webnovel

Bab 24 - Ciuman Selamat Pagi

"Pagi," sapa Kenzi pada sang istri yang baru saja keluar dari kamar mandi. Hal itu membuat kening Widya mengerut tak paham sebab seperti ada yang aneh. Berbeda dengan Kenzi, dia malah tersenyum dan berjalan mendekat pada istrinya seraya mengambil alih handuk yang terlilit di atas kepala Widya. "Kenapa tidak membalas sapaanku?"

Sontak saja Widya gugup dan berkata, "U–ummm, selamat pagi." Kemudian buru-buru keluar kamar, berjalan memasuki dapur dengan jantung yang berdegup tak karuan.

Berbeda dengan Kenzi, pria itu hanya tersenyum miring sambil melihat wajahnya yang terpantul pada cermin di depan kasur. Tak menunggu lama, ia pun berjalan menuju kamar mandi.

"Lho, Ibu siapa?" tanya Widya yang kaget saat melihat seorang wanita berumur tua berada di dapur, seperti sedang mencuci piring.

"Neng, istrinya Tuan Kenzi?" Sang ibu malah bertanya balik dan Widya pun mengangguk. "Kenalin saya Hara, pekerja di rumah Tuan Kenzi yang dulu. Kebetulan saya dipanggil sejak kemarin mungkin kita belum bertemu," lanjutnya lagi dibarengi senyum.

Widya hanya mengangguk-angguk saja karena tak tahu harus berkata apa lagi. Saat sang ibu tadi ingin memotong buah, Widya langsung mengambil alih sambil berkata, "Ehhh, Bu! Biar saya saja, ya?"

"Gak masalah, Neng. Biar Ibu saja."

"Ummm, kalau begitu saya bantu cuci buah aja, ya, Bu?" Lebih adil, Widya memberi solusi antar keduanya. Si ibu yang tadinya sedang memotong, pada akhirnya menyetujui.

Di sela-sela fokus akan menghidangkan sarapan, sosok laki-laki dengan kemeja berwarna abu-abu lengan panjang dipadukan celana dark jeans. Widya yang ingin menghantarkan sarapan ke atas meja, jalannya harus terhenti akan pandangan Kenzi yang begitu memikat. Seakan terhipnotis, beberapa waktu terjadi aksi saling menatap satu sama lain, sebelum pria tersebut mendekat pada wajah yang sedang melamun. Ia pun berbisik, "Apakah ketampananku ternyata membuatmu tidak fokus pada pagi ini, Sayang?"

Seketika piring yang berada di tangan Widya hampir saja terjatuh. Untungnya ada Kenzi yang sigap menahan, hingga tak membuat malu akibat berseraknya makanan di lantai. Masih memegang tangan, Kenzi perlahan maju dengan tatapan yang begitu serius, lagi-lagi Widya jatuh pada pandangan itu. Mulai membungkuk, Kenzi mendekatkan mulut ke arah telinga Widya lalu berkata, "Siang nanti suruh supir untuk mengantarmu ke kantor. Jangan lupa masak dengan hidangan yang enak."

Setelah mengatakan, mata Kenzi tak kuasa menahan cobaan yang berada di depan matanya. Bibir tipis, merah muda membuat Kenzi ingin sekali mengecup sebentar dan pada akhirnya terjadilah. Mata Widya sontak membulat saat merasakan bibirnya diserang oleh lawan. Tak berhenti sampai di situ, tangan Kenzi menaruh pada tengkuk sang istri agar memperdalam ciuman.

Sekitar tiga menit, ciuman kecil itu berlangsung dan Kenzi pun menyudahi karena merasa sang istri telah kehabisan napas. Refleks menyentuh ujung bibir sang istri, Kenzi pun berpamitan dengan mencium pucuk kepala Widya. Sedikit diperlama dan setelahnya ia pun melenggang pergi, meninggalkan keterkejutan buat Widya yang bisa dikatakan belum pernah melihat suaminya aneh seperti tadi.

"Tuan Kenzi itu orangnya memang lembut, hanya saja ditutupi dengan persepsi orang-orang yang mengatakan bahwa dia kejam." Suara Bu Hara muncul tiba-tiba di belakang membuat Widya menoleh. "Ibu sudah bekerja selama kurang-lebih dua puluh satu tahun dan ibu tau bagaimana perkembangannya. Sayang saja, kejadian lama itu yang membuat Tuan Kenzi berubah," ungkap Bu Hara yang mendapat pertanyaan di benak Widya.

Sontak wanita itu bertanya, "Kejadian lama?"

Sang ibu pun menatap teduh ke arahnya dan menepuk sebentar pada pundak Widya. "Kamu belum mengetahuinya?" tanya si ibu.

"Belum, Bu," jawab Widya dan mendapati helaan napas.

"Kalau Nak Kenzi saja belum memberitahu, Ibu pun tak berani banyak bicara. Namun, cobalah lebih mendekat padanya walau ibu tahu kalian hanya menikah kontrak."

Terkejut! Widya terkejut mendengar pernyataan sang ibu. Bagaimana mungkin ada orang lain yang tahu? Menyadari keterkejutan Widya, sang ibu pun tersenyum tipis lalu memandang lurus ke depan. "Tuan Kenzi selalu bercerita pada Ibu sebelum mengambil keputusan."

Mulut Widya hanya membentuk bulat layaknya menjawab. Teringat akan pesan yang suaminya katakan sebelum berangkat kerja, Widya pun menepuk jidat dan buru-buru melihat kulkas. Bahan-bahan masakan ternyata masih cukup dan ia akan segera memasak.

"Nona Widya ingin melakukan apa?"

"Aku ingin memasak makanan dan membawanya pada Kenzi, Bu."

Alis sang ibu mengerut saat melihat bahan makanan yang tak biasa ada di apartemen milik Kenzi. Sudah 21 tahun bekerja dan selama ini Kenzi hanyalah memakan makanan seperti salad, buah, beef, dan sejenisnya. Namun, kali ini mengapa banyak sekali bahan rempahan? Terlihat seperti ingin membuat masakan rumahan.

"Nona ingin memasak apa untuk tuan?"

Melakukan pergerakan seperti sedang berpikir, Widya pun menjawab, "Mungkin aku bisa masak pempek sebagai menu penutup dan makanan utamanya akan kuhidangkan nasi gudeg."

"Nona yakin?" Bu Hara terlihat ragu, sebab belum pernah melihat tuannya memakan makanan khas Indonesia. Takutnya malah membuat kemarahan, tahu sendiri emosi Kenzi begitu tak stabil.

"Yakin, Bu. Apakah ada yang salah dengan hidangan ini?"

"B–bukan begitu, tapi Tuan Kenzi tak pernah makan hidangan seperti ini. Takut malah marah-marah dan Nona kasihan."

Widya pun tersenyum, sambil mengambil bahan ia berkata, "Tenang saja, Bu. Sebelum aku berani membuat hidangan seperti ini, sudah lebih dulu memasak makanan khas daerah pada Kenzi dan dia menerima."

"Nona serius?" tanya Bu Hara tak percaya dengan pernyataan nona mudanya. Sedangkan Widya hanya mengangguk kecil lalu mulai memotong-motong bahan yang akan dimasak.

Bau masakan tercium di indera penciuman kedua insan yang sedang sibuk pada panci serta alat masak lainnya. Mereka telah menyelesaikan masakan dalam waktu kurang lebih satu jam dan sudah waktunya untuk menyajikan ke dalam tempat makanan.

"Bu, coba rasa ini. Apa sudah enak?" Widya menyodorkan sesendok masakan yang masih tersedia di panci. Dengan senang hati, sang ibu mengambil suapan tersebut dan mencoba menikmati. "Bagaimana, Bu?"lanjutnya lagi bertanya, tidak terlalu percaya diri untuk bisa dikatakan enak.

"Ummm, rasanya sungguh nikmat dan bumbunya sangat terasa di lidah."

Pujian yang diberi membuat senyum lebar terukir di bibirnya. Kini tingkat kepercayaan akan makanan yang dia buat bertambah. Tangannya lihai memasukkan semua kotak makan ke dalam kantongan.

"Bu, aku izin membersihkan diri," pamitnya dan diangguki oleh Bu Hara. Ia pun berjalan meninggalkan dapur.

Membutuhkan waktu sekitar dua puluh menitan untuk Widya bersiap dan dia saat ini mengenakan pakaian dress berwarna putih serta tas selempang. Sejenak melihat jam di dinding, ternyata sudah menunjukkan pukul setengah dua, buru-buru ia menyalami tangan Bu Hara dan berpamitan. "Aku pamit, Bu."

Sembari menunggu taksi, Widya juga bolak-balik melihat jam di tangan. Merasa sudah waktunya makan siang dan takut telat yang berujung dimarahi. Jujur saja, trauma melihat teriakan orang marah, akibat kelakuan orang tuanya dulu.

"Taksi!" teriaknya memanggil.