"Ingat, jangan macam-macam. Aku akan ke sini besok melihatmu," ujar Zen setelah ia menghentikan mobilnya di depan rumah Weiske.
"Ya, oke. Aku turun-"
"Tunggu!" Zen meraih tangan Daisy ketika Daisy akan keluar. Daisy pun menoleh ke arah Zen dan diam melihat tangannya disentuh Zen.
Lagi-lagi tanpa izin dari Daisy, Zen meraih wajah Daisy dan mencium bibirnya. Kali ini lebih lembut namun dengan penegasan bahwa dirinya milik Zen seorang. "Kamu boleh turun," ujar Zen kemudian. Daisy pun akhirnya turun dari mobil Zen dengan perasaan tak karuan. Ia bahkan menyentuh bibirnya saat akan masuk ke dalam rumahnya.
"Hayo! Ada yang berbunga-bunga!" Suara Weiske membuat Daisy terkejut. Ia lantas menaruh tangannya dan memasang wajah biasa agar tidak terlalu kelihatan.
"Apa sih, Bu? Kok belum tidur?"
"Ibu lihat apa yang kalian lakuin di mobil," bisik Weiske menggoda.
"Ibu!" seru Daisy membelalakkan matanya. Mereka pun tertawa dan menghabiskan waktu dengan beberapa obrolan.
***
Zen melepas jasnya dan menatap balkon dengan nanar. Mendadak ia merasa sedang sedih untuk alasan yang tidak ia ketahui. Kesepian melandanya. Padahal tadi ia baru saja berbicara santai tentang hal kesepian dan kesendirian.
Kini Zen tidak bisa tidur. Hingga akhirnya ia bekerja sekeras mungkin menyelesaikan apa yang perlu ia selesaikan. Namun mendadak pula pikirannya muncuk nama Devan. Kehadirannya membuatnya cukup gila karena takut jika mengalami kejadian yang sama.
Devan... pasti akan melakukan apa pun untuk wanita yang disukanya. Seperti pada Kanya, mantan kekasihnya.
Buru-buru Zen menghilangkan kejadian itu dan juga Devan. Fokus pada pekerjaan yang ia bawa ke apartemen dan setelah itu mencoba tidur tanpa kehadiran Daisy dai apartemennya.
***
Ketukan pintu rumah Daisy membuatnya harus bergerak dari ranjangnya yang berderit itu. Ia sampai menyumpah serapahi Zen dalam hati karena datang lebih awal dan mengganggunya yang sedang bersantai.
Daisy membukanya dengan wajah cuek dan ia terkejut dengan kedatangan seseorang yang tak pernah ia duga.
Devan.
"Pagi, Daisy..." sapa Devan dengan suara ramah.
"Eh... pagi. Kamu-"
"Tahu dari mana alamatmu?" tanya Devan menyambungkan. Daisy mengangguk ragu dan ia merasa sangat mengerikan, membayangkan jika Zen tahu siapa yang berkunjung ke rumahnya.
"Keberatan kalau kamu dan aku keluar sebentar? Mumpung masih pagi?" tanya Devan sebelum menjawab pertanyaannya.
Daisy menimbang-nimbang ajakan Devan. Ia tak melihat Ibunya, artinya aman. Anak buah Zen juga tidak ada, artinya double safe. Tapi Daisy tidak bisa menjamin bahwa ia akan baik-baik saja nanti ketika berhadapan dengan Zen.
"Aman, Daisy... Zen nggak akan memarahimu atau bahkan tahu kita," ucap Devan seolah tahu apa yang Daisy pikirkan.
Akhirnya Daisy menurutinya dan keluar bersama Devan seperti seorang yang mengendap-endap. Daisy ikut mobil Devan dengan perasaan bertanya-tanya. Apa yang ingin Devan lakuin dan mengapa? Hingga mereka berhenti di taman kota dan turun untuk mencari bangku panjang. Tak lupa Devan membeli makanan dan minuman kecil untuk dinikmati saat mengobrol.
"Devan, maaf, aku nggak... bisa lama. Aku takut kalau Zen datang lebih awal nanti. Aku nggak mau ada pertengkaran," ucap Daisy jujur.
"Tenang aja. Ini hanya akan sebentar, kok."
"Ada apa, Devan?"
Devan memperhatikan mimik muka Daisy. Ia sedikit tersenyum simpul dan menghela nafasnya. "Rupanya kamu takut ya dengan Zen," ujar Devan.
Bukannya menjawab, Daisy sibuk menatap Devan serius. Menunggu maksud Devan. "Dan kamu mulai berhati-hati sama aku sekarang. Apa Zen mengatakan bahwa aku ini anak sambung Papanya?"
Hanya diam yang Devan dapatkan Daisy. Ia akhirnya mulai berbicara lebih serius, seperti yang memang Daisy nantikan.
"Daisy... apa kamu tahu bahwa Zen punya seorang... balita?" tanya Devan. Kali ini pertanyaan Devan membuat Daisy terkejut. Ekspresi wajahnya yang diam terlihat sangat syok. Ia hanya menggelengkan kepalanya perlahan.
"Kamu bisa tanya dia langsung. Aku hanya ingin membuatnya jujur. Buat apa kan, suatu hubungan dibangun dengan kebohongan di dalamnya? Dan aku adalah masa lalunya... tapi yah, setiap orang pernah buat kesalahan dan menyadarinya. Jadi, kamu bisa tanya padanya buat menjelaskan. Ini... kartu namaku. Kalau kamu butuh, aku selalu ada," jelas Devan dengan sekali sekali penjelasan yang membuat Daisy tak bertanya lagi. Daisy bahkan hanya menerima kartu nama itu dan tak berbicara apa-apa lagi.
Setelah bertemu dengan Devan, Daisy menata hatinya. Ia baru tahu kebohongan Zen. Bahkan ia tahu dari orang lain, bukan dari mulut Zen sendiri. Sekarang entah apa yang harus ia lakukan. Tapi Daisy merasa bodoh sekali menjadi satu-satunya yang paling tidak mengerti apa-apa.
Menjelang sore, Zen datang dengan pakaian kasual. Wajahnya berseri ketika melihat Daisy. Sayangnya Daisy mencoba menahan pertanyaan yang ingin ia ajukan pada Zen. Tapi Daisy merasakan kesusahan saat harus menahan perasaan ingin tanyanya. Entah mengapa rasanya begitu sakit dibohongi Zen.
Dalam perjalanan menuju apartemen, Daisy hanya diam. Benar-benar diam dan tak berbicara sepatah kata pun. Membuat Zen bertanya-tanya tentang apa yang sudah terjadi pada Daisy sejak Zen tak ada di sisinya.
"Kita ke supermarket dulu, ya. Beli bahan makanan dan barang yang habis," ujar Zen mencoba mencari pembicaraan.
"Oke," hanya itu jawaban Daisy.
"Kamu mau cerita apa yang lagi kamu pikirkan sekarang?" tanya Zen.
"Nggak. Nggak penting. Maaf," jawab Daisy kemudian. Entah kenapa mendadak ia merasa bersalah pada Zen. Padahal seharusnya Daisylah yang harusnya marah atas kebohongan yang telah Zen lakukan di belakangnya.
"Kenapa harus minta maaf?"
"Karena bersikap cuek. Maaf."
Zen hanya diam. Tentu sikap Daisy membuatnya bertanya-tanya. Sebab Daisy memang tidak seperti biasanya. Sayangnya Zen semalaman tidak meninggalkan anak buahnya di rumah Daisy atau menyalakan penyadap suaranya.
"Kalau aku salah, katakanlah," ujar Zen.
Daisy hanya diam. Ia bahkan tidak tega untuk mengatakan kesalahan Zen. Membiarkannya membuatnya sakit, tapi jika ia bertanya pun pasti Zen menanyakan perihal ia tahu dari mana. Daisy tidak ingin ada pertengkaran. Apalagi Devan adalah anak sambung Papanya Zen. Tidak mungkin Daisy membuatnya semakin terpecah belah.
"Nggak. Nggak ada, Zen. Aku... lagi pengen es krim, itu aja. Aku mikirin es krim karena udah lama aku nggak makan," kata Daisy kemudian.
Zen hanya menaikkan satu alisnya. Rasanya aneh, pikir Zen. Tapi ia juga tidak ingin bertanya lebih jauh. Zen akan membiarkannya sampai Daisy benar-benar mau bercerita padanya.
"Oke. Es krim. Aneh," kata Zen.
"Apanya yang aneh?"
"Mungkin kamu nggak mau cerita sekarang. Nggak apa-apa, Daisy. Cepat atau lambat aku akan tahu apa yang lagi kamu pikirin."
"Zen... aku cuma lagi pengen es krim. Itu aja."
Hanya kedikkan bahu Zen saja mencari akhir dari pembicaraan mereka sebab sudah sampai supermarket. Sebab Zen juga tidak ingin memperpanjangnya jika memang belum waktunya.
Aw! Nggak nyangka udah di chapter 20, dong! Seneng banget! Makasih buat kalian yang masih setia baca BB, ya! Aku akan tetep berusaha kasih alur cerita yang membagongkan buat kalian. Luv you~
***
instagram: @karendebor