webnovel

Bab 25 - Melawan Pelakor

"Kenzi, nanti mau makan siang bersama?" Suara wanita terdengar saat baru membuka pintu, Kenzi sendiri tersentak sedikit. Namun, berusaha untuk terlihat tak peduli. Akibat reaksi datar pria tersebut, Callista, perempuan yang bertanya langsung menghembuskan napas kasar dan mulai mendekat pada tangan Kenzi yang sibuk mengetik.

"Lepaskan!" titah Kenzi tanpa mengalihkan perhatian.

Memang dasarnya kepala batu, Callista seolah tak mendengar dan malahan makin merengek di gelendotan yang ia lakukan. "Oh, ayolah, Kenziii …."

Tak ada respon juga, membuat Callista kesal sendiri, lantas saja ia seakan marah, namun tetap saja tangannya melingkar di leher. Kenzi hanya cuek dan menganggap wanita itu, fokusnya malah komputer yang berada di depan mata.

Suara ketukan pintu terdengar dan saat itu juga masuklah seorang karyawan dan di belakangnya ada wanita familiar bentuknya. Saat melihat dengan jelas, Kenzi buru-buru menepis lingkaran tangan Callista yang berada di tubuhnya dan saat itu juga dia bangkit.

"Maaf mengganggu, Tuan. Tadi, Nona muda datang dan kami langsung menunjukkan arah ke ruangan sesuai seperti yang Tuan arahkan. A–akan tetapi, maaf saya t–tidak—" Omongannya terputus saat tangan Tuannya, Kenzi terulur seperti ingin menghentikan pembicaraan.

"Silakan keluar!" perintah Kenzi seraya mendekat ke arah Widya.

Widya yang dihampiri, sontak mengangkat kotak makan yang dia bawa dengan tangan gemetar. Terlebih lagi dia telah melihat sesuatu yang mengejutkan dan takutnya hal itu mengganggu dan dijadikan sebuah alasan untuk kemarahan Kenzi.

"A–aku hanya mengantar m–makan siang," ujarnya gugup.

Saat langkah Kenzi makin dekat seketika mata yang tadinya terbelak, kini menutup tak lupa napas yang ditahan. Beberapa menit dia menunggu kalimat kasar dari suaminya, hanya saja dia tak merasakan apa-apa. Adanya, hanyalah kotak yang berada di tangan, seperti terambil. Sontak mata Widya pun terbuka.

"Mengapa begitu gugup? Apakah malu untuk saling menunjukkan cinta pada orang-orang, Sayanggg?" Penuh dengan penekanan di kata terakhir dan itu membuat Widya menelan ludah terus-menerus, agar menetralisir gugup.

"Kenzi, kamu suruh dia bawa makan siang?" Callista kaget, karena tidak biasa melihat seorang Kenzi bawa bekal makan. Dengan menarik tangan Widya, pria itu membawa menuju meja dekat sofa dan mulai membuka kotak makan. Satu per satu terbuka, semerbak harum makanan mulai tercium ke seluruh ruangan.

Callista yang begitu penasaran dengan kotak makan itu, ia pun sedikit mendekat dan memastikan menu yang dibawa. Begitu melihat, tawa seperti mengejek langsung menggema. Perhatian pun teralih pada suara itu, tak terkecuali Kenzi sendiri.

"Kenapa tertawa? Dirimu tahu, bahwa tawamu begitu jelek!" ketus Kenzi yang tak menyaring ucapannya.

Lantas Callista berkacak pinggang lalu berkata, "Kenzi, kasihan sekali lah dirimu! Manalah pernah makan makanan murah, eh, setelah menikah malah makan yang begituan."

"Murah katamu?" kata Kenzi dengan nada seperti sedang menahan emosi. Pria tersebut pun menaruh kotak makanan ke atas meja lalu bangkit berdiri. "Lebih murah mana antara makanan ini atau dirimu?" lanjutnya lagi dengan berbisik tepat di telinga.

"Kenzi, kamu kok ngomong begitu?"

"Faktanya begitu, bukan? Akan tetapi, lebih tinggi makanan ini, walaupun murah tapi aku menyukainya. Sedangkan dirimu? Sudah murah, aku sendiripun tak suka!" Berakhir sendiri mulut Callista yang tadinya ingin bersuara. Jawaban telak dari Kenzi membuat wanita itu diam tak berkutik seperti patung.

Pria itu telah kembali duduk dan menyampirkan tangannya ke pundak Widya yang mendadak tegang. Ekspresi pria tersebut menahan tawa, namun sengaja membatukkan diri agar tak diketahui siapapun.

"Seperti biasa, rasanya enak!" ujar Kenzi memuji saat menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. "Buka mulutmu, Sayang." Kembali Kenzi memberi perintah pada sang istri. Tak ingin membantah, Widya pun menuruti ucapan sang suami.

Berbeda dengan Callista, dia melihat dengan mata kepala sendiri merasakan api panas yang seakan membakar hatinya. Dia merasa tak sanggup dan menghentakkan kaki sebelum benar-benar keluar dari ruangan.

Kepergian wanita pengganggu mendapati helaan napas Kenzi. Ia merasa otaknya sebentar lagi akan meledak bila terus meladeni wanita pengacau seperti Callista. Ia pun sedikit berterima kasih karena mempertemukan dengan wanita kalem yang telah menikah dengannya. Pandangannya pun beralih ke arah Widya.

"Bila wanita itu mengganggumu, jangan segan-segan untuk melawan. Ada paham?" tanya Kenzi dan diangguki cepat oleh istrinya.

Karena penasaran dengan rasa makanan yang ia masak, Widya pun memberanikan diri untuk bertanya. "K–kenzi, bolehkah aku bertanya?"

"Silakan."

"B–bagaimana rasa makananku? Apakah tidak enak?"

Mata Kenzi langsung mengarah pada makanan yang dibawa oleh sang istri. Tampak terdiam sebentar sebelum meletakkan tempat makannya ke atas meja. Reaksi Widya sekarang ialah menunduk, merasa gagal menjadi seorang istri.

"Enak," ujar pria itu singkat dan menyuapkan kembali ke dalam mulut.

Kepala yang menunduk pun langsung terangkat. Ada kebahagiaan sendiri saat mendengar pujian singkat tersebut, terlebih lagi melihat makanan yang ia bawa tersisa sedikit, itu pun hanya tinggal pempek.

"Mau coba buka rumah makan?" Pertanyaan kali ini agak sedikit aneh. Alis mata Widya pun menyatu tanda bingung.

"M–maksudnya?" tanya Widya balik dengan wajah seperti tak tahu apapun.

Terlalu dongkol, tangan Kenzi refleks menoyor kening sang istri. Sebelum mengeluarkan suara, lebih dulu ia mendengus dan tak lama baru lah melanjutkan ucapan. "Dasar lemot! Masakan yang dirimu masak rasanya oke, apa tak berniat untuk dijual?"

"O–ohhh, a–aku tak terlalu pede dalam menjualkan makanan ini, sebab di luar sana banyak yang lebih enak."

"Mengapa tak pede? Jangan pernah langsung berpikir seperti itu sebelum mencoba!"

"Akan tetapi—"

"Sttt, dirimu berbakat hanya saja tak diasah. Tenang, sekarang ada aku, suamimu yang dapat membantu."

Pengakuan yang Kenzi katakan mampu membuat hati kecil Widya ikut merasakan kehangatan. Dari cara menatap pria itu juga, astaga sangat berbeda dari biasanya. Seolah tak berani menatap, wanita itu pun menundukkan kepalanya. Sepersekian detik kemudian, jari-jemari Kenzi perlahan mengangkat dagu istrinya dan menatap mata hazel coklat dengan dalam.

"Mau, ya?" tanya Kenzi lembut. Seperti tersihir, Widya pun mengangguk tanpa ragu dan ikut menaikkan sedikit lengkungan garis di area bibir.

"M–makanannya sudah selesai? Bila sudah, aku akan pulang." Widya bertanya seraya menatap gantian ke arah suaminya dan juga makanan yang masih tersisa dua pempek lagi. Terlebih, pipinya telah memanas. Benar-benar sudah tak sanggup dengan keadaan sekarang.

"Buru-buru sekali? Tak ingin menemani suamimu bekerja lebih lama?"

Pertanyaan yang terdengar manja, mampu membuat Widya tak dapat menahan senyuman di wajah. Ia pun menggelengkan kepala bermaksud untuk tidak memperlihatkan ekspresi saat ini. Namun sial, sudah lebih dulu tertangkap oleh suaminya dan berakhir lah digoda.

"Tidak? Akan tetapi, wajah tak pernah berbohong. Lihat dirimu sekarang tersenyum. Aih, aku yakin kamu ingin bersama pria ganteng ini sekarang." Dengan pedenya Kenzi berujar, tak lupa lada gaya yang seperti sedang memperbaiki rambut beserta jas-nya.

"Pede sekali," sela Widya pelan saat merapikan kotak makan.

Beberapa saat setelah mengatakan, ia pun tersentak saat pinggangnya ada yang menarik. Secara tiba-tiba dia pun didudukkan tepat di sebelah suaminya yang tak memiliki jarak duduk, akibat tubuh Kenzi yang semakin maju ke depan.

"Memangnya suamimu ini benar-benar tidak tampan?"

Oh, ayolah! Ternyata Kenzi masih memperdebatkan masalah ketampanan. Padahal, suaminya termasuk pria tampan yang membuat siapapun terpana pada pandangan pertama, begitu juga Widya. Ia baru teringat bahwa pernah bertemu dengan Kenzi sebelum acara lamaran. Malam di mana saat ia mencari sang ayah.

Tanpa menjawab dengan suara, Widya hanya menggeleng layaknya anak kecil yang terlihat sangat menggemaskan. Lihatlah sekarang! Kenzi benar-benar dibuat terpana akan keimutan gadis ini. Tak tahan, segera dirinya menyatukan bibir yang sejak tadi meronta untuk disatukan pada pasangannya.

Mata terbelak serta penyatuan bibir itu kembali terjadi, Widya pun berusaha untuk melepaskan. Sayangnya, tangan Kenzi lebih cepat menekan tengkuk membuat penyatuan itu sulit untuk dilepas.

Usai sudah lima menit waktu berjalan, Kenzi pun melepaskan pagutan pada bibir ranum milik istrinya. Saat sudah selesai, tersisa lah usapan lembut Kenzi pada surai rambut panjang istrinya. Tanpa aba-aba, dirinya memeluk erat tubuh mungil itu, seperti sedang menyalurkan energi.

Widya yang diperlakukan mendadak, hanya bisa pasrah tanpa ada perlawanan. Malah, dia membalas pelukkan itu tak kalah erat sambil menepuk-nepuk kecil.

"K–kenzi, kamu baik-baik saja?" tanya Widya ragu, sebab tak biasa dipeluk erat. Apalagi, belajar dari pengalaman bahwa seseorang yang sedang ada masalah pasti akan membutuhkan sebuah pelukan.

Tak ada respon, membuat Widya bingung sendiri. Ia pun memutuskan untuk kembali bertanya. "Kalau kamu ada masalah—"

"Tidak apa-apa. Aku hanya merasa nyaman."