webnovel

Di Antara Cinta Ada Apa?

Distian, seseorang dengan segudang permasalahan, segudang rahasia. Ia adalah cowok dengan kepribadian yang buruk di mata teman-teman sekelasnya. Kasar, semena-mena, tak berbelas kasih, tak bisa diajak kerja sama dan hanya memiliki segelintir teman. Di tengah konflik keluarga dan juga hidupnya, akhirnya ia sadar akan kehadiran seseorang. Seseorang yang membawa ketenangan, Yuni. Cewek yang duduk dengan jarak 2 meter saja di depannya. Cewek yang tak pernah tertangkap dalam radar dan ingatannya. Sampai suatu hari mata mereka bertemu, Distian sadar akan ketenangan dan juga senyuman yang diberikan. Dia tak pernah berjuang untuk seseorang, tak pernah berusaha mendapatkan sesuatu yang sangat ia inginkan, dia hanya selalu bersikap acuh terhadap segalanya, baik manusia maupun bumi. Tapi, ia tak bisa acuh terhadapnya, kepada Yuni. Kepada cewek dengan penuh kelembutan dan juga tata krama, sangat berbeda dengannya. Ia adalah kebalikan dari segala aspek dari dalam dirinya. Akhirnya ia berusaha mendapatkannya, mengejarnya dengan caranya sendiri, dia tak romantis dan juga tak pandai bertutur kata yang benar. Membuat Yuni selalu kesal dan merasa terganggu awalnya, bukannya memberinya rasa nyaman. Distian malah menghancurkan beberapa kisah Yuni. Memberinya masalah. Perlahan, Yuni menoleh ke arahnya, ia pun tertarik dengan cara yang aneh terhadap Distian. Seiring berjalannya waktu tubuh mereka beradaptasi satu-sama lain, Yuni pelan-pelan terbiasa dengannya, dengan sikapnya. Ia pun mengontrol Distian tanpa ia sadari. Distian yang tak jelas latar belakangnya akhirnya membuka pintu untuk Yuni. Kehidupannya yang tak pernah terjamah oleh orang lain, siapa Distian, bagaiman dengan keluarga, bagaimana dia selama ini, apa yang ia suka dan apa yang ia tidak suka. Dan yang paling penting, seperti apa dia sebenarnya.

Hilman_Septian · Realistis
Peringkat tidak cukup
5 Chs

Harapan Tak Pernah Sehat

Asdar dan Topik sejak tadi kelihatan tidak bersemangat, mereka hanya sibuk dengan handphone mereka masing-masing begitupun Distian, sesekali Topik dan Asdar menghela napas, menghembuskan rasa bosan mereka melewati udara. Mereka sudah mengisi perut di kantin 20 menit yang lalu, terlalu panas jika ingin melakukan kegiatan di lapangan sekolah, jam menunjukkan pukul 12 : 26, terik matahari terasa membakar di luar sana. Tiba-tiba Asdar menyeletuk heboh.

"Eh lu tahu gak?"

"Gak," sahut Topik, raut wajah Asdar berubah. "Makanya kasi tahu." Ujar Topik cengengesan, Asdar melayangkan pukulan ke lengan topik namun berhasil di tahan.

"Bangke lu." Topik menanyakan kelanjutan cerita Asdar, Distian terlihat tidak begitu peduli dengan mereka berdua.

"Fauzi, katanya suka sama Yuni." Distian melirik.

"Tau dari mana lu."

"Gue nguping pas cewek-ceweknya lagi ngerumpi." Asdar dan Topik menoleh bersamaan ke arah Fauzi.

"Fauzi?" panggil Distian, Fauzi menoleh bersamaan dengan Topik dan Asdar. "Katanya lu su---"

kedua orang itu cepat-cepat menutup mulut Distian, mereka tahu kalimat yang hendak keluar dari mulut kotornya ini. Fauzi terlihat bingung, dia mencoba menerka-nerka kata terakhir yang di ucapkan Distian. Namun, tidak terdengar jelas, Asdar berbalik melempar senyum canggung ke arah Fauzi. Dia pun mengabaikan mereka bertiga kemudian melanjutkan percakapannya dengan teman sebangkunya.

Distian meronta, berusaha melepaskan kedua tangan yang sedang menempel erat di mulutnya. Tangan mereka pun perlahan lepas.

"Lepasin goblok." Ia menepis keras tangan Asdar dan Topik. "Bau bakwan tau gak."

Tak berselang beberapa lama, seseorang memasuki kelas, melangkah dengan mantap dan senyum ramah ke arah Yuni dan teman-temannya. Perhatian langsung tertuju padanya. Asdar yang melihat duluan kedatangan cowok itu memberi kode kepada Topik.

"Fikar tuh" ujar Asdar. Keduanya memperbaiki posisi duduk mereka.

"Udah pacaran gak sih mereka?"

"Gak tau gue." Distian melirik ke arah Fauzi, ia bisa menyimpulkan dari mimik wajah Fauzi, memang benar Fauzi ada rasa dengan cewek pendek itu.

Mungkin sekarang, sedang ada gejolak rasa kesal dan juga cemburu sepihak dalam hatinya. Yah, hanya sepihak, tak ada yang bisa kau lakukan hanya dengan menyimpan rasa diam-diam, ini risikonya kau hanya bisa menatap orang yang kau sukai berbaur mesra dengan orang lain.

Cowok itu sedang mengucapkan sesuatu ke Yuni, tak terdengar jelas oleh mereka bertiga, Distian tidak begitu peduli, tapi Asdar dan Topik begitu penasaran dengan kisah asmara mereka. 5 menit berlalu cowok itu pergi, beberapa temannya menunggu di luar kelas.

Saat cowok itu sudah pergi bersama teman-temannya, Rani, Hikma dan Aini menatap Yuni erat-erat, jengkel. Yuni hanya memasang senyum manis di wajahnya.

"Kok gak di iyain aja sih Yun," ujar Hikma kesal.

"Aku pikir dulu yah," kata Rani sambil menirukan gaya Yuni, Aini hanya mendengus kesal.

"Kan gak di tolak."

"Tapi kan Yun, ujung-ujung pasti lu gak pergi juga," ketus Hikma, lagi-lagi Yuni hanya tersenyum seolah membenarkan perkataan Hikma.

Asdar dan Topik berjalan melewati mereka sembari menggoda Yuni dengan Fikar, Yuni mencoba melayangkan pukulan ke arah mereka, tapi mereka mengelak sembari tertawa.

"Kapan lagi sih Yun di ajak jalan ama Fikar." Kata Rani. Sebelum Yuni hendak membalas perkataan Rani, terdengar suara seseorang memanggil namanya.

"Yuni?" Yuni menoleh ke belakang, Iya, benar. Suara itu dari belakang, Distian. Yuni mengangkat telunjuknya kemudian di arahkan ke dirinya sendiri. Distian mengangguk mengiyakan.

Dia berbalik memandang teman-temannya, Hikma menatap Yuni dalam-dalam kemudian menggelengkan kepalanya dengan pelan, kedua orang lainnya mengangguk. Tapi, mata Yuni berkata lain, dia bangkit kemudian berjalan dengan ragu ke tempat Distian. Dia mengambil salah satu kursi kosong lalu merebahkan dirinya dengan meja sebagai pembatas mereka berdua.

"Kenapa Dis?" tanya Yuni parau, pelan, lembut namun jelas, Distian masih menatapnya.

"Fauzi suka sama lu," ucapnya tanpa basa-basi. Yuni mengerutkan keningnya, bingung.

"Maksudnya."

"Fauzi suka sama lu." Sekarang dengan nada mempertegas. Yuni menoleh perlahan ke arah Fauzi yang sedang sibuk mengobrol dengan teman sebangkunya.

"Memangnya tahu dari mana?"

"Ada," jawabnya singkat, Ia terdiam sejenak. "Lu suka sama tuh cowok alay." Tatapan Yuni tiba-tiba berubah. Yuni tahu siapa yang Distian maksud cowok alay.

"Gak," jawabnya cepat.

"Terus?"

"Yah, gak,"

"Kenapa bonekanya di ambil."

"Yaaa..."

"Karena suka?"

"Gak Dis,"

"Nah terus apa dong?" Ia terdiam. "Kalau gak di jawab, gue bakal teriak kalau lu suka sama Fauzi." Mata Yuni membelalak.

"1."

"Dis.."

"2."

"Please."

"Ti.."

"Tunggu," serunya

"Ga," Distian menarik napas dalam-dalam.

"Karena penghargaan."

Distian menyandarkan punggungnya, menatap Yuni yang sedang memandanginya dengan kesal dan juga iba, iba kepada dirinya sendiri.

"Karena gue berusaha ngehargain usaha dia."

Mendengar kalimat itu, Distian mendengus, menyeringai sinis ke arah Yuni, Yuni menunduk.

Kemudian ia mendongkak. "Lagi pula gue coba ngasih dia sedikit kesempatan." Sekali lagi Distian mendengus.

"Bukan kesempatan namanya kalau cuman sedikit..." ia terdiam sejenak, memandang Yuni erat-erat seolah menegaskan sesuatu pada pandangannya. "Tapi harapan dan itu gak baik buat hati." Keduanya terdiam beberapa detik, sepertinya tak ada lagi yang bisa mereka bicarakan, Yuni menanyakan apa dia sudah boleh pergi atau tidak, Distian hanya mengangguk. Di tengah langkahnya, Yuni teringat sesuatu, ia berbalik.

"Tumben lu ingat nama gue," ucap Yuni. Distian mengangkat tangan kananya dengan telapak tangan menghadap ke Yuni. Coretan tinta tertulis dengan jelas di telapak tangannya 'YUNI', Yuni mendengus kecewa.

Sesampainya Yuni di tempatnya, ketiga temannya menanyakan pertanyaan yang sama, ada apa? Kenapa tiba-tiba dia memanggilmu? Apa yang kalian bicarakan?. Semuanya hanya di jawab dengan senyum manis. Kalimat Distian mengudara dengan hebat di benaknya.

***

Semuanya di siapkan dengan baik, makanan yang tergeletak dengan rapi di meja membuat perut Adik Yuni meronta tak karuan. Sudah sejak tadi ia menahan lapar namun harus menunggu ayahnya selesai membaca buku. Dengan sigap dia menyendokkan nasi ke piringnya, mengambil lauk pauk kesukaannya, meneguk sedikit air sebagai pelumas tenggorokannya. Suara decak piring menggema di ruang makan ini, nyaman, tenang dan juga tenteram. Yuni berdehem, melirik ke arah Lisa yang sedang menyantap makanannya dengan lahap, kemudian melirik ke arah ayahnya.

"Ayah," panggilnya lembut, ayahnya mendongkak menatap Yuni. Tanpa mengucapkan apa pun, Yuni tahu Ayahnya ingin ia melanjutkan kalimatnya.

"Tadi sore Pak Abbas nitip pesan ke Yuni buat di sampaiin ke Ayah," Yuni kembali melirik Lisa. "Katanya Lisa pulang sekolah boncengan tiga bareng temannya."

Lisa mendongkak hampir tersedak, dia menatap ayahnya yang sudah lebih dulu menatapnya tajam. Ada amarah di wajahnya namun tertahan, Lisa mulai panik ia menoleh ke arah Yuni yang sedang tersenyum puas.

Ayahnya hanya menatapnya sejenak tanpa sepatah kata, lalu ia melanjutkan suapannya, menghabiskan makanan di piringnya dengan terburu-buru. Setelah ia selesai, ia mengambil beberapa lembar tisu membersihkan bibirnya, lalu berdiri.

"Habisin cepat," ucap Ayah Yuni dengan tegas sembari menatap Lisa yang sudah kehilangan nafsu makannya.

"Udahlah, biarin dia makan dengan tenang dulu," Ibunya mencoba membela, mata Lisa sudah mulai tergenang air mata, dia mencoba menahannya agar tidak terjatuh.

Ayahnya berjalan meninggalkan meja makan. Sesi makan malam mereka selesai beberapa menit kemudian, Lisa dan Ayahnya berangkat ke rumah Pak Abbas, yang tepat berhadapan dengan rumah Yuni meminta kejelasan.

Mereka duduk di ruang tamu Pak Abbas, Istri Pak Abbas menanyakan mereka ingin minum apa. Namun, Ayah Yuni menolak, tak ingin merepotkan. Lisa duduk di samping Ayahnya, menunduk malu. Setelah membahas tentang masalah Lisa, Ayah Yuni melompat ke pembahasan lain yang lebih hangat, tak lama berselang mereka berdua pamit pulang kembali ke rumah.

Sebelum membuka pagar, Ayah Yuni menasihati Lisa dengan tegas, Lisa berulang kali meminta maaf. Melihat putrinya yang sudah menyesal dengan perbuatannya, Ia mengusap lembut kepalanya mencoba menenangkan, sebagai seorang Ayah dia hanya khawatir terjadi sesuatu yang tidak dia inginkan dengan putri kecilnya yang masih duduk di kelas 3 SMP itu.

***

Seperti biasa, lampu kamar di matikan, hanya ada secercah cahaya menerpa wajahnya. sesaat kemudian ia menutup benda persegi itu. melangkah keluar dari kamarnya, Tante Zelda sedang asyik rebahan menonton acara kesukaannya, sedangkan Ara sibuk bermain di samping Ibunya, Distian sempat mengusap-usap kepalanya yang mungil sebelum berjalan ke ruang tamu.

Seorang pria paru baya duduk membaca laporan, dengan kaca mata menggantung di wajahnya, ia melirik ke arah Distian yang hendak duduk di salah satu kursi.

"Gak ke rumah Bapakmu Dis," tanya pria itu, meletakkan laporannya kemudian melepas kacamatanya. "Gak Om."

"Bapak mu tadi siang ke sini nyariin," ia terdiam sejenak menatap Distian. "Dia nanya, sekolah kamu akhir-akhir ini gimana?"

"Yah kek biasa Om," jawabnya. "Kalau pagi kadang terlambat, kalau bolos pulang ke rumah."

Dia tertawa kecil di ikuti tawa Om Sul. Tante Zelda dan Om Sul tidak pernah mengekang Distian, mereka tidak pernah memarahi Distian hanya karena sering terlambat ke sekolah dan membolos.

Asalkan Distian tahu batasnya di mana, selama ini Distian tidak pernah melewati batas itu, sabu, alkohol bahkan merokok sekalipun.

"Yuk ke teras," ajak Om Sul, mereka berdua beranjak ke teras. Suara bising jalanan kota masih terdengar samar-samar di luar sana, pohon mangga yang berdiri kokoh di sudut halaman bergerak lamban di terpa angin.

Mereka menghabiskan malam saling berbagi cerita, cerita tentang Distian sewaktu masih SMP cerita tentang Om Sul sewaktu masih kecil, SMA hingga ia kuliah. Malam yang tenteram, cukup tenteram untuk Distian.

***

Kali ini, bukan kali ini, seperti biasa, Distian melewatkan jam pertama. Bersembunyi di pos satpam hingga jam istirahat di mulai. Dia berjalan melewati kerumunan orang yang baru saja keluar dari kelasnya masing-masing. Dari kejauhan dia melihat guru yang mengajar di kelasnya berjalan keluar. Distian memutar balik, mengambil jalan lain. Sesampainya di ambang pintu kelas ia berpas-pasan dengan Armin yang sedang terburu-buru, lengkap dengan jaket kulit hitamnya.

"Mau ke mana lu?"

"Balapan," jawabnya kemudian berlari kencang meninggalkan Distian.

Distian menaruh ranselnya lalu duduk, tak ada Asdar dan Topik, mungkin mereka sudah duduk tenang di kantin menyantap bakwan Mba Rahma. Sebelumnya dia tidak terlalu memerhatikan, matanya tertuju ke tempat Yuni.

Distian beranjak, melangkahkan kakinya ke tempat Yuni, Yuni tidak menyadari kehadirannya sampai Distian memutar kursi di depan Yuni kemudian duduk berhadapan, lagi-lagi meja sebagai pembatas mereka.

Yuni menatap bingung, bertanya-tanya, perasaannya tidak baik tentang ini.