Sinta masih sibuk dengan tumpukan laporan yang ada di hadapannya. Sudah 3 jam, Sinta tidak beranjak dari kursinya. Sesekali Sinta memijit pelan keningnya yang terasa pening.
Perlahan pintu ruangan Sinta terbuka, Candra muncul dari balik daun pintu.
"Ternyata benar mbak disini", Candra bicara pelan, sembari terus melangkah mendekati meja kerja Sinta.
Sinta melepaskan kaca mata bacanya, kemudian menyandarkan punggungnya ke punggung kursi. "Ada pekerjaan yang g'ak bisa mbak tinggalin", Sinta menjawab pelan, senyuman lembut menghiasi bibirnya.
Candra duduk tepat di kursi dihadapan Sinta. "Kak Tasya nelpon nyariin mbak, katanya nomor mbak g'ak bisa di hubungi", Candra menjelaskan mengapa dia sampai pergi menyusul Sinta ke kantor.
Sinta meraih HPnya, "Astagfirullah... HP mbak mati dek", Sinta bicara pelan.
"Kita pulang sekarang, biar Candra anterin", Candra bicara diluar dugaan Sinta.
"Masih ada yang perlu mbak periksa dek", Sinta berusaha meraih kembali laporan yang ada dihadapannya.
Kali ini Sinta kalah cepat dari Candra, sebelum Sinta berhasil meraih tumpukan kertas dihadapannya, Candra terlebih dahulu menarik laporan-laporan. Kemudian menyusun menjadi sebuah tumpukan.
"Candra antar pulang sekarang", Candra bicara tegas, tetap meletakkan telapak tangannya diatas tumpukan laporan.
"Oke...", Sinta mengaku kalah dengan keras kepala Candra.
Sinta melangkah menuju parkiran kantor bersama Candra, Sinta duduk di bangku penumpang tepat di samping Candra.
"Mbak mau makan apa...? Sekalian kita beli sambil jalan", Candra menawarkan.
"Apa aja...", Sinta menjawab lemah, Sinta mencari posisi nyaman untuk memejamkan matanya sejenak.
Candra memilih untuk tidak mengajak Sinta bicara lagi. Memberikan kesempatan kepada Sinta untuk beristirahat.
***
Ibu Cakya masih menatap putra sulungnya dengan tatapan nanar menunggu jawaban. Cakya menarik nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan ibunya.
"Cakya capek", Cakya bicara lirih.
"Maksudnya...? Mama g'ak ngerti...", ibu Cakya mengerutkan keningnya.
"Cakya capek menghadapi sikap semua orang yang bisu, Cakya capek harus menahan rasa sakit setiap kali berusaha mengingat masalalu, Cakya capek ma", Cakya kembali menarik nafas panjang sebelum melanjutkan ucapannya. "Jadi... Cakya putuskan untuk merelakan semuanya. Merelakan semua kenangan di masalalu, merelakan semua rasa sakit, merelakan semua amarah Cakya menghadapi kebisuan semua orang", Cakya bicara dengan nada paling rendah.
Ibu Cakya menarik putra sulungnya kedalam pelukannya, air matanya mengalir tanpa permisi membasahi pipinya. Cakya melepaskan diri dari pelukan ibunya, kemudian duduk jongkok tepat dihadapan ibunya, menghapus lembut jejak air mata ibunya.
"Mama minta maaf abang...", ibu Cakya bicara dengan penuh rasa penyesalan.
"Abang tahu, mama melakukan itu untuk kebaikan abang", Cakya menghibur ibunya.
***
Erfly duduk diteras Villa, menatap kosong jauh kelangit. Ingatannya memutar memori kebersamaannya bersama Cakya dan keluarganya.
Nadhira duduk menghampiri Erfly.
"Len...", Nadhira bicara lembut.
"Hem...", Erfly menggumam pelan menjawab Nadhira.
"Menurut kamu... Bagaimana Cakya dan keluarganya...?", Nadhira bertanya pelan, menatap lekat wajah Erfly.
"Mereka orang-orang yang baik", Erfly menjawab pelan.
"Cakya... Mengajak teteh kerumahnya besok. Ilen...", Nadhira tidak bisa menyelesaikan ucapannya karena Erfly sudah menyela.
"Erfly pulang besok ke Garut", Erfly bicara dingin, mukanya tidak menunjukkan ekspresi apapun.
"Len... Teteh...", Nadhira bicara putus asa.
"Besok teh", Erfly bicara dengan ketegasannya. Pernyataan mutlak yang tidak bisa dibantah oleh Nadhira.
Tidak ada yang mengenal watak Erfly lebih baik dari pada Nadhira saat ini. Saat Erfly sudah memutuskan sesuatu tidak ada yang bisa merubah keputusannya.
"Teteh tahu, ini berat untuk kamu Len. Tapi... Ini penting buat masa depan teteh Len...", Nadhira kembali menghiba, Nadhira duduk jongkok dihadapan Erfly meminta belas kasihan. "Kali ini saja Len...", Nadhira bicara dengan nada paling pelan.
"Aku g'ak bisa teh. Ini terlalu menyakitkan buat aku. Aku pulang besok. Silakan kalau teteh mau tetap disini", Erfly bicara dengan suara bergetar karena menahan tangis.
"Len...", Nadhira memelas, air mata mulai mengalir tanpa permisi.
"Please teh, jangan uji batas kesabaran ku", Erfly menghardik Nadhira, tatapannya demikian tajam menembus bola mata Nadhira.
Nadhira mundur dengan teratur, dia tahu dengan pasti. Tidak ada gunanya lagi menahan Erfly.
Erfly meraih kruknya, kemudian masuk kedalam kamar. Merebahkan tubuhnya dengan kasar diatas tempat tidur.
"Kenapa harus manusia yang satu itu muncul lagi...? Kenapa harus teh Nadhira...?", Erfly mengulang kata-kata yang sama sekian kali seperti radio rusak.
Walau bagaimanapun Erfly mengingatkan dirinya sendiri kalau 'dia dan Cakya sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi' . Tetap saja, hatinya terasa sakit melihat Cakya bersama Nadhira. Bahkan dia tidak sanggup harus membayangkan Nadhira merebut semua perhatian dari Cakya dan keluarganya.
Entah karena mata dan jantung milik Asri yang ada di tubuhnya, atau itu sesungguhnya perasaan terdalamnya. Bahkan Erfly sendiri tidak tahu jawabannya.
***
Candra memutuskan untuk kembali ke kantor setelah makan malam dengan Tasya, malaikat kecil, Salwa dan adiknya, serta Sinta.
Candra masuk keruangan kerja Sinta, mengecek semua laporan yang masuk. Candra bahkan langsung memisahkan proposal proyek yang akan dia Acc.
Candra menyelesaikan pekerjaannya saat azan subuh berkumandang, Candra memutuskan untuk sholat, kembali keruangannya sendiri. Candra sengaja menyiapkan satu ruangan khusus untuk beristirahat disamping ruang kerjanya, tidak jarang Candra juga menyiapkan pakaian bersih.
Setelah mandi dan sholat subuh, Candra memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya yang terasa lelah.
Sinta menghampiri meja kerjanya, semua pekerjaan yang dia tinggalkan semalam telah rapi. Sinta menekan salah satu tombol di telfon yang ada dihadapannya.
"Iya buk...", terdengar suara perempuan dari ujung lain telfon.
"Ada yang masuk keruangan saya pagi ini...?", Sinta bertanya langsung keintinya.
"Maaf buk, menurut laporan satpam. Pak Candra lembur semalam buk", perempuan itu menjawab pertanyaan Sinta dengan yakin.
"Dimana pak Candra sekarang...?", Sinta kembali bertanya.
"Ada di ruangannya buk", perempuan di ujung lain telfon menjawab pelan.
"Oke, terimakasih", Sinta menjawab pelan, sebelum mengakhiri hubungan telfon.
Sinta melangkah perlahan menuju ruang kerja Candra. Saat pintu dibuka, Sinta dihadapkan dengan pemandangan Candra yang terlelap tidur diatas sofa ruang kerjanya.
"MasyAllah dek, kenapa malah tidur disini...? Kan ada kasur di ruangan istirahat kamu dek", Sinta bergumam pelan, takut mengganggu istirahat Candra.
***
Nadhira mengetuk pintu kamar Erfly menginap, saat pintu dibuka. Nadhira bisa melihat Erfly sudah siap dengan kopernya.
"Ada apa teh...?", Erfly bertanya bingung, karena melihat wajah Nadhira yang pucat pasi.
Nadhira menuntun Erfly agar kembali masuk, kemudian duduk diatas tempat tidur. Erfly tidak melepaskan tatapannya dari wajah Nadhira menagih jawaban.
"Nadhira ikut pulang ke Garut", Nadhira bicara lirih.
"G'ak usah, teteh di sini saja. Selesaikan urusan teteh disini terlebih dahulu", Erfly menjawab santai, Erfly sudah jauh lebih tenang dibandingkan beberapa jam sebelumnya.
"G'ak bisa, Nadhira harus ikut pulang", Nadhira protes.
"Ada apa...?", Erfly kembali bertanya bingung, sepertinya ada yang ditutup-tutupi oleh Nadhira darinya.
"Kafe di serang, bahkan Alfa mengalami luka, sekarang sedang dirawat karena tidak sadarkan diri", Nadhira bicara dengan nada paling rendah.
"Kok bisa...? Sama siapa...?", Erfly bertanya panik.
"Pak Edy sudah mengkonfirmasi, itu lawan bisnis kita proyek Malaysia. Mereka tidak terima kita tidak Acc proposal mereka", Nadhira menjelaskan kata per kata.
"Kita sudah sepakat soal ini, mereka tidak memenuhi standar. Kita batalkan kontrak kerjasamanya. Terus masalahnya dimana...?", Erfly kembali menagih jawaban.
"Teteh juga tidak tahu. Pak Edy juga bilang, sepertinya ada anak buah tua bangka itu yang mengikuti kita. Pak Edy minta kita berhati-hati", Nadhira kembali mengingatkan Erfly, agar Erfly menghidupkan tombol waspadanya.