webnovel

Prolog

"Lunaaaaa!"

Cah wedok kok jam sakyamene hurung tangi?" (anak perempuan kok jam segini belum bangun?") teriakan sang nenek selayaknya jam weker yang setia menjadi sarapan untuk telinga Alluna kembali bersenandung pagi ini.

"Iya Ti, udah bangun dari tadi kok, tapi lagi ngumpulin nyawa, gak ngumpul2 ini," balas Alluna lemah dengan wajah yang masih enggan beranjak dari balik selimut tebal nan hangat kesayangannya.

"Lekas mandi, subuh nya keburu dipatok ayam," sahut Uti lagi yang saat ini sudah terlihat mengintip diambang pintu kamar gadis remaja itu.

Dengan segenap jiwa raga, Alluna bangkit melaksanakan setiap titah kanjeng ratu di rumah tersebut yang tak terbantahkan oleh siapapun penghuni yang ada disana.

Satu jam setelah adegan drama bangun pagi itupun, kini Aluna telah berada di meja makan berkumpul, dengan Akung, dan dua pamannya yang masih betah menjadi perjaka.

"Pulang sekolah jangan keluyuran ya Na, langsung pulang," ujar Akung menyambut kehadiran Aluna disana.

'Belum juga pergi, udah aja diingetin pulang,' batin Aluna, sewot.

"Udah jangan ngelamun. Sarapannya cepat dihabiskan, berangkat bareng om Fajar sekalian aja," sambung Uti lagi.

"Iyaa," balas Aluna datar sembari melahap sarapannya tanpa suara, dan selera.

*****

Hai!

Aku Aluna Sophia Hadinata, anak pertama dari Arsya Hadinata, dan Adriana Djusuf, aku memiliki seorang adik lelaki yang masih berusia balita, Arsenio Hadinata. Ayahku telah meninggal beberapa bulan yang lalu, karena sebuah kecelakaan lalu lintas, hingga saat ini aku terpaksa tinggal dengan keluarga ayahku, karena ibuku harus bekerja di luar kota untuk menyambung hidup kami, memenuhi kebutuhanku dan adikku selanjutnya.

Bila saat ini ada yang menanyakan perasaan ku, aku akan dengan senang hati mengungkapkan bahwa aku sedih, harus terpisah dengan ibu dan saudara kandungku satu-satunya, aku merasa sendiri, dan aku merasa ibuku tak menyayangiku lagi. (hiks ... hiks )

***

Siang itu udara terasa sejuk, angin yang berhembus masih menyisakan dingin setelah hujan deras beberapa menit yang lalu, dan kini menemani perjalanan pulang seorang gadis remaja berusia 15 tahun, bersama teman-teman sebayanya yang sedang tertawa riang tanpa menghiraukan rintikan kecil hujan yang masih membersamai langkah kecil mereka.

"Lun! Kamu jadi pindah ke kampung Nini kamu itu? " tanya Andre, membuka cerita.

"Hmm ... sepertinya begitu, aku pengen ganti suasana," jawab Luna masih dengan mengunyah potongan buah dari rujak yang tadi dibelinya di van Mang Jenggot, tukang rujak langganan Luna, dan teman-temannya yang setia mangkal di sekitaran area sekolah mereka.

"Lah, nanti kita kangen gimana?" sambung Sandi yang kini merangkul bahu Luna.

"Haiss ... kan bisa telponan, kirim surat kalau gak punya pulsa," balas Luna lagi.

"Ya elah Lun, kalau kamu pergi, aku sendirian dong gulung kabel kalau kita nge-jam," sungut Dania kali ini dengan wajah yang dibuat sedih.

"Iya Lun, udah mending kamu disini aja, kita lanjutin sekolah di tempat yang sama lagi, biar band kita tetap bertahan jaya menuju kesuksesan," kali ini Sandi kembali berujar dengan semangat yang berapi-api.

"Iya kali kita bisa ngalahin Peterpan kalau gitaris nya kayak Reno, vokalisnya macam Andre, terus bassnya modelan kayak kamu San?" runtuk Dania sengit kali ini yang disambut tawa oleh mereka.

"Keputusan aku, udah gak bisa diganggu gugat! Telah mutlak, dan tak bisa lagi di provokasi," balas Luna tegas, dengan tatapan lurus ke depan seolah tengah menerawang masa depan yang lebih baik di tempat baru yang akan ia tuju itu.

"Sesekali aku masih bisa kok main kesini, kan rumah uti ku masih dikota ini juga, aku bakal sesekali kunjungan kan, jadi kalian gak usah takut merindukan aku terlalu lama, karena aku pasti pulang," imbuh Luna, memberikan harapan.

"Kami akan selalu menunggu mu," balas Dania sembari memeluk Luna dengan sayang.

Jujur didalam hatinya, Luna tak begitu ingin kembali ke kota ini, ada banyak kenangannya, dan sang ayah yang seringkali membuatnya menangis diam-diam, ditambah lagi perlakuan keluarga sang ayah yang seringkali mengabaikan perasaannya yang masih sangat sensitif, membuatnya sangat ingin menjauh.

Tanpa terasa perjalanan yang ditemani dengan rintik hujan kecil, dan tawa riang segerombolan anak sekolah menengah pertama itu telah mengantarkan Luna tiba di depan pagar rumah berwarna putih tulang itu, sebuah rumah yang sejujurnya sangat ingin Luna hindari beberapa bulan terakhir ini. Karena suasananya yang benar-benar sudah semakin tak bersahabat akhir-akhir ini.

"Assalamu'alaikum," seru Luna, sembari membuka sepatu dan meletakannya di rak sepatu dekat garasi, maklum saja bila hal tersebut terlalaikan, maka suara sang eyang putrinya itu akan menggelegar sepanjang hari ditelinganya.

"Wa'alaikum salam, udah pulang Lun?" jawab Wak Iyah, asisten rumah tangga yang bertugas menyuci dan menyetrika pakaian di rumah ini, kecuali milik Luna yang selalu ia kerjakan sendiri, dengan dalih agar lebih mandiri.

"Hehe ... Alhamdulillah udah wak," balas Luna. "Uti kemana wak ? Mobil sama wak Dayat gak ada didepan?" tanya Aluna lagi.

"Oh, ada acara khitanan cucunya cik Hanum, eyang uti sama akung kesana," balas wak Iyah, tanpa mengalihkan pandangannya dari pakaian yang sedang ia setrika. "Lun ... pesan Uti, setelah makan, kamu disuruh bersihin kolam belakang," lanjut nya lagi, kali ini dengan tatapan iba ke arah luna.

"Hmm ... iya wak," balas Luna singkat, dan berlalu menuju kamar kecilnya.

Kali ini, sekali lagi Luna menangis tanpa suara, ia merindukan ibunya yang sudah dua bulan ini tidak mengunjunginya, karena sibuk mengurusi usahanya yang tengah mengalami kesulitan, berulang kali iya memanggil ayahnya dengan suara lirih, berharap sebuah keajaiban datang dan mengantarkan sang ayah untuk memeluknya saat ini, dan sesekali dalam isaknya dia mengeluh, protes kepada sang pencipta atas takdir yang dituliskan untuknya, masih adakah harapan untuknya berbahagia? ataukah lebih baik dia menyerah sekarang saja ? Namun, semuanya semakin terasa menyesakkan di dadanya, membuat airmatanya semakin luruh tak lagi dapat di bendung membanjiri wajah manisnya.

Hingga akhirnya satu jam kemudian setelah Alluna puas menumpahkan rasa hatinya yang resah tersebut, Luna keluar dari kamarnya yang kecil, berjalan lemah ke arah kolam ikan milik keluarganya yang berada di area belakang rumah, matanya masih sembab hasil dari tangisan diam-diamnya beberapa waktu yang lalu. Namun, hal tersebut tak akan menjadi masalah, dan kekhawatiran siapapun dirumah sepi itu, karena semua orang kini tengah sibuk dengan kegiatan diluar rumah. Hanya wak Iyah yang diam- diam dari kaca pembatas memperhatikan gadis kecil malang itu, dengan mata yang kini juga basah dengan kumpulan air mata.

"Yang sabar ya Lun, semoga Allah kelak memberi kebahagian buat mu, aamiin," gumam wak Iyah lirih, sembari berlalu melanjutkan pekerjaannya sebelum sang majikan kembali.

Ya begitulah Luna, di luar ia akan menjadi gadis periang, ramah, dan menyenangkan bagi teman-temannya, terlihat sangat tenang, tidak sekalipun Aluna pernah berkeluh kesah tentang masalahnya, ia selalu menyimpannya dengan rapat dan tampilan ceria, tanpa ada yang mengerti betapa ia merindukan sebuah pelukan hangat yang menenangkan dan meyakinkannya bahwa semua ini akan baik-baik saja setelah ayahnya pergi dari hidupnya, selamanya.