webnovel

pembalasan

Ting!

Sebuah notifikasi pesan, masuk ke gawaiku

(Mba Ren, coba buka sosial media deh, kok ada video mba lagi marah-marah sama si sinta di teras. Itu benar apa Hoax? Maaf loh, yah. Cuman mau tanya, tidak bermaksud kepo.) Isi pesan dari teh dela.

Karena penasaran, bergegas diri ini membuka sosial media berlogo f itu. Dan benar saja, apa yang yang dikatakan mba dela tersebut.

Tapi, siapa yang telah merekam video itu, perasaan, saat aku memarahi Sinta di teras tidak ada siapa-siapa! Oh iya aku baru ingat pada saat kejadian itu aku seperti melihat ada seseorang yang mengawasi kami dari kejauhan. 

"Entahlah, apa yang dia ...!"

Oh astaga! apa mungkin orang itu yang telah merekam dan menyebarkan video tersebut? apa maksud orang itu dengan melakukan hal tersebut? dan apa pula hubungannya denganku? siapakah dia?" dalam hati, ku bertanya-tanya sendiri.

Penasaran siapa orang tersebut, aku segera membuka aplikasi berlogo f tersebut dan mencoba melihat siapa yang telah menyebarkan video itu. Dan benar saja, ada orang yang sengaja menyebarkannya dan sudah dilihat oleh ribuan orang.

Siap-siap saja besok, pasti akan diwawancarai oleh ibu-ibu komplek.

Aku jadi semakin penasaran, siapakah orang yang menyebarkannya. Setelah ditelusuri ternyata akun yang mengunggah video tersebut akun fake.

Aku duduk di sofa sambil memijat kepala yang terasa seperti mau pecah. Enggan rasanya berurusan dengan laki-laki mata keranjang itu lagi.

Braak!!!

Tiba-tiba  pintu terbuka lebar. Akupun segera menengok ke arah pintu tersebut, kulihat Sinta berdiri sambil mengepalkan tangan. Dadanya naik turun Tidak beraturan, sepertinya dia sangat marah.

"Ada apa dengan gadis ganjen  tersebut!"

Sahutku dalam hati seraya membulatkan mata karena kesal.

"Yang sopan dong, kalau masuk rumah orang. sinta, perasaan ibu dan bapak dulu ngajarin kamu sopan santun, deh!"

Ucapku dengan menaikan nada bicaraku satu oktaf.

"Aku benci sama kakak, gara-gara kakak aku di bully satu sekolahan.

Semua teman-temanku mengejek serta menghinaku. Bahkan  banyak teman laki-laki yang tiba-tiba mengirimkan pesan  sama aku, mengajakku berkencan di hotel!"

"Semua gara-gara kakak, kakak sengajakan menyeret aku terus waktu itu, biar aku mengaku, supaya kakak bisa mempermalukan aku seperti ini!" sahutnya lagi sambil marah-marah.

Aku hanya diam dan menciutkan bibir sebelah karena puas rasanya.

"Kakak tau nggak, perasaanku seperti apa mendapatkan perlakuan seperti itu, sakit kak sakit!"  Sahutnya lagi sambil menangis.

"Sakitan Mana sama perasaan saya, Sinta? Sakitan mana?"  Kutatap tajam adik perempuanku itu dengan tatapan kebencian.

"Kamu sudah bermain dengan api saya, Sinta. Dan pastikan sebentar lagi kamu akan terbakar. Dan satu lagi, tolong kamu lepaskan dan kembalikan semua barang yang telah aku berikan kepadamu dan yang paling penting, kamu segera angkat kaki dari rumah ini!"

Ucapku sembari memutar badan dan pergi ke atas menuju kamarku.

"Aku tidak akan pergi dari sini, biar mas Alvin yang memutuskan, siapa yang harus keluar dari rumah ini, aku atau kakak!"

"Benar-benar makin ngelunjak bocah itu."

Gumamku dalam hati.

Aku menghenyakkan bobot ini di atas tempat tidur. Kutatap nanar langit-langit kamar, membayangkan saat-saat indah bersama mas Alvin.

Selagi aku di dalam kamar, terdengar suara deru mesin kendaraan roda dua masuk ke pelataran rumahku. Aku Pun keluar dari kamar kemudian aku menuruni anak tangga untuk melihat siapa orang yang datang. 

Setelah sampai, aku mengintip dari balik dinding kaca, ternyata mas Alvin beliau sudah pulang.

"Assalamualaikum!"

Tok! Tok! Tok!

Tanpa menjawab aku segera memutar gagang pintu tersebut dan bergegas membukanya. Aku menyuruh mas Alvin untuk masuk ke dalam rumah.

Dia menatapku dengan tatapan sendu, juga dengan berlinang air mata.

"Rena,  kenapa kamu tidak   menjengukku?"  Tanya dia dengan pelan, sambil menghenyakan bokongnya di sofa.

"Kenapa harus aku yang  merawatmu, mas,? Kan ada Sinta!"  Sahutku dengan sangat ketus.

"Iya, kan kamu istriku, sedangkan Sinta itu kan cuman ...,"

"Simpanan kamu, mas?"  Potongku.

"Tega kamu ya, mas. Selingkuhi aku dengan adik ipar sendiri, memangnya, apa sih kurangnya aku sama kamu? Aku selalu setia mendampingimu selama dua tahun silam ini, dan aku tidak pernah sama sekali khianati janji suci pernikahan kita mas, nggak pernah!" Pekikku lagi.

"Rena, apa kamu menyesal menikah denganku?"  Dia menatap netra mataku.

"Tadinya nggak, mas. Tapi sekarang iya!" 

"Mas, tadi kak Rena mengusir aku!"  Dengan tiba-tiba dia datang menyahut sembari duduk di samping mas Alvin.

"Apa benar, Rena?" Tanya mas Alvin dengan tegas.

"Iya, memangnya kenapa. kamu marah?"

"Kenapa kamu usir Sinta. nggak aku nggak setuju Sinta keluar dari rumah ini!'

"Kenapa kamu keberatan, mas. Berarti benarkan dugaanku selama ini, kalau laki-laki yang selama ini tidur dengan Sinta itu adalah kamu iyakan, mas?"  Ucapku sudah tidak bisa mengontrol emosi lagi.

"Iya, memangnya kenapa?"  Ucapnya sembari mengangkat kepalanya.

"Bukannya laki-laki itu boleh menikahi lebih dari satu wanita?  Aku mencintai Sinta. Kami melakukannya suka sama suka, bukan karena paksaan!" Sahutnya lagi, bagaikan belati menusuk tepat di jantungku.

"Tapi kenapa harus berzina, mas?" Ucapku seraya menelan ludah yang terasa sangat pahit di kerongkongan.

"Ya, karena kamu tidak akan mengizinkannya, aku menyukai Sinta!"

Ucapnya sambil menarik tangan Sinta ke pelukannya.

Aku hanya bisa terdiam dan mematung. Dan menggeleng kepala tidak percaya. Air mata kian merebak di pelupuk mataku, tidak mau berhenti mengalir meski sudah ku tahan. Aku tidak mau menangisi laki-laki penghianat seperti dia. Dan tidak mau berbagi suami dengan si Sinta.

"Oke, kalau begitu aku yang akan mundur, mas. Silahkan kalian menikah dan hidup bahagia diatas penderitaanku. Insya allah aku ikhlas, mas!"

"Tidak, aku tidak akan menceraikanmu, aku sangat cinta sama kamu dan kamu tahu itu!"

"Tidak mas, aku tidak mau berbagi suami dan aku juga tidak mau memakai barang bekas orang, itu sangatlah menjijikan!"

Ucapku seraya mengangkat diri ini pergi ke atas menuju kamar.

"Apa kamu tidak ingat perjuangan kita waktu kita mendapat restu dari orang tua, hanya untuk bisa sehidup semati, Rena!"

Aku tidak menghiraukan perkataan mas Alvin dan terus berjalan menuju kamar.

Hati ini seperti teremas-remas membayangkan suamiku membelai mesra adikku, mengatakan cinta seperti yang dulu dia ucapkan padaku, juga menyatukan tubuhnya dengan cara yang tidak bermoral seperti itu.

Aku sangat membenci mereka, aku benci. Perasaanku sangatlah hancur dan sangatlah sakit, bagaikan ditusuk duri, yang tidak akan sembuh dalam waktu yang sangat singkat. 

"Lihat saja pembalasanku nanti, aku akan membuat hidup kalian seperti dalam neraka dan suatu saat kalian pasti akan menyesalinya seumur hidup kalian. Walaupun aku harus menjadi orang terlaknat sekalian. Aku berjanji pada diriku sendiri."