Erfly diam sejenak sebelum melanjutkan ucapannya. "Maunya teteh bagaimana...?", Erfly bertanya ringan.
Nadhira menggenggam jemari tangan Erfly. "Kita berangkat malam, kembali ke Garut. Teteh bisa minta tolong bantuan teman teteh yang di Padang, kita kembali pakai helikopter saja biar aman", Nadhira menawarkan solusi.
"Malam...?", Erfly bertanya sanksi.
"Dia masih di Jakarta. Baru ba'da magrib dia bisa sampai disini. Teteh sudah tanya Cakya, katanya ada lapangan sepak bola dekat sini. Nanti kita kesana diantar supir dan Cakya", Nadhira menjelaskan panjang lebar.
Erfly tidak punya pilihan lain, dia hanya mengangguk pelan sebagai tanda setuju.
HP Nadhira berteriak minta diangkat. "Yah...", Nadhira diam sejenak sebelum menutup hubungan telfon.
"Apa lagi kali ini...?", Erfly bertanya bingung, menatap kearah Nadhira penuh tanya.
"Teteh harus turun. Pak supir nabrak anak kambing yang melintas", Nadhira bicara ragu-ragu, dia takut Erfly akan murka mendengar ucapannya.
"Ada-ada aja. Lagian ngapain juga pakai acara turun segala", Erfly mulai terpancing emosi.
"Teteh minta dibeliin oleh-oleh. Kata penjaga vila yang jual Dodol Kentang di Lubuk Nagodang, disana katanya juga ada sirup Kayu Manis, bubuk Jahe merah, teh Kajoe Aroe, kopi, pokoknya oleh-oleh khas Kerinci. Makanya pak supir turun...", Nadhira menjelaskan perlahan, agar Erfly tidak makin emosi.
"Ya sudah kita turun sekarang", Erfly bicara diluar dugaan Nadhira.
"G'ak usah. Ilen disini saja. Biar teteh saja yang turun. Teteh minta diantar OB atau pak satpam saja pakai motor, jadi bisa lebih cepat", Nadhira segera memberikan alasan yang masuk akal.
"Teteh hati-hati", Erfly memberi nasehat sebelum Nadhira menghilang dari balik pintu.
Selang beberapa menit kemudian Erfly merasa bosan, Erfly memutuskan untuk duduk diteras menikmati pemandangan. Cakya muncul entah dari mana, yang jelas saat ini Cakya sudah duduk dibangku kosong disamping Erfly.
"Kamu cari teh Nadhira...?", Erfly bertanya basa-basi.
"Tadinya iya", Cakya menjawab asal.
"Maksudnya...?", Erfly mengerutkan kening karena tidak mengerti dengan ucapan Cakya.
"Nadhira katanya ke Lubuk Nagodang. Terlanjur sudah disini, Cakya boleh duduk disini sambil menunggu Nadhira...?", Cakya bertanya sopan. Bibirnya melengkungkan senyuman hangat.
"Astagfirullah...", Erfly mengalihkan tatapannya kearah lain, menghapus kasar air matanya yang keluar tanpa permisi.
"Cakya g'ak ganggu Ilenkan...? Kalau ganggu, Cakya pergi saja", Cakya kembali bicara lembut.
"G'ak apa-apa", Erfly bicara pelan, dia merasa tidak enak harus mengusir Cakya pergi.
"Nadhira... Sudah cerita banyak soal Ilen. Kalau dari cerita yang Cakya dengar, Ilen dekat banget sama Nadhira. Bahkan... Kata Nadhira, Ilen sudah seperti adiknya sendiri. Apa benar begitu...?", Cakya memulai topik pembicaraan ringan, agar lebih dekat dengan Erfly.
"Hem... Selain ko Alfa dan keluarganya, hanya teh Nadhira yang Ilen punya saat ini", Erfly bicara lirih, matanya nanar menahan tangis.
"Cakya turut berduka atas meninggalnya orang tua Ilen. Yang kuat ya", Cakya bicara lirih.
"Terima kasih", Erfly menjawab pelan, tidak berniat untuk menanggapi ucapan Cakya lebih lanjut.
"Em... Nadhira... Sudah punya pacar atau tunangan...? Calon suami mungkin...?", Cakya bertanya pelan, menatap lurus kearah Erfly yang berada disampingnya.
"Kok nanya ke Ilen...?!", Erfly bertanya bingung.
"Cakya... Takut salah", Cakya bicara jujur.
"Maksudnya...?", Erfly bertanya bingung.
"Cakya... Punya niat mau serius sama Nadhira. Makanya Cakya tanya, karena Ilen yang paling dekat sama Nadhira, pastinya Ilen tahu Nadhira lagi dekat sama siapa saat ini", Cakya menjelaskan panjang lebar.
"Terakhir teh Nadhira pacaran beberapa tahun yang lalu, mereka bahkan sudah tunangan. Tapi... Cowoknya malah selingkuh. Dan... Sejak saat itu, Ilen g'ak pernah dengar teh Nadhira dekat sama siapa-siapa", Erfly menjelaskan apa yang dia ingat.
Cakya tersenyum tipis, "Cakya boleh minta tolong...?", Cakya bertanya penuh harap.
"Hem...", Erfly menggumam pelan.
"Tolong yakinin Nadhira untuk nerima perasaan Cakya", Cakya bicara pelan, tatapannya lurus menatap ke wajah Erfly.
"Kenapa harus Nadhira...?", Erfly bertanya dengan suara tercekat, hatinya serasa diremas, lukanya yang mulai mengering kembali berdarah.
Cakya meraih jemari tangan Erfly lembut, "Karena hanya Ilen yang bisa bantu Cakya saat ini. Ilen yang paling dekat dengan Nadhira. Please... Bantu Cakya", Cakya memohon belas kasihan Erfly, matanya penuh harap agar Erfly mau membantunya.
Erfly tidak menjawab, air matanya mengalir deras melewati bola matanya. Cakya mengerutkan keningnya tidak mengerti, mengapa Erfly tiba-tiba menangis.
"Ilen kenapa...? Cakya salah ngomong...? Cakya minta maaf...", Cakya menutupi pipi Erfly dengan kedua telapak tangannya yang panjang, menghapus lembut air mata Erfly dengan kedua jempol tangannya.
Erfly meraih jemari tangan kanan Cakya dengan kedua jemari tangannya, kemudian menempelkannya tepat antara hidung dan keningnya, menutup matanya, kemudian menghirup dalam aroma tangan Cakya yang dia rindukan.
Cakya meletakkan telapak tangan kirinya diatas pucuk kepala Erfly. Tangis Erfly kembali pecah, tubuhnya bergetar hebat karena menahan tangisnya.
"Len... Kamu g'ak apa-apa...?", Cakya bertanya lembut.
Erfly segera melepaskan kedua jemari tangannya dari jemari tangan kanan Cakya, kemudian menghapus kasar jejak air matanya.
"Astagfirullah...", Erfly bicara lirih, kemudian menarik nafas panjang untuk menenangkan dirinya.
"Ilen g'ak apa-apa...?", Cakya kembali bertanya lembut.
Erfly menggoyangkan telapak tangan kanannya keudara, "Ilen baik-baik saja", Erfly bicara pelan.
Suara azan berkumandang dari kejauhan.
"Alhamdulillah... Udah Zuhur", Cakya bicara pelan, mengalihkan topik pembicaraan. "Ilen mau makan disini biar Cakya beliin ke bawah...? Atau... Ilen mau ikut Cakya sekalian turun...? Tapi... Cakya mau mampir dulu ke mushala Villa sholat zuhur", Cakya menawarkan.
"Teh Nadhira...?", Erfly bertanya bingung.
"Katanya dia masih lama. Makanya minta tolong Cakya beliin makan siang buat Ilen", Cakya bicara pelan, kemudian melemparkan senyum lembut.
"Sebenarnya Ilen mau ikut, tapi... Takutnya ntar malah ngerepotin", Erfly merasa tidak enak.
"Ngerepotin apaan. Ayo turun, dari pada dikamar mulu, sayang sudah nyampe disini g'ak jalan-jalan", Cakya kembali menimpali.
"Em... Jauh g'ak...?", Erfly kembali bertanya.
"Cakya bawa mobil, tapi... Di parkiran. Katanya ada kafe baru buka di bawah", Cakya bicara pelan.
Erfly meraih kruk yang ada disampingnya. Cakya spontan membantu Erfly mengunci pintu kamar. Cakya telaten membantu Erfly menuruni anak tangga. Tepat didepan mushala, Cakya mengantar Erfly sampai kedepan tempat berwudhu wanita. Beruntung ada pegawai Villa yang mau ganti pakaian seragam, sehingga Cakya meminta bantuan secara diam-diam agar mengawasi Erfly sampai masuk kedalam mushala.
Cakya sengaja menunggu Erfly agar bisa sholat berjamaah. Setelah selesai sholat, Cakya melangkah bersama Erfly menuju parkiran. Erfly duduk di bangku penumpang disamping supir. Cakya mengambil alih kruk Erfly setelah Erfly masuk kedalam mobil, kemudian meletakkan dibangku penumpang dibelakang supir. Cakya kemudian duduk dibelakang setir, setelah berdo'a di dalam hati, mobil Cakya merangkak perlahan.
"Ilen sendiri, kenapa tidak membawa pacar kesini...? Sekalian liburan", Cakya membuka topik pembicaraan, agar tidak terasa kaku.
"Pacar dari Thailand", Erfly tertawa renyah.
"Lha... Kok dari Thailand...?", Cakya bertanya bingung, melirik Erfly dengan ekor matanya.
"Siapa yang mau sama orang cacat seperti Ilen", Erfly tersenyum pahit, kemudian tertawa kecil menertawakan dirinya sendiri.
"Jangan ngomong begitu, Ilen cantik, baik, pengusaha sukses. Siapa yang berani menolak Ilen. Masa belum punya pacar, g'ak percaya Cakya", Cakya tertawa renyah, akan tetapi seolah menantang Erfly untuk bicara jujur.
"Waktu SMA Ilen pernah dekat sama satu cowok", Erfly bicara jujur, berusaha keras agar tidak menangis didepan Cakya.
"Nah... Itu apa...? Seru nih, boleh diceritain...?", Cakya menunjukkan antusiasnya mendengarkan kelanjutan cerita Erfly.
"Ilen siswa pindahan, dan... Awal masuk sekolah baru, malah ketemu cowok super aneh", Erfly tersenyum lembut mengingat pertemuannya pertama kali dengan Cakya.
"Aneh...?", Cakya kembali memancing Erfly untuk bercerita lebih lanjut dengan pertanyaan selanjutnya.
"Cowok kaku kayak kanebo kering, dingin, cuek, nyebelin, resek, malah temenan sama gitar bukannya manusia", Erfly bicara dengan suara penekanan, mendeskripsikan sikap Cakya yang g'ak banget.
Cakya tersenyum lembut, "Terus... Udah tahu resek plus nyebelin, kok malah bisa dekat sama dia...?", Cakya kembali bertanya.
"G'ak sengaja kita ketemu di Gunung Tujuh. Ilen nyasar karena ketiduran diangkot", Erfly tersenyum lembut sebelum melanjutkan ucapannya. "Dan... Saat Ilen terkilir di Gunung waktu itu, dia yang nolongin Ilen. Kita g'ak banyak ngobrol, tapi... Entah kenapa kita bisa langsung deket begitu saja", Erfly bicara lirih. Matanya kembali berkaca-kaca menahan tangis.
"Ilen udah pernah ke Gunung Tujuh rupanya", Cakya mengalihkan konsentrasi Erfly.
"Dulu, 2 atau 3 tahun yang lalu", Erfly tersenyum lembut.
"Terus... Kalau sudah segitu deketnya. Kok bisa Ilen pisah sama itu cowok...?", Cakya kembali bertanya.
"Dia salah paham, dasar kepala batu g'ak pernah mau mendengarkan penjelasan, terus nekat pulang saat hujan, dan... Kita mengalami kecelakaan. Ilen dipaksa pindah ke Garut sama orang tua. Dan... Kita putus komunikasi begitu saja", Erfly bicara pelan dengan suara tercekat menahan tangis.