webnovel

Cause Of You I Found My Melody

Aku menyukai musik. Sesuatu yang membuatku merasa nyaman. Aku tidak pernah menyangka, jika hobiku membawaku pada sosok istimewa yang membuatku merasa benar-benar hidup. Kehadirannya tak terduga. Sweet pea dan gitar adalah deskripsinya. Tampan dan menarik adalah ciri khasnya. Namun, setelah kudalami apa yang aku sukai karenanya, sesuatu menarik hal paling berharga dalam hidupku. Sesuatu yang membuat hidupku benar-benar hancur. Aku pikir semua berakhir. Namun .... *** Buat kalian yang enggak suka sama issu ini, silakan tinggalkan ruangan. Aku menulis apa yang aku sukai, tapi untuk naskah yang ini, aku menulis untuk menepati janjiku. Karena janji itu seperti hutang yang harus dibayar. Jadi, sekali lagi buat yang enggak suka sama issu ini, silakan tinggalkan ruangan! Terima kasih. ^^ SUDAH TAMAT.

Castortwelvy · perkotaan
Peringkat tidak cukup
5 Chs

Tiga

Hari demi hari berlalu. Latihan demi latihan dilakukan. Jennie memilih dua orang yang akan mewakili les untuk tampil di acara anniversary nanti. Raisa dan Fajar. Dua orang berbakat yang serasi. Tampan dan cantik. Putera dan puteri.

Aku mulai menguasai gitar dengan baik. Cukup untuk sekadar menyanyikan lagu sederhana. Sandi beberapa kali memintaku untuk mengajarinya, karena teman-teman yang biasa membantunya berlatih sedang sibuk untuk acara anniversary beberapa hari lagi.

Aku tidak menolak, dan tidak juga mengiakan, tapi memberikan catatan berupa kunci-kunci dan pola yang harus Sandi pelajari.

"Kalau rajin, seminggu bisa. Ya, meski aku butuh sebulan lebih, sih buat bisa."

"Haha. Oke. Thanks."

Aku mengangguk.

"Kamu suka maen ps?" tanyanya saat jam berakhir dan aku sedang menunggu ojek untuk pulang. Raisa meninggalkanku karena dia akan berlatih dengan Fajar di studio, katanya.

"Bisa, selama itu bukan maen bola." Aku mengangguk.

"Hardisk. Banyak pilihan. Sesuka hati," jawabnya.

"Serius?" Aku terbawa suasana karena ps yang Sandi tawarkan memiliki banyak permainan di dalamnya.

Sandi mengangguk.

"Aku ajak kamu maen ps, dan gantinya kamu ajarin aku gitar sampai bisa, semalaman." Dia menyeringai, seakan-akan dirinya iblis yang baru saja menawarkan sebuah perjanjian terlarang dengan berbagai keuntungan.

"Curang!" Aku menggeleng.

"Adil, dong. Lagian aku udah jarang maen ps sama temen. Enggak semenjak dia ...." Sandi menunduk, menatapi sepatu sneakers-nya, warna hitam putih.

"Paham." Aku menepuk pundaknya pelan. Baru sadar kalau dia lebih tinggi dariku, dan aku harus sedikit mendongak ke arahnya saat menepuk pundak kokohnya.

Setelah memesan taxi online dan mampir di rumahku untuk pamit, akhirnya kami sampai di rumah Sandi. Belakangan aku tahu dia tinggal sendirian di sini. Orangtuanya berada di kota yang sama, tapi sibuk dengan pekerjaan. Sandi dibebaskan menghuni rumahnya sendiri di komplek perumahan. Sementara rumah orangtuanya di komplek terpisah.

Bangunannya dua lantai, bercat oranye dengan pohon-pohon rimbun di sekelilingnya. Ada pohon palem dekat gerbang masuk, dan ada tulisan nama Sandi di badan pohonnya.

Pertama kali menginjakkan kaki di kamarnya, aku seperti baru saja dibawa terbang oleh burung-burung yang sedang migrasi, kemudian dilemparkan ke tumpukkan kapas lembut.

Ruangannya rapi, wangi dan menenangkan.

Ada dua gitar yang ditaruh di dinding, ditempel pada paku. Di atas ranjang busa warna peach, ada puluhan foto polaroid yang disusun membentuk hati. Foto seorang gadis yang aku lihat dalam dompet Sandi.

Dinding kamarnya dicat dengan pola vertikal, biru langit dan putih bersih. Lampu gantung dari sebuah mangkuk plastik warna gading membungkus lampu LED di plafon.

"Nah, kamu ... eh, agak kurang enak, sih sebenernya. Karena sekarang kita udah deket, gimana kalau manggilnya gue-elo aja?" tanya Sandi, masuk lebih dulu, melempar kaus kakinya asal dan merebahkan diri di kasur busa.

"Lucu, sih. Dulu lo panggil gue adek. Tapi, ya terserahlah," jawabku, masuk hati-hati. Seakan-akan takut untuk memecahkan barang apa pun di ruangan ini. Jauh sekali dengan kamarku yang kecil dan berantakkan.

Sandi terbahak mengingat momen pertama kami bertemu di toko bunga Layla.

Menit demi menit berlalu. Setelah rasa lelah kami hilang, Sandi mulai mengajakku maen ps. Bermain Naruto Shippuden dan battle. Beberapa kali dia menang, terlalu hebat dan aku kalah terus-terusan.

Keakraban seolah merembes di antara kami, mengikis jarak yang kian lama membuat kami semakin dekat. Aku tak canggung lagi untuk bisa tertawa terbahak-bahak di dekatnya. Bahkan sampai memukuli pahanya karena merasa terlalu akrab.

Waktu berlalu, permainan yang kami coba pun sudah banyak. Mataku sudah sakit dan menyerah pada Sandi untuk tidak melanjutkan. Aku memilih mundur dan tiduran di sofa dekat ranjang busa.

"Nah sekarang ajarin gue maen gitar." Sandi berdiri dan mengambil gitar warna creame di dinding, dan gitar satunya, warna biru langit dibiarkan terus di sana.

"Nih! Gue mau ambil camilan. Master harus dimanjakan biar dia bisa memanjakan muridnya," kata Sandi, tersenyum penuh kelicikan dan pergi ke dapur.

Dalam keheningan aku memerhatikan ruangan. Benar-benar rapi dan terawat. Aku jadi semakin penasaran ketika melihat foto-foto yang ada di dinding. Gadis itu benarkah hanya sebatas sahabat untuknya?

Dia kembali dengan setumpuk camilan dan dua mangkuk sereal serta susu. Katanya aku harus makan dulu sebelum mengajarinya. Dia benar-benar memanjakanku agar aku mau tidak mau memanjakannya juga.

"Oke, sekarang perlihatkan apa yang udah lo pelajari selama ini di ruang les," kataku. Agak tidak nyaman menggunakan lo-gue saat berbicara dengannya.

"Gue pengin cepet bisa biar cepet maenin river flows in you," katanya. Dia terlihat seperti anak kecil yang tak sabaran. Untuk membuatnya senang, aku mengangguk mengiakan. Kemudian memaksanya untuk menunjukkan hasil latihan.

Sandi berdiri, merogoh saku celananya dan mengeluarkan dompet untuk mengambil pick yang waktu itu tertinggal di toko Layla. Aku sedikit curhat padanya karena tak punya benda semacam itu, dan kalau pun ada, pasti sudah aku jaga baik-baik.

Latihan dilakukan beberapa menit berikutnya, sampai larut malam dan aku terpaksa menginap. Ya, walau aku rasa itu cukup sepadan karena Sandi mulai terbiasa dengan jari-jarinya yang terasa sakit dan kemampuan memainkan gitarnya membaik.

**

Tabunganku sudah cukup. Dengan berat hati, babi dari tanah liat itu kulempar dengan bangga ke atas lantai dan memuntahkan koin-koin serta lipatan-lipatan kertas berbagai warna. Bau apak kertas yang terpendam begitu lama menyeruak ke penciumanku. Membawa rasa bangga dan haru bersamaan.

Tiga hari lagi anniversary les akan berlangsung. Acaranya dilakukan di gedung utama seberang gedung les. Akan banyak orang hadir, termasuk orangtua masing-masing murid. Di hari berikutnya, setiap tutor kelas akan membawa anak didiknya liburan di pantai selama dua hari dua malam.

Aku akan menggunakan uang tabunganku untuk membeli gitarku sendiri sebelum acara itu berlangsung. Akhirnya setelah sekian lama menunggu, semua akan terkabul.

Aku merapikan pecahan celengan babi, menyisikkannya ke sisi lain dan mulai menghitung jumlah uangnya. Cukup kurasa.

Orang pertama yang aku beritahu soal ini adalah Sandi. Dia cukup senang mendengarnya dan katanya bersedia menemaniku membeli gitar kalaupun aku akan membelinya hari ini.

Dengan senang aku merencanakannya hari ini juga, dan kami akan bertemu di toko bunga.

"San, bantu Ibu kirim pakaian ini ke pelanggan, ya?" tanya ibu, menyerahkan dua plastik besar berisi baju-baju pelanggan yang sudah rapi dan harum.

"Tapi, Bu ... aku ada acara hari ini," kataku. Ibu berdiri dengan wajah lelah, kedua tangannya yang lembut dan putih terlihat bergetar. Wajah lelahnya makin pucat. Dia sakit, sepertinya.

Meski begitu, aku tetap menolak membantunya karena aku ada janji dengan Sandi saat ini juga.

"Itu di komplek Cendana, kirim bajunya ke bu Rahmah, ya?" Ibu menaruh tumpukkan baju itu di atas meja makan, melengos meninggalkanku dengan secarik kertas berisi alamat rumah si pelanggan.

Setelah kepergiannya, aku sedikit menimbang. Pergi atau jangan? Tapi kalau tetap mengantarkannya, aku harus memutar jalan dua kali lebih jauh dari yang seharusnya, dan Sandi pasti akan menunggu karena hal itu. Belum lagi ongkos yang harus kukeluarkan.

Akhirnya aku meninggalkannya dan berniat mengantarkan bajunya nanti saja.

Saat aku sampai di toko bunga, Sandi sedang berdiri sambil terus melihat arloji di tangan kirinya. Aku berteriak dari ujung jalan, berlari melewati beberapa kedai sebelum akhirnya sampai di depannya.

Kami berangkat.

Dia membawaku mencari toko gitar murah di kota. Lokasinya lumayan jauh, tapi aku tidak khawatir karena Sandi memboncengku dengan sepedanya. Katanya itu sepeda sahabatnya dulu. Aku duduk di jok belakang sambil melihat kepadatan kota di bawah sinar matahari yang menerpa kulit, dan Sandi dengan anteng mengayuh pedal sepeda keranjangnya.

Toko demi toko kami datangi, menampilkan banyak gitar berbagai warna dan menarik perhatian. Namun sayang, di antara semua yang aku suka, harganya tak ada yang pas dengan nominal dalam saku celanaku. Mau tidak mau, kami terus berkeliling mencari toko gitar yang lebih murah lagi.

Kami berkeliling sampai sore hari, tepat ketika mentari menyelinap malu-malu di belakang bangunan tinggi di depan kami. Sebuah toko alat musik yang terlihat sederhana, tapi bernuansa fancy.

Dengan malu-malu aku menyerahkan semua nominal uang di saku celana pada Sandi, membiarkannya membayar sambil bernegosiasi agar harganya bisa dibuat lebih murah lagi. Akhirnya, sebuah gitar sewarna cream yang nyaris mirip dengan milik Sandi berpindah tangan ke padaku.

"Keren. Gue belum bisa percaya, akhirnya punya gitar sendiri." Aku mengelus benda itu beberapa kali, senang, bangga, haru. Sandi hanya terbahak di atas sepeda keranjangnya sambil menyuruhku naik lagi karena kami akan mencari makan.

Sambil makan, aku bercerita ingin punya pick agar mempermudahku bermain gitar.

"Mahal, ya?" tanyaku. Kami duduk di meja makan di bawah pohon ketapang kencana yang rimbun ditemani sepoi angin sore hari. Mentari melempar sinarnya pada kami yang anteng memandang semburat jingga di balik bangunan.

Orang-orang melenggang tak peduli, sama sibuknya dengan urusan masing-masing.

"Pick bagus itu harganya bisa sampai ratusan ribu," jawab Sandi.

"Harus nabung lagi kalau gitu." Aku sedikit kecewa mendengarnya.

"Mungkin." Sandi mengangguk.

"Kalau punya lo dibagi dua, setengah buat gue dan sisanya buat lo. Bisa?" Aku menyelidik, menaikkan satu alis mata sambil masih berusaha bersikap serius. Sandi melahap roti isi pisangnya sebelum terbahak menertawakanku.

"Gak. Ya gak bisalah. Pick itu kayak hati, San. Gak bisa dibagi. Ada satu, cuma untuk satu orang. Ketika lo bagi hati lo buat dua orang, perasaan dan kisah cinta lo udah gak seimbang, hambar, pales. Pun sama kayak pick, ketika lo bagi dua, melodi yang dihasilkan udah gak terasa harmonis."

"Ah ...." Aku mendesah pelan.

Sandi melahap lagi rotinya. Aku mengangguk paham.

Terpaksa aku menyerah dan harus menabung lagi untuk membeli pick.

Kami pun pulang saat azan magrib berkumandang di masjid. Sandi menyuruhku untuk ibadah jika ingin, tapi aku menggeleng dan aku jawab kami satu keyakinan. Sandi mengangguk paham dan kami pun benar-benar pulang.

Kami berpisah di toko bunga. Aku sempat pamit pada Layla, dan dia memberiku sedikit camilan untuk di perjalanan. Aku pulang dengan hati senang dan bangga. Gitar baruku kupegang dengan tangan kiri.

Pada kenyataanya, semesta tak pernah benar-benar berbaik hati padaku. Setelah semua kebahagiaan yang aku rasakan seharian ini, semesta juga ingin memberiku satu luka yang amat menyayat hati.

Gitar baruku seolah bukan hal yang bisa membuatku bahagia lagi setelah mendapat kabar jika ibu ... meninggal dunia.

Dadaku terasa dihantam benda tumpul dan tajam bersamaan. Sesak dan nyeri, tersayat. Buru-buru aku berlari memasuki rumah.

Bendera kuning dipasang di depan rumah. Orang-orang berdatangan, dan kakiku seperti lemas begitu saja. Seluruh tenaga yang aku rasakan berlimpah di dalam tubuh karena senang menghabiskan hari dengan Sandi, sirna semuanya.

Jeritku pecah ketika melihat ibu terbaring di lantai dibungkus oleh kain. Matanya damai tertutup.

Siapa pun tolong katakan ini mimpi. Duniaku seolah hancur begitu saja melihatnya. Seperti pecahan kaca yang berserakan di lantai bersama dengan jasad ibu yang pucat dan kaku. Tanganku bergetar hebat, terangkat perlahan di udara, ingin menyentuh wajahnya. Namun terasa kebas dan berat.

Aku tak tahu lagi apa yang kurasakan selama jerit demi jerit keluar dari mulutku. Seakan-akan semua yang ada di sekelilingku berputar dan menjauh. Menerkam dalam sekejap, lalu menghilang secepat datangnya.

"Ibu!" teriakku, pecah, menangis, menjerit.

Air mataku membasahi wajah ibu. Bahkan aku nyaris tak sadar ketika kaki-kakiku menginjak-injak kekosongan di belakangku. Rasanya seperti terisap dalam lubang hitam yang dalam dan tanpa jalan keluar.

Satu-satunya hal yang kuingat sebelum kegelapan itu mencengkramku, adalah sosok lelaki yang datang merangkulku dan menjauhkan tubuhku dari tubuh kaku ibu.

To be continue

Jangan lupa baca naskahku yang "The Blue" ya? Ada di wattpad, komplet.

Dan jangan lupa baca naskahku yang "Catch Me If You Can" ya? Kalian bisa baca lanjutannya di aplikasi Dreame.

Terima kasih.