webnovel

Nada-nada Cinta

Hima menatap ponselnya yang tadi menyala karena seseorang yang terus saja menghubunginya, wajahnya ayunya berubah murung, moodnya yang ia bangunsusah payah agar bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan baik nyatanya runtuh karena nama yang berulang kali muncul di layar ponselnya.

'Ardan' Laki-laki yang menyemai luka dihatinya, kembali dengan gombalan dan omongan palsu yang menyesakkan hatinya.

Hima masih terus membiarkan laki-laki itu menghubunginya namun sengaja ia tak mau mengangkat telpon dari laki-laki tersebut. Sakit hati dan kecewa yang ia rasakan melebihi rasa cinta yang dulu ia berikan pada laki-laki itu, hingga kini walau Ardan menangis darah sekalipun tak kan pernah membuat hatinya luluh.

Hingga bel pulang sekolah pulang, Hima membereskan buku acuan mengajarnya dan mengambil tas yang tersampir di belakang kursinya.

Mengenakan helm lalu menstater motor matic miliknya menuju ke sebuah gerai makanan cepat saji yang tak jauh dari sekolah, Erlangga tak sengaja melihat Hima yang melintas lewat depan bengkelnya, sedikit terheran karena Hima tak pernah membawa motornya melebihi kecepatan standar, sekitar 40-50 km/jam.

Erlangga terus memandangi pungung Hima yang semakin lama semakin menjauh, namun mengusik rasa penasaran sekaligus khawatir terhadap Hima, entah sejak kapan perasaan itu muncul, tapi Erlanga tak mau menyangkalnya, dia membiarkan hatinya berjalan sesuai arah tujuannya.

"Liatin apaan sih, Ngga? Sampai segitunya?" Tanya Joko sambil memegang botol oli mesin.

"Itu, tumben si Hima ngebut? Ada apaan ya?"

"Kepo." Jawab Joko yang langsung mendapat toyoran dikepalanya dari Erlangga.

"Busyet dah, galak amat jadi bos."

"Lagian kamu sih, diajakin ngomong serius malah begitu, ngatain aku kepo." Sergah Erlangga.

"Bukan begitu, Ngga. Lagian sejak kapan kamu perduli dengan Hima sih?"

"Kepo." Balas Erlangga pada Joko.

"Semprul kowe, Ngga." Gerutu Joko, sedangkan Erlangga sudah masuk ke dalam bengkelnya untuk melanjutkan membereskan servisan motor nya.

Hima berhenti di gerai makanan cepat saji yang ia tuju, lalu masuk ke dalam dengan tergresa-gesa.

"Nurul!" Panggil Hima pada sahabatnya yang telah beberapa bulan ini menghilang tanpa kabar.

"Hima." Sahut Nurul yang langsung bangkit dari duduknya dan memeluk Hima sekilas.

"Kamu kenapa sih, Rul? Selalu saja cari masalah, ayo sekarang kamu pulang." Ajak Hima pada Nurul sang sahabat.

Nurul mengeleng, lalu menunduk kan kepalanya. "Aku ga bisa pulang Hima."

"kenapa?" Tanya Hima penasaran dengan apa yang terjadi dengan Nurul selama ini.

"Karena aku sudah menikah dengan Bram, dan aku tidak semudah itu kembali ke rumahku, karena pasti Bram akan marah padaku."

"Kenapa dia harus marah, kalau memang ia sayang sama kamu, harusnya ia tahu apa yang kamu butuhkan dan kamu inginka, termasuk menemui orang tuamu."

Hima tetap mengelengkan kepalanya pelan , "Dia tak akan mengijinkan aku pulang, Hima."

"kenapa, kasian ibumu Hima."

"Tidak Hima, kamu selama ini tertipu oleh kelembutan orang tuaku, dia pembohong."

Hima tersebtak mendengar apa yang sahabatnya katakana, yang menuduh orang tuanya sebagai pembohong.

"Apa maksudmu?" Tanya Hima penasaran.

"Karena ibu sendiri yang menjualku pada Bram, aku bersyukur dia yang membeliku, dan menjadikan aku istrinya."

"Kamu menyukai Bram?"

"BUukan menyukai Hima, tapi mungkin mulai menyayanginya."

"Bagaimana bisa? Maksudmu bagaimana bisa ibumu menjualmu pada Bram, dan apa yang baru saja kamu katakana Rul, kamu menyukainya?"

Nurul mulai terisak, "Iya, ibuku mempunyai hutang pada rentenir, dan Bram bersedia membayar Hutang ibu asal aku mau menikah dengannya, dan akhirnya aku menikah dengan bram, lalu Bram membawaku ke rumahnya yang ibuku sendiri tak tahu dimana aku tinggal, karena sejak kami menikah ibu tak henti-hentinya meminta uang pada ku dan Bram."

Hima mengelengkan kepalanya pelan, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar, "Kamu kalau ngomong jangan ngawur, Rul. Dia itu ibu kamu."

"Terserah kamu mau percaya padaku apa tidak, yang jelas aku sudah memberitahumu apa yang terjadi sebenarnya, kenapa aku tidak pernah mau pulang ke rumah dan mengunjungi ibu."

"Astaghfirullah, bagaimana masalahnya menjadi serumit ini si Rul?" Ucap Hima lalu mendesah nafas berat, sungguh dia bingung harus bagaimana sekarang, apa dia harus memercayai Nurul atau Ibunya Nurul, semuanya terlalu sulit ia percaya.

"Hima, aku harus pergi, suamiku sudah menjemputku, terimaksih kamu mau datang dan mendengarkan ceritaku." Kata Nurul sambil beranjak berdiri.

Hima mengangguk, tapi tiba-tiba Hima memegang pergelangan tangan Nurul saat sang sahabat ingin berbalik meninggalkannya.

"Ini buat kamu, semoga kamu masih mau memakainya." Hima menyodorkan sebuah jilabab instan pada Nurul dan meletakkannya dengan paksa di telapaj tangan Nurul, yang membuat Nurul kembali menangis dan memeluk Hima.

"Trimaksih Hima, Terimakasih." Ucap Nurul lalu berbalik pergi meninggalkan Hima yang masih berdiri memandangi kepergian sahabatnya.

"Ya Allah, berikan Nurul yang terbaik, dan jagalah ia selalu." Doa Hima dalam hati untuk sahabatnya.

Hima mengendong tas pungungnya yang tadi ia letakkan di kursi sebelahnya lalu melangkah pergi dari gerai makanan cepat saji itu.

Hima kembali menjalankan motornya namun kini dengan kecepatan sedang, karena apa yang membuatnya terburu-buru sudah terlewati walau dengan menyisakan tanda Tanya dan kegelisahan di hati Hima.

Persahabatan yang mereka jalin sangat erat, bahkan seperti saudara pantas saja jika Hima ikut merasakan ke galauan jika ada yang terjadi dengan Nurul.

Erlangga melihat motor Hima dari kejauhan, lalu sengaja memberhentikan motornya.

"Assalamualaikum, Him." Sapa Erlangga ketika Hima sudah berhenti di pinggir jalan sebrang bengkel Erlangga.

"Waalaikumsalam, Mas. Ada apa ya nyuruh Hima berhenti?" Tanya Hima tanpa melepaskan helmnya.

"Mampir dulu yuk, aku bikin makanan special, banyak takut ga abis kalau ga ada yang bantu habisin." Ucap Erlangga penuh maksud terselubung.

"Maaf mas, buka nolak rejeki, tapi Hima sedang puasa sekarang." Jawab Hima dengan tersenyum Sedangkan Erlangga Cuma nyengir Karena Ia lupa jika hari ini adalah hari Senin.

"Maaf Hima, saya ga tahu kalau kamu puasa." Tandas Erlangga.

"IYa, tidak apa-apa mas, kalau begitu saya permisi dulu." Pamit Hima sambil menyalakan mesin motornya.

"Silahkan Hima, hati-hati dijalan." Ucap Erlangga.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

'Hima apa yang harus aku lakukan untuk bisa dekat denganmu, apa kau tahu hati ini ingin selalu berdekatan denganmu.' Batin Erlangga. Sambil memandangi Hima dari kejauhan.

"Jok, nanti sore kita ke rumah Aziz yuk." Ajak Erlangga pada Joko yang sedang memasang lampu spion pada motor servisan.

"Ngapain?"

"Buka puasa."

"Halah, memangnya kamu puasa?"

"Bukan aku, tapi keluarga Hima."

"Bilang saja kalau Hima yang puasa terus kamu mau ngasih makanan buat Hima, gitu tho?!"

Erlangga nyengir kuda karena niatnya ketahuan oleh Joko. "Halah gitu aja kok repot." Gerutu Joko sambil terus memasang spion motor.