webnovel

Cause Of You I Found My Melody

Aku menyukai musik. Sesuatu yang membuatku merasa nyaman. Aku tidak pernah menyangka, jika hobiku membawaku pada sosok istimewa yang membuatku merasa benar-benar hidup. Kehadirannya tak terduga. Sweet pea dan gitar adalah deskripsinya. Tampan dan menarik adalah ciri khasnya. Namun, setelah kudalami apa yang aku sukai karenanya, sesuatu menarik hal paling berharga dalam hidupku. Sesuatu yang membuat hidupku benar-benar hancur. Aku pikir semua berakhir. Namun .... *** Buat kalian yang enggak suka sama issu ini, silakan tinggalkan ruangan. Aku menulis apa yang aku sukai, tapi untuk naskah yang ini, aku menulis untuk menepati janjiku. Karena janji itu seperti hutang yang harus dibayar. Jadi, sekali lagi buat yang enggak suka sama issu ini, silakan tinggalkan ruangan! Terima kasih. ^^ SUDAH TAMAT.

Castortwelvy · Urban
Not enough ratings
5 Chs

Dua

Aku mengikuti les gitar tiga kali dalam seminggu. Senin, Rabu dan Sabtu. Untuk anak sepertiku, membayar uang pendaftaran dan uang bulanan les adalah hal mustahil dilakukan oleh sendirian. Jangankan untuk melunasi semuanya, mendapatkan jajan lebih saja sangat sulit untukku.

Meski aku tidak harus bersusah payah memikirkan bagaimana melunasi biaya sekolah karena orangtuaku yang menanggung semuanya, tetap saja untuk anak lelaki seusiaku, menghadapi masalah seperti itu menjadi beban pikiran.

Nasib baiknya, salah satu guru seni musik di sekolahku dengan senang hati mau membiayaiku ikut les di tempat ini. Katanya, aku berbakat dan harus dikembangkan dengan ikut les. Itu berkah untukku, aku hanya bisa setuju, senang.

Sejauh ini semua berjalan baik. Aku ikut les sesuai jadwal, tanpa bolos. Kecuali ketika aku harus terlambat masuk karena Layla mengotot aku tidak boleh pulang cepat karena pelanggan di toko sedang banyak.

Jennie juga tak pernah mempermasalahkan itu, karena dia tahu aku bekerja di toko bunga untuk alasan yang sudah kujelaskan kepadanya.

Tak banyak murid yang ikut, hanya orang-orang berbakat dan berada saja yang ada di sini. Mungkin aku golongan ketiga yang tak pernah ada dalam sejarah les musik, orang beruntung.

Dalam satu kelas, hanya ada sepuluh orang, nyaris didominasi laki-laki.

"Gak, bukan gitu. Letakkan jari telunjuk kamu di senar empat, dan jari tengah di senar tiga, lalu jari manis di senar dua. Ini namanya A. Inget baik-baik. Kamu tuh, yaa, udah hampir sebulan masih aja gak hafal." Jennie sedikit protes padaku, kesal mungkin.

Katanya aku berbakat, tapi aku ... ah, sudahlah.

"Oh ...," jawabku mengangguk paham. Jennie sebagai tutor pergi meninggalkanku untuk mengecek siswa lainnya.

Di tengah nada-nada sumbang yang terus berkeliaran di ruangan putih penuh kaca, seseorang mengetuk pintu, menghentikan semua kegiatan kami. Jennie menoleh, melipat kedua tangannya di belakang, kemudian menghampiri pintu masuk.

Dia sedikit melongokkan kepalanya keluar, mencari orang di balik pintu. Kepergiannya digantikan dengan kehadiran sosok pemuda jangkung dari balik pintu, diikuti Jennie di belakangnya.

Pemuda itu ....

"Jadi, kita kedatangan murid baru." Jennie menepuk tangannya sekali sambil menatap ke arah si pemuda. "Wah, selamat datang. Silakan perkenalkan nama kamu."

Jika ruangan ini dipenuhi gadis, mungkin mereka sudah berteriak histeris dengan ketampanannya. Bibir merah berbentuk busur panah, mata hitam bulat mengilap dan bulu mata lentik hitam lebat. Nasib baiknya, dan aku sangat bersyukur karena di sini didominasi laki-laki, tak ada teriakkan histeris ketika lelaki itu memperkenalkan diri.

"Sandi. Satria Nasution Dirgantara. 12 SMK elektrikal. Senang bertemu kalian."

Aku tercengang, jelas tercengang ketika nama awal dan tengahnya mirip dengan namaku. Ludahku meluncur begitu saja.

"Alasan kamu ikut les gitar?" Jennie bertanya, melipat kaki kanannya, yang dia tumpangkan di kaki lainnya sambil duduk di ujung mejanya.

Barang sejenak dia diam. Menimbang mungkin. Biar kutebak, pasti akan mengeluarkan alasan klise.

Aha! Mainstream.

"Sahabat," jelasnya.

Semua orang terdiam. Beberapa jenak kemudian Jennie bertanya karena tidak paham.

"Ya, karena sahabatku sangat menyukai gitar. Sayangnya ...." Sandi terlihat mengeras di sana, urat lehernya makin terlihat jelas. Sesekali dia meremas jemarinya di dekat paha. Aku sedetail itu memperhatikan.

"Ya? Kalau ini terlalu berat, kami tidak keberatan kamu tidak melanjutkannya," sambar Jennie mengoreksi, mencegah hal yang mungkin bisa saja menjadikan tempat ini melankolis dalam sekejap.

"Sayangnya dia harus pergi lebih dulu. Untuk mengenang kalau dia selalu di sini ...," ucapnya, menunjuk dada dengan telunjuk. "Agar aku selalu ingat kalau dia ada di sini, aku harus bisa bermain gitar."

Seolah kabut dan sarang laba-laba yang berputar di otakku tentang penjelasan kejadian beberapa hari lalu saat dia datang ke toko bunga dan membeli bunga sweet pea terjawab sudah.

Ya, dia berkabung, dan aku sekonyong-konyong bertanya tanpa memedulikan perasaanya.

"Uuh," seru Jennie dan Raisa nyaris bersamaan. Tersentuh mungkin.

Saat Jennie menyuruhnya duduk dan memilih kursi sesukanya, dia menoleh ke arahku. Sesaat aku pikir akan duduk di sebelahku, nyatanya dia mengambil kursi di dekat jendela, dekat dengan Raisa.

Ya, terserah.

Pelajaran pun kembali dilanjutkan.

Hari demi hari berlalu. Pertemuan demi pertemuan dilakukan. Jennie menjelaskan tentang anniversary yang akan diadakan dalam dua minggu kurang dan dia mengadakan semacam tes untuk siapa saja yang layak mewakili kelas les kami di depan semua orang.

Tampaknya Sandi mudah bergaul. Dia dengan gampangnya berbaur bersama kami, ralat, maksudku mereka. Karena belakangan ini dia lebih sering diskusi dan bermain dengan yang lain. Aku tetap menjadi aku, sendiri, kecuali saat Raisa mengajakku bicara.

Rutinitasku tetap sama. Pulang sekolah langsung ke tempat Layla untuk menebar benih dan melayani pembeli, setelahnya berangkat menuju ruang les.

Jennie semakin keras melatih kami dengan alasan agar hasilnya maksimal dan tidak mengecewakan.

Suatu hari, ketika aku berada di toko Layla dan sedang membersihkan benih, Sandi datang dengan pakaian santai. Kaus hijau terang berkerah dan celana cream yang bagian bawahnya dilipat dua kali. Tak lupa sepatu sneakers membalut kakinya yang besar.

"San," sapanya. Aku pura-pura tak dengar dan masih memungut benih.

"Apa kamu nemu---"

"Pick?" tanyaku memotong.

Bodoh. Aku mengumpat diri sendiri. Aku kelihatan seperti semangat menanggapi. Sedetik kemudian aku melotot karena merasa telah melakukan kesalahan. Sandi tersenyum dan mengangguk.

"Ya, aku tahu pick-nya jatuh di sini."

"Oke, tunggu sebentar," kataku, menyuruhnya berdiri di belakang meja kasir, sementara aku ke belakang dan Layla memarahiku karena melihat pelanggan tampan yang tak aku layani. Setelah aku jelaskan jika dia teman les gitar, Layla mulai tutup mulut.

"Ini. Untung belum aku jual," ucapku canggung.

Sandi meraihnya, tertawa dan memasukkannya ke dompet. Ada foto seseorang di sana. Aku cukup tahu sopan santun, dan tak berniat banyak tanya soal itu.

"Ehm ... oke. Kalau gitu ... sampai jumpa ... di tempat les?" Sandi menggaruk tengkuknya canggung.

"Oke."

Dia pergi.

Dan sebatas itulah percakapan kami.

Aku tak berniat dekat dengannya.

Tak berniat akrab atau bertingkah sok akrab.

Sampai suatu hari, kami dipertemukan lagi oleh semesta.

Sandi sedang kehujanan di depan ruang les, tidak ada siapa pun di sana selain dirinya yang sedang menggosok sikut, menghangatkan tubuhnya sendiri. Aku baru pulang dari toko bunga dengan payung biru langit.

Dia menatap ke arahku, seakan-akan semesta menaruh magnetnya padaku yang dengan sengaja Sandi menyadari kehadiranku. Dia tersenyum, melambai.

"Lho, bukannya les tutup hari ini?" tanyaku saat sampai di depannya. Rambut hitam belah duanya sudah basah kuyup seperti anak anjing baru dimandikan. Tetes demi tetes air turun di telinganya.

"Gak sengaja mampir," jawabnya.

"Kehujanan atau hujan-hujanan?" tanyaku lagi.

"Dua-duanya."

"Oh."

Aku menepi, memasuki bagian depan ruang les yang dipayungi kanopi, sementara Sandi sedikit bergeser ke kanan untuk memberiku celah agar bisa berdiri di samping pilar, jauh dari tetes hujan.

"Abis dari mana?" Aku bertanya.

Kecanggungan berputar di antara kami, bergumul bersama rintik hujan di sebelah kiriku. Aroma cokelat hangat dari kedai sebelah gedung les menguar di udara, menerobos padatnya petrikor yang menggelitik penciuman. Aku menahan napas beberapa jenak setelah bertanya.

Sandi terlihat enggan bercerita, terlihat dari mimiknya yang merengut seperti kulit tangan kedinginan. Jelas dia tak nyaman dengan itu.. Aku tidak memaksa, toh santai saja.

"Jenguk," jawabnya.

Lagi-lagi kepalaku mengangguk otomatis seperti boneka di dashboard mobil menanggapi perkataanya. Kami tidak terlalu dekat, jadi aku pikir jawabannya sudah lebih dari cukup untuk percakapan canggung ini.

Tidak lebih baik jika harus bertanya terus-terusan.

"Oh," jawabku sewajarnya.

"Mau temenin aku?" tanyanya kemudian.

Responsku cukup dengan mengangkat alis dan dia mengerti apa yang harus dilakukan. Beberapa detik berikutnya menjelaskan jika dia sedang dalam perjalanan menuju makam sahabatnya, dan ketika sampai di depan gedung les, hujan turun sangat lebat.

Ya aku ingat. Sebelumnya pun aku sedang dalam perjalanan pulang, sampai akhirnya hujan tiba-tiba turun.

Aku belum menjawab siap apa tidak menemaninya. Ini agak janggal. Maksudku, kami tidak cukup dekat untuk saling peduli dengan hal ini. Keakraban ini terlalu tiba-tiba, canggung. Tidak nyaman.

Dia mengajakku mengunjungi makam sahabatnya. Apa tidak apa-apa?

"Sekarang?"

Bodohnya aku. Batinku sedikit menolak karena keakraban yang tiba-tiba, tapi mulutku terlalu penasaran dan tertarik untuk terlibat dengannya.

"Kalau kamu gak keberatan," katanya.

Akhirnya kami berbagi payung di bawah hujan lebat yang terasa bagai limpahan jarum. Jika aku lihat diriku sendiri berjalan di tengah hujan saat ini, mungkin lebih mirip anak bebek yang berjalan bergandengan bersama saudara bebeknya di bawah hujan. Berimpitan, saling jaga jarak dari hujan.

Aroma segar air hujan mengisi penciumanku, seakan-akan mengikis rasa risi yang aku rasakan karena harus berjalan bersisian dengannya seperti ini.

Untuk mempertahankan keseimbangan, kami melangkah bersama-sama. Sedikit demi sedikit. Namun pasti.

Orang-orang melihat ke arah kami. Mungkin mereka berpikir, orang bodoh macam mana yang sudi berbagi payung di tengah hujan lebat seperti ini. Namun sayangnya, kami tidak cukup bodoh untuk itu.

Bajuku sudah basah setengah dan Sandi tertawa puas karena itu. Tak lama berjalan setelah jauh dari lampu merah yang padat, kami sampai di sebuah situs tua dengan gapura berlumut penuh ilalang. Ada seekor anjing termangu di dekat gapura, kehujanan.

Aku membaca tulisannya yang diukir dalam huruf-huruf Cina.

"Bajumu udah basah, buka aja payungnya," kata Sandi, berjalan keluar dari payung meninggalkanku. Rintik hujan turun dengan setia di atas kepalanya. Dua langkah setelah sampai di gapura, dia mengangkat kedua bahunya pelan.

"Apa?" tanyaku.

"Gak terlalu buruk, cobalah."

Mungkin maksudnya mandi hujan, hujan-hujanan, kehujanan atau apalah itu namanya.

Merasa payung yang kupakai sia-sia, akhirnya aku menutupnya dan menggengamnya dengan tangan kiri. Mulai mengikutinya memasuki pemakaman Cina.

Sandi berjongkok di sebuah nisan berukuran besar di depannya. Bentuknya menyerupai bangunan kuno atau benteng-benteng yang aku lihat di teve-teve. Namun ini lebih mewah dengan tempelan keramik biru mengilap.

Ada pohon-pohon beranting kerontang, tapi terlihat kokoh dan alot. Daunnya panjang-panjang hijau gelap dengan bunga-bunga putih kekuningan. Mungkin Layla siap menjual bunga semacam itu.

Hehe.

Sandi menangkupkan kedua tangannya di dada, berdoa mungkin. Aku diam memerhatikan di bawah hujan.

Dalam keheningan selama matanya terpejam, yang aku perhatikan dari arah samping, wajahnya damai dan terlihat lebih santai dari biasanya. Selama itu pula, hujan seolah menipis untuk menemaninya berkabung.

Dia mendongak ke arahku, terdiam.

"100 hari pas," ucapnya.

"3 bulan lebih sepuluh hari," kataku. Dia mengangguk. Ya, sahabatnya meninggal tiga bulan yang lalu.

Aku tidak tahu apakah yang ada di dalam kuburan itu seorang lelaki atau perempuan karena namanya ditulis dalam huruf serupa dalam gapura. Siapa pun dia, itu pasti sangat-sangat berharga untuknya, karena Sandi terlihat begitu sedih sekarang.

Namun melihat foto yang ada di dompetnya waktu itu, seorang perempuan, aku pikir dialah orangnya.

Selama dia menjelaskan tentang kematian sahabatnya, aku hanya bisa berdiri mematung di bawah rintik hujan yang kembali lebat. Aku tidak terlalu nyaman dengan ini. Maksudku, apa dia sepolos dan sebaik itu sampai mau susah payah bercerita tentang orang istimewanya padaku?

Setelah semua selesai, kami berpisah di toko bunga. Sandi pergi dengan ojek dan aku pergi jalan kaki. Basah kuyup. Siap dimarahi ibu. Menyebalkan.

To be continue

Jangan lupa baca naskahku yang "The Blue" ya? Ada di wattpad, komplet.

Dan jangan lupa baca naskahku yang "Catch Me If You Can" ya? Kalian bisa baca lanjutannya di aplikasi Dreame.

Terima kasih.