dengan menjauhkan Ijo dari sana mungkin kondisi akan lebih terkendali.

"Siapa kamu!"

"Hhaarkkh. Jaya Kariya!" jawab Awi dengan suara dan nada yang berbeda.

"Buyut Jaya adalah orang yang baik. Bukan seperti ini!"

"Enyong mangkel So. Enyong mangkel. Putune pada serakah!!!"

**(Aku marah So, aku marah. Cucuku serakah!!!)**

"Ngerti mbah. Nyong ngerti. Tapi ora kaya kiye carane, rika sing ayem nang kana. Aja dendam, aja mangkel, ben ayem tentrem nang kana."

**(Paham mbah. Aku paham. Tapi tidak seperti ini caranya, kamu yang damai di alam sana. Jangan dendam, jangan marah, supaya damai dan tentram di alam sana.)**

"Mbok harep kaya ngapa paha tetep putune rika si mbah? Andak ora melas nek rika nglarani? Rika njuk malah ketambahan dosa!. Siki rika beli, uwes aja mangkel wae, melas sing egen urep!."

***(Mau bagaimanapun juga mereka tetap cucu kamu kan mbah? Apa ga kasihan kalau kamu menyakiti? Kamu malah bertambah dosa!. Sekarang kamu pulang, sudah jangan terusin marahnya, kasihan yang masih hidup)***

Suara Awi mulai lirih, airmata keluar sambil merintih sedih. Perlahan lensa matanya turun kebawah, matanya kembali normal. Tapi setelah itu, Awi terkulai lemah.

*****

Beberapa hari berlalu, aku juga sembuh. Rasa takutku waktu itu sudah hilang seketika. Aku sudah kembali ke sekolah seperti biasa, meskipun masih terasa lemas tapi ga apalah, udah kangen sama suasana sekolah.

Sejak kejadian matanya yang dilempar sendok oleh Awi, Ijo tinggal bersama pakde untuk sementara. Karena setiap Awi dekat dengannya, ia pasti akan diserang oleh anaknya sendiri yang kesurupan. Dipukuli, dijambak, dicakar bahkan yang lebih ekstrim lagi Awi pernah mengejarnya sambil membawa pisau.

Sewaktu pulang sekolah aku lihat keluarga sedang berkumpul di ruang tamu, aku melihat uwak Ijo yang matanya masih bengkak, merah, lensa hitamnya tertutup selaput putih seperti orang katarak.

"Uwak. Kenapa matanya?" tanyaku waktu belum tau cerita dibalik mata uwak yang sakit itu.

"Nimas. Ganti baju, habis itu makan" ucap mama. Padahal waktu itu aku penasaran banget sama mata uwak.

"Iya ma" jawabku langsung masuk kedalam kamar.

Musyawarah keluarga kembali dilakukan, tak lama kemudian pakde datang sambil membawa sesuatu yang dibungkus kantong plastik warna hitam. Aku tidak dengar apa yang mereka bicarakan saat itu, karena aku lagi di pawon sedang makan, yang jelas mereka membicarakan makam mbah buyut, tapi aku belum paham apa yang akan mereka lakukan disana.

"Ayo, kita ke pesarean sekarang. Nanti keburu sore" ucap pakde.

"Aku ikut ya ma" daripada aku di rumah sendirian, ga bisa main ke rumah Widya juga karena dia lagi pergi sama bapaknya.

"Kamu boleh ikut tapi jangan jelalatan ya!" peringatan keras dari mama. Mungkin mama takut aku bakal sawan kalau jelalatan di makam. Hmmm.

Sekitar jarak 300 meter dari rumahku menuju ke pemakaman umum, kalian tau ga? Makam di desaku terkenal sangat angker. Banyak sekali orang yang melihat penampakan di jalan menuju pemakaman, akan aku ceritakan lain kali. Oke.

Pemakaman umum terletak di atas bukit, kita masih harus naik untuk menuju ke sana. Dulu tangga menuju ke atas makam masih terbuat dari tanah dengan akar pohon beringin untuk menopang tanah. Banyak banget pohon beringin tumbuh tinggi dengan daun yang lebat. Sepanas apapun cuaca, tetap terasa dingin dan gelap saat kita berada di tengah makam.

Pakde langsung mengajak kami menuju ke makam mbah buyut, kami duduk mengitari makam untuk membaca doa tahlil dan pakde sebagai imamnya. Cuma... Setelah kami selesai membaca doa, pakde mengeluarkan kantong plastik yang ia bawa dari tadi.

"Mama. Apa itu?" bisikku bertanya pada mama.

"Ssttt. Jangan berisik"

Apalah daya, sebagai anak kecil aku hanya bisa menyimak dan melihat meskipun banyak pertanyaan di kepalaku. Pakde menyomot benda di dalam plastik, dan meletakkannya di atas makam mbah buyut.

Aku ga ngerti apa maksud dari pakde itu, ternyata barang yang dia bawa dari rumahnya adalah biji jagung dan biji kedelai yang sudah agak gosong karena sudah di sangrai. Dan pertanyaan hatiku terjawab sudah ketika mendengar pakde yang menyambati mbah buyut.

"Buyut, kamu boleh mengganggu kalau biji kacang kedelai dan jagung ini tumbuh. Tapi kalau tidak tumbuh, berhentilah mengganggu dan semoga kamu tenang disana" ucap pakde sambil mengubur biji jagung dan kedelai sangrai diatas makam mbah buyut.

Jelas udah ga bisa tumbuh lah. Biji-bijian itu sudah kering dan gosong. Dan setelah itu, uwak Ijo meminta permintaan maaf di makam mbah buyut.

Setiap manusia lahir kedunia itu ga cuma bayi, kepercayaan kami ada 5 yang ikut lahir dan biasa kita sebut sedulur papat 5 pancer. Apa hubungannya? Jelas ada.

Karena terkadang meskipun orang sudah meninggal, tapi masih ada sosok yang mirip datang untuk meneror dan balas dendam. Itulah mereka, yang ikut lahir selalu berdampingan dengan kita semasa hidup. Seperti mbah buyut, ruh sudah kembali kepada sang pencipta.

Tapi saudara batinnya masih tidak terima dengan perlakuan mereka yang menyakiti dimasa hidupnya, akhirnya merekapun meneror dan mengganggu orang yang menyakiti untuk membalas perbuatannya.

Next chapter