webnovel

Sebuah Akhir yang Menjadi Awal

Seorang gadis manis berkulit kuning langsat berambut panjang lengkap dengan poni selamat datang terlihat duduk sendiri, kepalanya menengadah memandang langit nan cerah, dihiasi kumpulan awan putih, menambah keindahan ciptaan sang pelukis alam terbaik.

Pandangan berembun matanya, tak selaras dengan indahnya pemandangan sang lazuardi kali ini, kelopak matanya yang kini mulai tak sanggup menampung gejolak riak-riak gelombang airmata itu mulai menumpahkan isinya. Dalam pikirannya, indah itu adalah sebuah kenyataan yang jauh, dan sulit untuk ia gapai, seperti jarak antara dirinya saat ini dengan apa yang ia lihat nun jauh disana.

Ingin rasanya ia pergi ke atas sana, ke tempat yang siang ini terpampang sangat indah. Namun, hanya mampu ia pandangi. Seandainya saja ia diperkenankan untuk mengulang kembali memilih ingin menjadi apa saat harus keluar dari syurga, rasanya tak terlalu buruk bila harus menjadi langit, sebab seburuk apa tampilannya, segelap apa warnanya, langit tetap dijunjung karena ada diatas sana, tak kan terhina walau kadang warna dan air yang tumpah serupa hujan itu sungguh mencekam, langit tak pernah benar-benar jatuh. Tak seperti dirinya yang nelangsa kini.

"Woi!" Suara Sandi mengejutkan Luna yang masih menghayati lamunannya.

"Bengong aja, nanti kesambet loh," lanjutnya lagi.

"Tahu ni, kita pada asyik foto-foto, dia malah nangkring disini?" ujar Reno menimpali.

Luna hanya membalas protes teman-temannya itu dengan senyuman tipis tanpa semangat sembari kini menundukkan kepalanya, tak ingin teman-temannya melihat bekas air mata dan matanya yang pasti memerah karna peghayatan takdir hidupnya beberapa waktu yang lalu.

"Kamu nangis Lun?" celetuk Dania yang mengambil posisi duduk disamping Luna, sembari membelai surai lembut sahabatnya itu.

"Jangan sedih Lun, kan kamu sendiri yang bilang semua bakal baik-baik aja, kita masih bisa bersahabat walau jarak membentang," ujar Andre menimpali, dan kini ikut duduk disamping Luna.

"Gue gak apa-apa kok, hanya sedang menikmati pemandangan tempat ini untuk terakhir kali, karena setelah ini, kita belum tahu kapan bakal bisa ngumpul di tempat ini lagi kan?" kilah Luna yang kali ini telah mampu mengangkat wajahnya, memandang satu persatu wajah sahabat-sahabatnya yang absurd itu.

"Hmm ... udah gak usah mellow-mellow, ini hari kelulusan kita. Mending sekarang kita gabung sama yang lain yook, mereka pada foto-foto dikelas tuh," potong Andre kali ini, sambil menarik lengan Luna agar mengikutinya, diikuti ke-tiga sahabatnya yang lain.

Dengan malas Luna mengikuti langkah panjang Andre menuju kelas yang terlihat begitu hingar bingar, tingkah alay didepan kamera untuk menunjukkan euforia kelulusan membuat Luna tidak nyaman, suasana hatinya sedang tak mampu mendukung ekspresi wajahnya untuk terlihat bersuka ria, seperti teman-temannya tersebut.

"Aluuunaaa!" panggil Sabrina, dari sudut lapangan sembari berlari kecil menghampiri luna

yang hampir memasuki kelasnya

"Hosh ... hooosh ...," deru nafas Sabrina berpacu dan terdengar sangat jelas, saat kini tubuh gempalnya berada tepat dihadapan Luna.

"Hehe ... kenapa harus lari sih?" ujar Luna sembari menepuk-nepuk pelan punggung Sabrina yang seperti kehabisan nafasnya itu.

"See ... ka ... liii ... an olaaahh ragaa, siiapaa taahu daa ... rii sa ... na kesinii, bisa turun 5 kilogram aku woii," balas Sabrina putus-putus, masih dengan nafas yang tersengal.

Sabrina adalah salah satu sahabat Luna yang berbeda kelas dengan Luna, sebelum ada rotasi yang mengharuskan Luna masuk di kelas unggulan, Sabrina adalah teman sebangkunya, sekaligus teman pertama yang Luna temui di sekolah ini.

"Aku pikir kamu udah pulang, aku juga udah keliling sekolah nyariin kamu, eh pas mau jalan keluar pagar, aku malah lihat kamu digandeng Andre," terang Sabrina.

"Jangan bilang kamu jadian sama Andre di detik-detik terakhir yaa?" ujar Sabrina lagi penuh curiga. Tatapan matanya kini bhakan terlihat seperti tengan memindai asmara yang mungkin saja ada di balik manik sahabatnya itu.

"Apaan sih, ya kagak lah " jawab Luna tegas. "Tadi itu aku habis dari DPR (Dibawah Pohon Rindang) samping dinding musholla, mereka ketemu aku disana, terus ngajak balik ke kelas, foto-foto," jelas Luna lagi, tak ingin sahabtanya salah paham, dan berpikir yang tidak-tidak.

"Ooo...kirain " balas Sabrina masih dengan senyum penuh arti. "Iya in aja juga kagak masalah kali Lun, kamu mah jadi cewek kagak ada pe-ka nya, kagak bisa lihat apa Andre itu ada rasa-rasa gimana gitu, pandangan matanya yang seolah-olah itu, apa kamu gak ngerasa sesuatu gitu," lanjut Sabrina masih dengan keyakinannya.

"Haiiss ... udah akh, kalau gak penting aku masuk kelas sekarang aja, males bahas beginian, berasa di dongengin akunya sama kamu," sahut Luna kesal.

Luna bukannya tidak tahu bagaimana perasaan Andre padanya, sejak mereka disatukan dalam kelas unggulan karena rotasi setahun yang lalu itu, Andre menjadi salah satu teman terdekatnya karena perhatian dan pengertian yang selalu Andre berikan pada Luna, tidak jarang Andre menggantikan tugas piket Luna, agar Luna tak kelelahan, atau sekedar terkena debu, ditambah lagi penghiburan yang Andre lakukan saat ayah Luna kecelakaan sepuluh bulan yang lalu, Andre bahkan datang kerumahnya untuk sekedar tahlilan dimalam hari, padahal yang Luna tahu, jarak antara rumahnya dengan Andre terbilang jauh.

Sesungguhnya, bila kecelakaan itu tidak terjadi, mungkin saat ini Luna dan Andre sudah menjalani kisah cinta monyet mereka di bangku SMP, namun sekali lagi sayangnya, sejak ayahnya meninggal dunia, Luna memilih untuk menutup diri, dan masih berkabung hingga kini.

"Ih, ngambekan?" ujar Sabrina sembari mengambil tempat duduk disamping Luna, mengangsurkan sebuah kotak berwarna jingga. "Ini kenang-kenangan dari aku, besok aku juga bakal berangkat ke Malaysia, ikut nyokap sama bokap tiri aku. Kamu juga jadi pindah kan?" tanya Sabrina lagi, kali ini tatapannya sendu, Sabrina sebenarnya tahu alasan sahabatnya yang satu ini ingin pindah dari rumah keluarga ayah nya itu meski Aluna tidak pernah menceritakannya secara utuh.

Pernah sekali saat Sabrina ingin mengunjungi sahabatnya itu, Samar-samar terdengar sang nenek sedang memerintahnya dengan suara beroktaf tinggi, yang mampu membuat Sabrina lantas mengurungkan niatnya untuk singgah kesana. Namun, hal tersebut urung disampaikan Sabrina kepada Luna, Sabrina masih berharap Luna sendiri lah yang akan menceritakannya tanpa ia minta.

"Hmm ... tapi sampai sekarang mama belum memutuskan apakah aku bisa ikut tinggal dengannya, atau aku masih harus dititipkan lagi di rumah nini dikampung?" Luna berbicara tanpa menatap Sabrina, matanya kini mulai memerah lagi, menahan butiran airmata yang akhir-akhir ini sering datang tanpa permisi, tanpa tahu tempat.

Sabrina tak mampu membalas ucapan Luna, ia tahu Luna dalam suasana hati yang sedang tak baik, perlahan ia mengangsurkan tangannya ke balik punggung Luna, membelai lembut punggung gadis bermanik cokelat terang itu mencoba menenangkan.

"Aku rasa aku tetap akan keluar dari rumah uti, sepertinya rumah nini tak buruk untuk jadi tempat berteduhku selanjutnya, bila mama masih tak mengizinkannya aku tinggal dekat dengannya," senyum miris terpampang diwajah manis Luna kali ini.

"Apapun keputusan kamu, aku dukung Lun, tapi kamu janji ya, kita bakal tetap jaga komunikasi, kirimin aku kabar kamu selalu," Sabrina kini memeluk Luna dari samping yang dibalas anggukan Luna.

"Mau dong dipeluk," suara Andre dari belakang tempat mereka berpelukan menginterupsi. "Apa itu, cakep banget bungkusnya?" Andre menggapai kotak jingga yang Luna pegang.

"Ish, jangan kepo deh, ini kenang-kenangan buat Luna," Sabrina mencekal tangan Andre yang ingin meraih hadiah pemberiannya itu.

"Pelit lu Sab," sungut Andre yang kini berjalan mendekat ke sisi Luna lainnya, ikut bergabung dengan kedua wanita itu.

Sabrina hanya membalas Andre dengan juluran lidah. "Aakh, udah lah aku pamit ya, mau ngumpul sama anak-anak dikelas lainnya, nanti berkabar ya Lun," Sabrina pamit, sembari mengecup pipi luna dengan tiba-tiba, yang membuat si empunya terbelalak dan kehilangan kata. "Jaga diri kamu baik-baik Lun," lanjutnya lagi sebelum benar-benar beranjak pergi sambil melambaikan tangan dan berlari.

"Na, sabrinaaa! Kecupan buat aku mana?" teriak Andre menggoda wanita bertubuh gempal itu, membuat Sabrina yang mendengarnya membalikkan badan, dan menunjukkan kepalan tangannya ke arah Andre, lantas kembali berlari menuju kelasnya di sudut lapangan basket itu.

Luna ikut tersenyum melihat kelakuan dua orang sahabatnya yang seperti Tom, and Jerry itu.

"Lun," panggil Andre sembari mengangsurkan sebuah kotak kecil berwarna biru. "Aku menunggumu kembali ke kota ini," ujarnya lagi sebelum Luna mengutarakan pertanyaan dan lepas dari keterkejutannya.