webnovel

Bab 5 - Mengapa Menjualku

"Dhani! Dia putrimu! Jangan kau menandatangani perjanjian itu! Sama saja kau menjualnya!"

Dengan grasak-grusuk, Cahaya menahan tangan Dhani yang sudah bersiap untuk menandatangani kontrak. Hati ibu mana yang tak sakit melihat putri satu-satunya harus menikah dengan cara tak terhormat seperti ini. Ini bukanlah melamar melainkan menjual anaknya kepada pria asing yang belum dikenal.

"Sialan! Minggir kau!" pekik Dhani sambil mendorong istrinya jatuh tersungkur.

Perjanjian telah ditandatangani. Pria itu menampilkan senyum miring lalu menyuruh asistennya untuk mengambil kertas-kertas berserakan di bawah. Menurutnya begitu bodoh pria satu ini, demi uang rela menjual anaknya. Bahkan tak membaca persyaratan dengan lengkap.

Tangis pilu menyayat hati keluar secara deras. Air mata yang sudah tak tertahankan mengalir layaknya air terjun. Merasa dirinya bukanlah ibu yang baik bagi sang putri. Cahaya menjambak rambut serta memukul-mukul kepala, begitu terlihat kasihan. 

Sampai bayangan seseorang terlihat dari arah pintu masuk. Seorang perempuan dengan mata sembab serta wajah kaget saat melihat hal yang terjadi secara tiba-tiba.

"Widya?" 

Ungkapan pertama kali yang ayahnya ucapkan dengan senyum lebar membuat perempuan tersebut semakin heran. Tak biasanya senyuman itu terlihat pada dia. Bahkan senyuman ini sangat lebar, selebar harapannya agar dapat diberi kasih sayang.

"Kemari, Nak. Mendekat pada ayah."

Widya berjalan namun terhenti pada Cahaya yang sedang berbaring menangis sesenggukan. Saat ingin memeluk, tubuhnya sudah ditahan lebih dulu oleh sang ayah dan membawanya menjauh dari tempat di mana sang ibu sedang berderai air mata.

Pandangannya juga beralih pada para pria asing berpakaian serba hitam. Merasa pertanyaan demi pertanyaan begitu banyak di kepala, Widya menatap ayahnya yang sudah tersenyum begitu lebar. Kemudian meminta penjelasan.

"Beri salam penghormatan pada calon suamimu!" 

Seperti ada petir saling menyambar mengelilingi kepala, Widya berdiri kaku melepas pegangan sang ayah. Menatap sekeliling sambil mengucapkan kata "tidak." Namun saat melihat tiap tingkah orang di sekitar membuatnya semakin terperosok, apalagi sang ibu terlentang menangis dengan histeris.

"Jangan bercanda, Ayah. Widya gak kenal orang ini, kenapa tiba-tiba ingin menikah?" tanya putri semata wayangnya dengan tatapan sulit dipahami.

Melihat respon sang putri yang tak antusias menerima pernikahan, membuat Dhani mencengkram kuat tangan Widya. Lalu melemparkan begitu saja ke bawah, hingga berlutut pada kaki pria yang akan menjadi suaminya kelak. Menangis tiada henti, kepala diarahkan menatap wajah pria tersebut dengan lekat. Tak mengenal dan semakin histeris saat mengingat pria di hadapannya ini terlihat sangat dewasa. Sedangkan dia? Masih di umur belasan, bahkan masa muda saja belum dia nikmati.

"Perlakukan calon istriku sebaik mungkin. Jangan sampai menangis histeris seperti ini."

Pria tadi berjongkok lalu memandang Widya tengah menangis. Tangannya diarahkan pada rambut tergerai menutupi wajah perempuan tersebut. Merapikan rambut wanita itu, mengesampingkan ke telinga lalu mengangkat dagu. Diarahkan ke kanan dan kiri kemudian pria tersebut merangkul dari samping. Bisa dirasa ada keterkejutan secara langsung dari tubuh Widya. Pria tadi hanya menampilkan senyum tipis.

Dengan takut-takut dirangkul, Widya berusaha untuk berjarak dengan pria yang tak diketahui namanya. Namun pria tersebut malah semakin merapatkan tubuhnya, menatap dengan senyum lebar.

"Wanita ini kelak akan menjadi Nyonya Gideon. Jangan pernah membuat air matanya terbuang sia-sia. Anda paham?" Diakhiri dengan penekanan sambil menatap ke arah Dhani.

Setelahnya, mendekatlah beberapa asisten tadi pada pria tersebut. Berbisik-bisik dengan wajah serius. Tak lama kemudian pria tadi merogoh sesuatu di balik kantong jas. Mengambil sebuah kartu berwarna hitam serta kartu nama dan diberikan pada Widya.

"A-apa ini?" tanya Widya takut-takut. 

Sedangkan pria itu mendekatkan wajahnya pada telinga Widya. Membisikkan kalimat yang dengan spontan membuat Widya melepaskan kartu-kartu itu dari tangannya.

"Sony!" ujar pria tersebut sambil melirik sedikit ke arah kartu-kartu yang telah jatuh berserakan di lantai.

"Siap, Tuan." Bertindak cepat mengambil kartu-kartu tersebut lalu memberinya pada tuan muda.

"Ambil ini! Karena kau adalah calon istriku. Menolak? Keluargamu harus menanggung akibatnya." 

Selepasnya, pria tadi mencium pucuk kepala Widya sebentar. Lalu meninggalkan ruangan dengan bermacam ekspresi orang-orang. Hanya bisa berdiri dengan lemas serta tangan bergetar hebat akibat ketakutan melanda. Matanya memanas saat mengetahui takdirnya yang begitu kacau. Harus menikah? Bahkan memikirkannya saja Widya tak pernah terbersit.

"Aku kaya? Hahaha aku kaya! Aku kaya!" Racauan sang ayah membuat telapak tangan Widya mengepal. 

Ingin rasanya marah dan memberontak, namun lagi-lagi rasa ketakutan yang begitu besar membuat dia mengurungkan niat. Matanya menatap sang ibu masih tergeletak di lantai dengan tangisan membuat hatinya hancur. Segera dia berjalan mendekat kemudian merangkul tubuh yang terus bergetar akibat tangisan tiada henti. Tubuh kurus sang ibu menjadi garda terdepannya bila ada masalah. Widya sangat menyayanginya, walau sang ibu sering memperlakukan kekerasan pada Widya tapi tetap menyayangi.

"Ibu salah, Nak! Ibu tak melindungi kamu!" Tak henti-hentinya Cahaya berucap dengan mata memejam akibat sembab sehingga untuk membuka saja  terasa berat.

"Bukan salah, Ibu," ujar Widya dengan mengencangkan pelukan.

"Dasar dua wanita sialan!" teriak Dhani tiba-tiba sambil memecahkan gelas di atas meja. "Hahaha! Akan tetapi, kali ini dirimu berguna juga!" sambung pria itu sambil menunjuk ke arah Widya.

Gaya mabuk Dhani membuat rasa marah Widya semakin memuncak. Mencoba mengambil napas terdalam lalu menatap tajam ke arah pria yang selama ini dia sebut ayah. Saat benar-benar ingin menghampiri, tangannya ditahan oleh Cahaya. Sontak mata saling beradu sebentar dan ibunya menggeleng menandakan untuk tidak melawan. Namun, Widya hanya tersenyum tipis lalu menarik tangan sang ibu yang menahannya lalu meletakkan di daerah dada.

"Percayalah, Bu. Widya akan melakukan sesuatu yang kurasa benar." 

Setelah mengucapkannya Widya langsung berjalan mendekati sang ayah, tak menghiraukan tatapan sendu ibunya yang melarang. Meletakkan tangan di pundak Dhani seperti ada gejolak ingin meluapkan emosi, Widya mencengkram sedikit erat.

"Widya benar-benar kecewa sama ayah!" pekiknya tepat di wajah Dhani. Membuat pria sedang mabuk tadi melepaskan cengkraman sang putri.

"Kecewa apa kamu? Masih kecil gak perlu sok-sokan! Ternyata hidupmu gak jauh beda dengan wanita murahan itu!" Diakhiri dengan menunjuk ke arah Cahaya.

Sebab tak terima, tangan Widya lepas kendali. Dia melayangkan tamparan tepat di wajah Dhani, membuat bekasan berwarna merah sangat terlihat jelas.

"Kamu tampar ayah? Hei, Sialan!" 

Emosi dari dalam diri Dhani sudah berada di tingkat teratas. Mungkin efek mabuk membuatnya menjadi semakin tak terkendali. Dengan menjambak rambut Widya membuat wanita itu berteriak kencang. Tarikan yang sakitnya bukan main, tak ada perasaan bahkan terasa rambut hampir lepas.

"Mas, tolong jangan sakiti Widya. Ingat dia anakmu, Mas!" Cahaya berlutut sambil memohon pengampunan.

Namun, dia adalah Dhani. Tak ada belas kasihan walaupun orang yang berada tepat di depannya adalah putri sendiri. Malah menendang Cahaya menjauh dari kakinya. Dhani menarik tangan Widya agar bangkit berdiri. Masih tak melepaskan tarikan rambut, membuat wanita itu meraung kesakitan tanpa henti.

Dhani mengambil paksa kartu yang tadi diberikan oleh pria dari calon Widya. Dengan senyum miring lanjut menarik paksa wajah putrinya untuk menatap dia.

"Kuampuni hari ini, tetapi kartu ini bukan milikmu lagi!" bentak Dhani sambil menggoyang-goyangkan kartu tadi di hadapan wajah Widya. "Eits, tapi jangan pernah sesekali dirimu mengadu!" lanjutnya kembali kemudian melemparkannya tubuh anaknya ke lantai.

Rasanya sangat perih, bahkan bibir terasa sangat kelu untuk bersuara. Hanya bisa menangis tanpa suara dan mata memandang kosong ke arah sekitar, termasuk pada sang ibu.