webnovel

Awal penantian

Awan mendung menyelimuti sebagian kota Jogja di sore itu. Erlangga menaiki motornya dengan Joko berada dibelakang membonceng dengan menggunakan sarung.

"Ngga, jangan ngebut-ngebut, maghrib masih lama." Joko mengingatkan Erlangga untuk tidak melaju kencang di jalanan.

"Ya Allah, Jok. Yang ngebut tuh siapa, kamu dibawa kecepatan 60 km/jam udah rewel kayak anak perawan minta di nikahin aja, Jok." Ujar Erlangga pada Joko.

"Bukan gitu, Ngga. Aku belum nemu gadis cantik dan kaya untuk aku nikahin lho. Eman-eman muka gantengku ini kalau mati muda belum menikah, Ngga."

Erlangga tertawa terbahak mendengar ucapan dari sahabat semprulnya itu. "Aduh Jok…Jok…kalau emang ganteng ga mungkin si Evi dulu nolak kamu mentah-mentah, dah kayak orang Jepang yang doyannya mentah-mentah."

"Sembarangan kamu itu, Ngga. Bukan nya Evi yang nolak aku, tapi aku yang ga mau sama dia, buadannya itu nyeremin."

"Nyeremin apanya? Badan seksi gitu kok dibilang nyeremin."

"Elaahhh…kowe ki ngga. Ga percaya aja sama aku. Yawes sekarepmulah sing penting kowe seneng."(Terserah kamulah, yang penting kamu senang).

"Beli martabak dulu Jok, masa kerumah orang kita ga bawa apa-apa sih, malu tho."

"Ngomong aja, lagi cari muka, pakek acara malu segala kamu bawa-bawa."

"Adab bertamu Jok."

"Adab bermodus kamu itu." Ucap Joko dengan muka kesal.

Erlangga hanya tersenyum lebar melihat bagaimana sahabatnya ini berjalan menuju tukang martabak, lalu pesan dua porsi martabak. Satu martabak manis dan satu martabak telur.

"Dah jadi nih. Ayo kita berangkat, nanti keburu maghrib kelewat buka puasa kita."

"Kayak situ puasa aja, Jok."

"Ngomong sama orang yang jatuh cinta itu ga ada menangnya, lebih baik diam dari dari pada ke skak terus." Ujar Joko sambil naik kembali ke atas boncengan motor Erlangga.

Mendung yang sedari tadi menggumpal kini berubah menjadi butiran air yang mulai menetes membasahi langit yang gersang karena seharian tersengat matahari. Erlangga mempercepat laju motornya agar lekas sampai di rumah Hima.

Tak sampai lima belas menit motor yang dinaiki telah sampai di rumah bergaya klasik dengan banyak tanaman bunga menghiasi pekarangannya.

Aziz yang telah diberitahu sebelumnya oleh Erlangga jika dirinya akan datang telah menanti di teras rumah bersama ayahnya.

"Untung kalian nggak kehujanan di jalan." Ujar Pak Syahrul pada Erlangga dan Joko yang baru saja masuk kedalam teras.

"Iya Pak. Untung Erlangga bisa ngebut tadi di jalan pak. Kalau enggak kita udah basah kuyup." Kata Joko yang membuat Erlangga melonggo.

"Tadi aja kamu takut aku ngebut, sekarang berlagak bersyukur segala." Tandas Erlangga, yang membuat Pak syahrul dan Aziz tertawa lebar. Mereka sudah biasa melihat kelakuan Joko dan Erlangga, yang menurut mereka selalu kocak dan apa adanya.

"Kalian ini, ya udah ayo masuk, sebentar lagi maghrib." Ajak Pak Syahrul.

"Ayo masuk." Gantian Aziz yang menyuruh mereka untuk masuk ke dalam rumah.

Di ruang tengah mereka berjumpa dengan ibu Syahrul dan Erlangga langsung memberikan dua bungkus martabak sebagai oleh-oleh.

"Ini buk, martabak untuk menemani buka puasa." Ucap Erlangga pada Nyonya Syahrul.

"Walah kalian ini kok repot-repot. Datang ya tinggal datang aja ga usah bawa ginian segala." Ucap Nyonya Syahrul pada Erlangga.

"Dek Hima kemana Buk? Kok ga kelihatan." Tanya Joko mewakili sang sahabat yang sejak tadi matanya jelalatan mencari sang pujaan.

"Oh, HIma. Lagi didalam kamarnya, sebentar lagi juga keluar. Ayo kita ke ruang makan aja, sebentar lagi waktu maghrib lho."

"Baik buk." Ucap Joko dan Erlangga sambil membungkukkan tubuihnya.

Keduanya duduk di bangku yang terbuat dari bamboo yang dianyam menjadi tempat duduk yang antik. Mata Erlangga bertemu tatap dengan mata Hima yang sedang menyajikan makanan ke atas meja untuk buka puasa. Lalu duduk disamping ibunya yang sedang menuangkann teh ke dalam gelas.

Beberapa saat kemudian suara adzan berkumandang, lalu mereka melanjutkan berbuka puasa bersama.

"Hima, sholat dulu ya buk." Pamit Hima setelah menyesap tehnya untuk membatalkan puasa.

"Kita ga sholat berjamaah saja, bapak juga mau sholat dulu baru makan."

"Ya, udah saya juga ikut jamaah pak, boleh?" Tanya Erlangga dengan sopan.

"Ya boleh dong, ayo kita sholat berjamahh saja….makanannya di tutupi saja dulu buk." Suruh pak Syahrul pada istrinya. Lalu dengan patuh Bu Syahrul menutup makanan dengan tudung saji, setelah itu menyusul suami dan anak-anaknya ke sebuah ruangan yang memang diperuntukkan untuk sholat, tidak terlalu besar tapi cukup untuk menampung satu keluarga berjamaah.

Sebelum sholat dimulai Erlangga melirik Hima yang sudah menggunakan mukena dan berdiri dibelakang bersama ibunya.

'Semoga Allah menakdirkan aku menjadi imammu.' Doa Erlangga dalam hati. Lalu mulai membaca niat sholat berjamaah dengan bapak Hima sebagai Imam.

'Semoga lelaki sepertimu yang kelak menjadi Imamku.' Bisik Hima dalam hati, kemudian ikut khusuk larut dalam sholat.

Lima belas menit kemudian mereka telah selesai mengerjakan sholat berjamaah, lalu Pak Syhrul menyuruh semua untuk makan bersama.

Nu Syahrul telah lebih dahulu menyingkap penutup nasi bersama Hima membantu menata gelas untuk masing-masing orang, lalu menuangkan air minum ke dalamnya.

"Terimakasih, Hima." Ucap Erlangga sambil melirik Hima yang berdiri disampingnya sambil menuangkan air dalam gelasnya.

"Sama-sama, Mas." Jawab Hima lalu berlanjut ke gelas Joko dan Aziz.

Joko dan Aziz hanya saling pandang, sebenarnya Joko senang jika Hima dan Erlangga benar-benar berjodoh tapi untuk Aziz memang mempunyai ke khawatiran tersendiri karena secara tingkat sosial mereka sangat berbeda, Aziz tahu jika Erlangga bukan orang biasa, dia anak pengusaha kaya raya dan keluarga mereka sangat terpandang walau Erlangga sendiri adalah sosok yang sangat sederhana dalam segala hal. Tapi jika memang mereka berjodoh maka Aziz juga tak bisa berbuat apa-apa karena memang sudah takdir adiknya dan Erlangga.

"Ayo, nak Erlangga, Joko jangan malu-malu, silahkan dimakan ini special ibunya Hima bikinkan buat kamu, nak Erlangga. Katanya kamu suka sayur lodeh." Ucap Pak Syahrul pada Erlangga.

"Iya Pak, terimakasih saya jadi ngeroptin." Ucap Erlangga sambil memegang tengkuknya, cangung.

"Ya tidaklah, ibu suka kok kalau makanan ibu banyak yang suka, berarti makanan yang ibu bikin itu enak. Ayo nambah lagi tho." Sergah ibu Hima.

Erlangga menatap sekilas pada Hima yang duduk disamping ibunya. Hima hanya mengangguk sekilas saat bertemu pandang dengan Erlangga, lalu melanjutkan menyendok makanannya.

Saat sedang menikmati makanannya ponsel disaku Erlangga berbegetar tanda ada pesan masuk, namun Ia acuhkan sampai acara makan bersama dengan keluarga Hima selesai. Tapi getaran di saku celananya terus berdering akhirnya Erlangga mohon diri untuk mengangkat panggilan dan membaca pesan itu.

[Perusahaan ayahmu dalam masalah, sebaiknya kau turun tangan] pesan dari Pak Dermawan sepupunya yang juga orang kepercayaannya di kantor ayahnya dulu.

Lalu panggilan kembali masuk di ponselnya, AWAN nama yang tertulis dilayar ponsel.

"Assalamualaiku, Wan."

"Waalaikumsalam, Ngga. Kamu dimana?" Tanya Awan atau Dermawan.

"Aku di jogja, kenapa perusahaan ayahku bisa tersangkut masalah?"

"Ceritanya panjang, kamu segera kembali ke Jakarta, nanti aku ceritakan semua." Ucap Awan.

"Aku pulang ke apartemenmu." Jawab Erlangga.

"Oke, aku tunggu secepatnya."

"Baiklah."

Sebenarnya Erlangga sudah berniat untuk meminta ijin mengkhitbah Hima malam ini, tapi karena masalah yang mendesak ini, maka Erlangga mengundur niat baiknya sampai urusannya di Jakarta selesai.