webnovel

Bree: The Jewel of The Heal

Brianna Sincerity Reinhart, putri seorang Duke yang mengepalai Provinsi Heal di Negeri Savior. Suatu hari, Bree menyelamatkan seorang wanita yang berasal dari negeri Siheyuan, sebuah negeri yang merupakan negara sahabat kerajaan Savior. Bree membawa wanita tersebut ke kediaman keluarga Reinhart dan malangnya wanita itu mengalami amnesia dan hanya mengingat kalau dia biasa dipanggil Han-Han. Ternyata wanita tersebut memiliki kemampuan pengobatan tradisional yang sangat mumpuni, sehingga Duke Reinhart memintanya untuk menjadi tabib muda di Kastil Heal. Sejak kehadiran Han-Han Bree mulai semangat menekuni dunia obat-obatan dan menjadi lebih terarah. Bree menjadi rajin untuk memperbaiki diri karena ingin mendapatkan keanggunan seperti Han-Han. Di saat Kaisar Abraham, pimpinan negara Savior, mengadakan kerjasama dengan Siheyuan, mereka menerima delegasi yang dikirimkan. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuan Muda Lacey, seorang jenderal perang yang masih muda, tampan, tangguh namun minim ekspresi. Bree langsung menyukai pria tersebut saat pertama kali mencuri pandang pada Tuan Muda Lacey tersebut. Bree yang mempunyai perangai terbuka dengan terang-terangan menunjukkan ketertarikannya pada Yue Lacey namun penolakan adalah yang menjadi santapannya. Puncaknya adalah saat Yue Lacey bertemu si anggun dan cerdas Han-Han. Tuan Muda tersebut tidak menutupi ketertarikannya dan itu membuat Bree sangat tersakiti. Haruskah Bree mengalah demi Han-Han yang menjadi sumber inspirasinya? Haruskah dia melepaskan pria idamannya, Yue Lacey? Kisah berawal di provinsi Heal. Apakah nama provinsi ini akan sesuai dengan pengharapannya, penyembuh. Ini kisah lika-liku Bree dalam mencari peraduan cintanya. Kisah ini bukan hanya mengajarkan mengenai mengejar dan mempertahankan cinta karena tingkat tertinggi dalam mencintai adalah mengikhlaskan. Siapakah yang akan mengikhlaskan, Bree atau Han-Han?

Pena_Bulat · Sejarah
Peringkat tidak cukup
48 Chs

My Leon

"Erghh." Sayup terdengar suara erangan.

Aku mengikuti arah suara erangan tersebut. Aku yakin itu pasti suara Leon. Azlan berjalan di sampingku.

"Pertempuran tadi terfokus di sana." Aku menunjuk area tengah gua. "Itu artinya posisi Leon seharusnya berada tepat di depan kita."

Tebakanku seperti mendekati benar, karena semakin langkah kami maju, semakin jelas suara erangan terdengar. Aku semakin bersemangat untuk segera menemukan Leon.

Temaram cahaya obor sedikit menyulitkan pencarian kami.

Dukk!

Kakiku tiba-tiba tersandung sesuatu yang keras. Aku berjongkok dan menyelidiki apa yang mengenai kakiku tadi. Sepasang sepatu boot ternyata.

"Leon!" Aku berteriak antara histeris dan lega. Apa yang menyandung kakiku tadi adalah sepatu boot yang dikenakan Leon.

Erangan halus terus keluar dari sela-sela bibir keringnya. Azlan membantu membawa tubuh Leon ke tempat yang lebih terang. Aku mengekor di belakang Azlan. Kami menyandarkan tubuh Leon di sebuah batu lumayan besar yang ada di tengah gua yang lumayan terang.

Azlan memotong sebagian panjang tombak yang masih bersarang di tubuh Leon dengan pedang miliknya. Tak berapa lama Leon membuka matanya, seperti biasa menampilkan senyumannya. Tatapan matanya teduh, penuh ketenangan. Khas Leon yang biasanya selalu menenangkanku.

"Br-ee." ucap Leon dengan terbata. Aku lebih mendekat lagi pada Leon.

Leon mengangkat tangannya. Aku meraih tangan Leon ke dalam genggamanku. Air mataku tanpa diminta mulai menerobos keluar, padahal aku sudah bertekad untuk tidak menangis. Tangan lemahnya bergerak menuju wajahku. Dengan susah payah telunjuknya menghapus air mataku.

"Ko-k na-ngis?" tanyanya lemah. Aku hanya membalas dengan gelengan kepala sekedar untuk mengatakan 'aku tidak menangis'.

"I'm fine, Br-ee. Do-n't cr-y!" Ucapan terbata Leon semakin membuatku terisak. Azlan menahan tubuh Leon.

"Kamu bertahan, ya! Kita ke Paviliun Obat sekarang." Aku sebisa mungkin menahan isakan di sela-sela air mataku.

Azlan memeriksa keadaan Leon dan ketika dia hendak mengalirkan tenaga dalam, berharap memudahkan mengeluarkan sisa tombak tersebut, namun Leon justru menahan tangan Azlan.

Leon menatap Azlan sambil menggelengkan kepalanya pelan.

"Sim-pan te-na-gamu. Itu semua tidak perlu." ujarnya dengan terengah sambil tetap tersenyum. Leon yang tetap terlihat tenang justru membuatku semakin mengkhawatirkannya.

"Azlan, kita bawa Leon sekarang!" Aku menatap Azlan dan dia hanya mengangguki ucapanku.

Kami bersiap di sebelah kanan dan kiri Leon. Namun, Leon menahan tanganku dan kembali menggelengkan kepala.

"Ta-k per- hukk...hukk... lu, Br-ee. A-ku le-lah." Ucapan Leon kembali mengundang air mataku.

Melihat keadaan Leon sekarang aku memang tidak yakin. Keadaannya terlalu parah. Tombak yang mengenainya telah melukai organ vitalnya terlalu dalam.

"Az-lan! Ja-ga Br-ee ki-ta!" ujarnya lagi sambil menatap Azlan.

Azlan menggenggam tangan Leon. Tidak ada air mata pada Azlan, tapi aku yakin kalau Azlan berusaha keras untuk itu.

"Jangan khawatir. Dia akan selalu jadi prioritas kita, seperti biasa. Kau lihat sendiri dia sudah semakin dewasa. Tindakannya hari ini cukup cermat. Dia tidak ceroboh seperti biasanya. Iya kan, Bree?"

Aku hanya mencebikkan bibirku mendengar ucapan Azlan. Bisa-bisanya dia masih menyempatkan diri untuk mengejekku di saat seperti ini.

"Be-tapa te-nang-nya. Sa-yang-i, Bree!" ujarnya sambil tersenyum.

"Kau yang paling tau akan hal itu, Leon." ucap Azlan penuh percaya diri dan Leon mengangguk lemah, tetap dengan senyumannya.

"Ma-afkan Le-on, ya."

"Selalu ada maaf untukmu dari kami, Leon. Sekarang kita pulang!" Aku hanya ingin segera membawa Leon ke Paviliun Heal.

"Tha-nks. Bye, pals." ujarnya masih diiringi senyum. Namun bukan hanya itu, ucapan tersebut diiringi dengan matanya yang menutup.

"Leoonnn...!" Aku mengguncang tubuh Leon.

Azlan memeriksa nadi dan hembusan napas Leon. Nihil. Leon memilih pergi.

Aku mendekap tubuh kaku Leon. Air mataku meluruh. Sahabat dan sepupu terdekatku telah pergi.

"Leonnn! Jangan diam saja! Bangunlah! Buka matamu!" Aku terus mengguncang tubuh kaku itu. "Aku sendiri, Leon. Azlan akan ada di Savior. Aku bagaimana, Leon?"

Azlan meraupku ke dalam dekapannya. Aku masih melanjutkan sesegukanku di sana.

"Kau jahat Leon! Begini caramu meminta maaf atas tindakan cerobohmu sebelum ini." Azlan tidak protes saat aku justru memukuli dadanya.

"Kau harus tenang, Bree. Leon sudah pergi. Dan dia bahagia untuk itu. Lihatlah senyumnya!" Aku menatap tubuh kaku Leon.

Itu memang benar. Senyum. Tubuh kaku itu memang menampakkan wajah yang tersenyum.

"Bree mau mendengar suara tawa Leon, Azlan." racauku masih dengan Azlan yang terus berusaha menenangkanku.

"Tawa itu akan selalu kita ingat. Sekarang kita harus mengurus jenazah Leon. Kasihan dia kalau dibiarkan terlalu lama."

"Aku masih mau bersama Leon, Azlan." ujarku penuh pemaksaan. Aku kembali mendekati tubuh kaku Leon.

"Setidaknya kita bawa Leon pulang. Udara semakin dingin, Bree." Azlan berucap dengan sangat lembut. Azlan akan seperti ini saat menghadapiku yang bersikeras.

"Ke tempat Daddy, ya?" pintaku dengan tatapan penuh harap.

"Aku memang tidak berniat membawa Leon ke rumahnya. Kita akan membawanya ke Paviliun Heal." Aku hanya mengangguk lemah menanggapi ucapan Azlan.

Aku kembali menyandarkan kepalaku di bahu kaku Leon. Azlan berjalan ke arah luar gua. Barangkali dia menemui pengawalnya. Entahlah. Aku tak mau ambil pusing.

Aku meresapi aroma tubuh Leon. Leon yang selalu ada bahkan sebelum aku sadar akan dunia ini. Leon yang selalu siaga di mana pun kami berkelana.

Tidak seperti Azlan yang terkadang harus berada di Savior. Leon dan aku hampir selalu menghabiskan waktu bersama. Kami memang sedekat itu, dia sosok kakak bagiku terlebih sejak kami hanya memiliki Mommy sebagai ibu.

Aku menyusuri garis wajah Leon yang tegas dengan telunjukku. Wajahnya yang biasanya putih agak memerah saat terpapar matahari kini sangat pucat dan dingin. Bibir tipisnya yang biasanya semerah ceri, kini mendekati warna blueberi.

Saat sibuk menyusuri wajah Leon, sepasang tangan kekar memberdirikan tubuhku.

"Kita pulang!" Bisik Azlan pelan.

Dua orang pengawal Azlan membopong tubuh Leon. Azlan menuntunku menuju jalan keluar gua.

Benar kata Azlan tadi, udara sangat dingin di luar gua. Pasti para pengawal Azlan sudah sangat kedinginan. Betapa egoisnya tindakanku tadi.

Entah bagaimana Azlan mengaturnya, di sana sudah ada sebuah kereta kuda. Dua pengawal tadi meletakkan jasad Leon ke dalam kereta.

"Bree mau temani Leon." Aku menatap Azlan penuh permohonan.

"Tentu, sweetheart. Naiklah! Leon sudah menunggu di dalam."

Dengan bantuan Azlan aku menaiki kereta kuda. Tubuh Leon disandarkan di dalam kerera kuda. Aku memilih duduk di samping Leon. Kugenggam tangan dinginnya.

"Percepat perjalanan! Kita harus segera tiba di Paviliun Heal." Azlan memerintahkan para pengawalnya.

Azlan duduk di luar kereta kuda. Dia yang menjalankan kereta kuda kami.

"Bree, jaga Leon! Mungkin jalan yang kita lalui akan agak sedikit berguncang.

"Pasti!" jawabku lemah.

Aku memeluk tubuh Leon dari samping. Tubuhnya semakin dingin.

"Segera berangkat sekarang!" Sekali lagi terdengar perintah Azlan.

"Baik, Pangeran!"

Tidak lama kemudian kereta yang kami tumpangi mulai bergerak. Tubuhku berguncang. Tubuh kaku Leon beberapa kali hampir terguling dan aku berusaha sebisa mungkin menahannya agar tidak terguling.

"Woooo..."

Azlan menahan laju kuda yang membawa kereta kuda kami.