webnovel

Rasa penasaranku

Mungkin sudah saatnya aku membantu Sinta kembali, karena kulihat dia sudah berubah tak seperti dulu lagi. Tak terlihat centil dan genit, saat dia bertemu dengan laki-laki manapun. 

Tapi sisi lain hatiku agak meragukannya, takut kalau dia juga sama halnya dengan apa yang dilakukan oleh Alvin. Sama-sama berkhianat. Sebelum aku bertindak gegabah menuding Alvin yang mengkhianatinya, terlebih dahulu aku akan menyelidikinya.

Ku tutup kembali jendela yang telah kubuka tadi dan kembali berbaring di tempat tidur, ku ambil handphone yang berada di atas nakas kamarku dan melihat notifikasi pesan yang masuk. Ternyata dari Cindy, karyawan butikku.

"Hallo, Bu. Apa kabar? Besok saya akan pulang dan lusa bisa kerja lagi di butik," isi pesan dari Cindy.

"Ok Cin," segera ku balas pesan singkat untuk Cindy.

Ternyata Cindy memberitahuku kalau dia akan pulang besok dan akan mulai bekerja lagi lusa. Baguslah mungkin pekerjaanku jadi lebih ringan sekarang, setelah hampir satu minggu aku tangkas semua pekerjaan sendiri, yang harus pulang pergi ke kantor dan butik.

Mungkin mulai besok, aku akan masih punya waktu luang untuk mencari keberadaan Alvin, meski lewat teman dan orang-orang yang mengenalnya, seperti pak Bagas. Kemungkinan esok, saat jam kerja kantor, aku akan temui dia di luar kantor, untuk membicarakannya.

Tak terasa mulutku terus saja menguap dan mulai terasa kantuk yang teramat. Segera kubaringkan bobot ini di atas kasur dan kemudian kutarik selimut untuk menutupi rasa dingin di keheningan malam ini. 

Terdengar suara gemericik hujan mulai menyelimuti seluruh luar rumah, menambah udara malam ini semakin dingin. Suara petir mulai bergeming di telingaku, yang menambah rasa takut seketika menghampiriku.

Tak terasa cahaya mulai menyinari seluruh dalam ruangan kamarku, ternyata pagi sudah menyambutku. Kerlap cahanya terasa silau di mataku. Ku gisik mataku pelan dan perlahan membukanya, terlihat jam yang berada di dinding kamar menunjukan pukul 07.30 wib. Kuterus menggeliatkan badan dengan nikmatnya, mungkin tidurku semalam sangatlah nyenyak, karena diiringi gemericik hujan yang menemani sepanjang tidurku.

Deg! 

Suara detak jantung ku seketika berdegup kencang. 

Tak ingat kalau hari ini ada meeting penting bersama klien di kantor. Segera ku ambil handphone di atas nakas, banyak sekali pesan notifikasi masuk ke gawaiku dari Rany, sang asistenku. 

Ya tuhan, ternyata aku kesiangan. Pasti untuk pergi kekantor akan sangatlah terlambat, belum lagi janjinya masih pagi,  karena kien tersebut banyak sekali urusannya. Dengan segera ku pergi kekamar mandi dan segera mengambil handuk yang berada di samping gantungan kamar mandi.

Ting! 

Suara pesan masuk. Baru saja ku memegang pintu kamar mandi dan belum sempat masuk kedalamnya. Dengan segera ku kembali ke belakang untuk melihat pesan yang tiba-tiba masuk.

(Maaf, Bu ganggu. Tapi saya ingin memberitahu ibu, kalau jadwal meeting hari di undur, menjadi tengah hari, karena beliau ada urusan penting dengan keluarganya. Jadi ibu nggak usah buru-buru ke kantor, lagian saya tahu kalau ibu bangun terlambatkan? Karena kecapean,) isi pesan Rany, seraya ditambah emoticon tertawa.

Rasa gelisah yang mendera, seketika memudar dan kembali lebih tenang. Kuusap dada perlahan agar jauh lebih rileks dan menjatuhkan diri ke atas kasur, saking senangnya. 

"Hhh, selamat-selamat. nggak jadi di marahin klien, deh." ucapku pelan sembari tertawa kecil.

Tok! Tok! Tok!

Terdengar suara pintu diketuk.

"Siapa?" Tanyaku singkat.

"Si mbok, non." Terdengar suara mbok inah, dari luar.

"Ada apa, mbok?"  Tembal ku, seraya membuka pintu tersebut.

Krieeet!

Ku membuka pintu.

"Ini, non. Tadi pagi-pagi sekali ada seorang wanita masih muda, kira-kira seumuran dengan, non. dia menanyakan non, katanya ada hal penting yang harus bahas dengan non," mbok inah menyampaikan tentang seseorang tadi pagi, yang mencariku.

"Siapa, mbok?" Tanyaku penasaran.

"Itu dia non, simbok belum sempat menanyakan namanya. Disaat si mbok memberitahunya, bahwa non masih tertidur pulas. Dia langsung permisi pamit begitu saja, katanya kasihan sama si non," siapakah wanita tersebut? Apakah dia mengenalku? Dan apa yang ingin dia sampaikan kepadaku? Hal ini membuatku menjadi khawatir dan penasaran.

(Ran, hari ini aku pergi kekantor agak siangan, yah,) Ku kirim pesan pada Rany.

(Iya nggak papa kok, Bu. Lagian meetingnya nanti siang) balas Rany cepat.

Dengan santai ku kembali ke dalam kamar mandi dan bergegas untuk mandi. Sembari mandi ku terus saja kepikiran, siapa wanita yang telah menanyakannya tadi pagi. 

Mandi sudah, berdandan pun juga sudah, sekarang waktunya untuk sarapan pagi. Aku keluar dari dalam kamar dengan menuruni anak tangga yang berada tidak jauh dari kamarku.  

Dreett! Dreett!

Seketika langkahku terhenti dan segera membuka tas kecil yang dibawa, untuk mengambil handphone yang tiba-tiba berdering.

"Hallo, ini dengan siapa, yah?" 

"Hallo, kak. Ini aku Sinta,"  

Nomor tak dikenal masuk ke gawaiku, tapi suara tersebut sungguh tak asing bagiku.

"Oh, kamu Sin," ternyata Sinta yang menghubungiku, tapi dari mana dia mendapatkan nomorku. Bahkan aku belum sempat meminta nomornya.

"Kamu dapat nomor kakak, dari mana?" Ucapku sembari berjalan menuju ke arah meja makan.

Sambil menyuap nasi, kami berbincang selama beberapa menit, untuk mengisi ke kangenan di antara kami berdua. Sampai makan selesai pun kami masih mengobrol, bercanda riang.

"Sin, sekarang kamu lagi dimana?" Tanyaku penasaran, karena terdengar suara bisik banyak orang.

"Biasa, kak. Aku lagi di kafe bekerja," hingga terdengar ada suara yang memanggil namanya, mungkin itu bos atau pelanggan kafe tersebut.

Tak lama perbincangan antara kami pun harus segera berakhir, karena takut Sinta akan dimarahi.

Ku berjalan keluar, terlihat pak tarno sedang mengelap mobil. Ku tengok jam tangan yang sedang kupakai, ternyata sudah hampir pukul 10.30 wib. Aku pun segera berangkat bersama dengan pak tarno yang selalu bertugas untuk menyetir, di depanku.

Setelah melewati perjalanan hampir setengah jam, aku pun sampai.

"Siang, Bu?" Tanya salah satu satpam yang bekerja di kantor ini.

Aku mengangguk sembari tersenyum ke arahnya.

Belum sempat ku masuk kedalam kantor, tiba-tiba Fitri datang menghampiriku. Dia menyambutku dan seperti ingin mengatakan sesuatu kepadaku.

"Kamu kenapa, Fit?" Tanyaku penasaran. 

 Dia memainkan tangannya dan terlihat sangat gugup kebingungan. Dia memegang tanganku dan sedikit menyeretku pelan keluar. 

"Ada apa, Fit?" Aku sedikit risih dengan sikapnya dan kemudian menepis tipis tangannya.

"Maaf kan saya, Bu. Saya tahu ini tak sopan, Tapi hal ini sangatlah penting." Dia melihat sana-sini, memastikan tak ada orang yang mendengar pembicaraan kami.

Entah apa yang ingin dibicarakannya, sepertinya sangatlah serius, hingga tak ingin ada orang lain yang menguping pembicaraan kami.