webnovel

Bagian 54

Hari itu, Bimasakti dan Gilang berkunjung ke rumah Broto. Sang tuan rumah mengajak mereka ke ruang kerja. Rani yang baru saja ke luar kamar memaksa ikut bergabung. Awalnya, Broto keberatan, tetapi dia memang selalu luluh dengan rengekan putrinya.

Jadilah, kini mereka berempat berkumpul di ruang kerja Broto. Pembicaraan utama tentu saja pembahasan tentang Aldi. Bimasakti mengajukan berbagai rencana baru untuk menjegal keponakannya menjadi penerus perusahaan. Namun, rencana itu masih terlalu banyak celah.

"Gara-gara cewek matre itu muncul, sih," gerutu Rani.

"Iya, dia benar-benar faktor yang tiba-tiba muncul." Bimasakti mengelus dagu. "Bisa-bisanya juga kebetulan orang yang menyelamatkan Aldi waktu Gilang mencoba menjebaknya."

"Mungkin Tuhan menolongnya karena orang baik. Anak itu, kan, seperti ayahnya, tidak busuk seperti kita," sahut Broto asal.

"Tapi, Pa, cewek itu entah kenapa aku merasa mirip seseorang," gumam Gilang.

"Yah, mungkin mirip salah satu gadis yang pernah kautiduri," sindir Bimasakti.

Sebenarnya, dia juga sebelas dua belas dengan putranya. Namun, permainan Bimasakti lebih halus, sehingga tak bisa tercium media. Hasilnya, orang-orang mengenalnya sebagai suami setia dan ayah yang penyayang. Sayangnya, Gilang tak bisa selicik ayahnya dan sering mencoreng nama baik keluarga besar. Oleh karena itulah, potensi Aldi sebagai calon penerus lebih besar.

Gilang hendak menyahut. Namun, pintu tiba-tiba diketuk dari luar. Broto menyuruh masuk. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan seorang pria tinggi memasuki ruangan. Dia segera menghadap Broto.

"Bagaimana hasil pengawasanmu?" tanya Broto tanpa basa-basi.

Pria tinggi yang dimintanya untuk mengintai Putri itu pun menjawab, "Saya sudah membuntuti gadis itu. Dia tinggal di Panti Asuhan Cinta Kasih Ibu. Ada sebelas orang yang menghuni panti, termasuk pemilik panti yang bernama Kinasih–"

"Tunggu!" potong Broto.

Si mata-mata mengerutkan kening. "Iya, Bos?"

"Tadi, kau bilang Panti Asuhan Cinta Kasih Ibu milik Kinasih? Apa nama suaminya Rehan?" cecar Broto dengan mata melotot.

"I-i-ya, Bos. Rehan Syahbana."

Broto seketika tertawa lepas. Wajahnya yang bengis semakin mengerikan. Bimasakti, Gilang, dan Rani kompak melongo. Mereka menunggu penjelasan, tetapi Broto masih tergelak.

"Ada apa, Broto? Kenapa kau malah tertawa?" cecar Bimasakti tak sabar.

Broto menyeringai. "Rupanya, kita sangat beruntung, Bima."

Bimasakti mendecakkan lidah. "Katakan dengan jelas, tidak usah pakai teka-teki," ketusnya. "Apa hubungannya suami pemilik panti asuhan itu dengan rencana kita?"

"Tanah panti asuhan itu sebelumnya milik ayahku, lalu disumbangkan untuk panti dan dikelola oleh temannya, Rehan Syahbana," jelas Broto dengan seringaian yang lebih lebar.

Bimasakti terkekeh. "Aku bisa menebak pikiran busukmu, Broto."

"Tapi, kau juga setuju bukan?" Broto menaik-turunkan alisnya.

"Yah, iblis seperti kita tidak perlu berpura-pura menjadi malaikat," sahut Bimasakti ringan.

"Om Broto memang cerdik," timpal Gilang sambil mengacungkan jempol.

"Tunggu, tunggu! Apa yang sebenarnya Papa maksud, sih? Kok tiba-tiba pada seneng?" cerocos Rani yang sejak tadi planga-plongo karena tak memahami hal yang tersirat dari obrolan ayahnya dengan Bimasakti.

Broto mengusap kepala Rani dan tersenyum manis. "Putriku, kamu tidak perlu terlibat hal-hal kotor. Biar Papa saja yang mengurus semuanya, oke?"

Rani mengerucutkan bibirnya. "Tapi, Pa ...."

"Percaya sama Papa."

"Iya, iya," sahut Rani setengah hati.

Namun, belum juga kekesalannya hilang, dia tiba-tiba mendapat telepon dari manajer. Rani harus mengikuti syuting dadakan. Sang manajer langsung dihadiahi caci maki. Broto menenangkan dan membujuknya dengan berbagai sogokan. Akhirnya, Rani menjadi tenang setelah dijanjikan BMW keluaran terbaru.

***

Shinta menggigiti ujung kuku. Berbagai prasangka berseliweran dalam benaknya. Dia sudah berjanji tidak akan jail lagi seperti dulu memperlakukan Rani. Aldi juga telah menegaskan hubungannya dengan sang pacar hanyalah kontrak. Namun, entah kenapa Shinta merasa perlakukan kakaknya terasa berbeda, seperti seseorang yang tengah jatuh cinta.

Oleh karena itu, hari ini dia merengek minta dikenalkan dengan pacar baru sang kakak. Aldi tak keberatan karena Shinta sudah berjanji tidak akan jail. Lagi pula, Putri adalah sosok yang mudah mengambil hati.

"Shinta? Sampai kapan kamu bengong? Ayo keluar, kita sudah sampai," tegur Aldi.

Shinta gelagapan, hampir saja kepalanya terantuk jendela. Sementara itu, sang kakak sudah berada di luar mobil. Sambil bersungut-sungut, Shinta membuka pintu dan keluar dengan malas. Namun, begitu berada di luar, dia malah tercengang saat melihat rumah yang familiar. Dia tentu tak menyangka rumah pacar kakaknya ternyata panti asuhan tempat latihan menari.

"Lho, ini kan ...." Shinta memelototi kakaknya. "Abang katanya mau ngenalin pacar barunya, tapi kok malah ke sini?"

"Lah, pacar Abang emang anak panti di sini."

Shinta memijat-mijat keningnya. Lucunya, dia memang tidak pernah menanyakan nama pacar Aldi. Shinta berpikir keras. Hanya ada dua gadis dewasa di panti, Putri dan Tyas. Aldi pernah berkata pacarnya itu juga pandai menari. Berarti, cuma satu nama yang tersisa.

"Tunggu dulu deh, Bang. Jangan bilang kalo nama pacar Abang–"

"Eh, udah datang, Mas?" sapa Putri yang kebetulan keluar dari panti. Namun, dia seketika mengerutkan kening saat menyadari keberadaan Shinta. "Eh, Shinta? Bukannya hari ini enggak ada latihan?"

"Kalian saling mengenal?" tanya Aldi.

Shinta mencubit lengan Aldi dengan ganas. "Ih, Abang, kok, enggak pernah bilang kalo pacar Abang itu Kak Putri!"

Aldi menekan keningnya. "Tunggu ... jangan bilang guru menari kamu itu Putri ...."

"Iya, Kak Putri guru nari yang mau aku jodohin sama Abang! Kok, Abang enggak bilang, sih?"

"Ya, Abang juga gak tau kalo Putri guru nari kamu, Shinta."

"Tetap aja mestinya Abang bilang namanya! Ih aku kek bodoh banget rasanya," gerutu Shinta.

"Kamu, kan, juga gak pernah nanya," sahut Aldi.

Putri berdeham, membuat kakak beradik itu kompak menoleh. "Umm ... sebenarnya apa yang terjadi?"

Belum sempat Aldi ataupun Shinta menjawab, Paijo datang. Mereka semua semakin tercengang. Tak ada yang menyangka jika ternyata mereka saling terhubung. Akhirnya, Aldi pun menjelaskan hubungannya dengan Shinta dan Paijo.

"Kebetulan yang luar biasa, ya," komentar Putri.

"Mungkin kalian memang ditakdirkan bersama," celetuk Shinta dan Paijo kompak.

Aldi dan Putri tersedak. Ada semburat kemerahan tersaput di pipi mereka. Shinta dan Paijo pun semakin semangat menggoda. Keduanya baru berhenti setelah dipelototi Aldi.

Shinta tiba-tiba memeluk lengan Putri dengan manja. "Kak Putri, aku senang banget deh, ternyata pacar kontraknya Bang Aldi itu Kakak. Semoga nanti jadi pacar beneran."

"Aamiin!" timpal Paijo dengan suara lantang, membuat Aldi mendelik tajam.

Putri terkekeh. "Yah, mungkin aja, sih, abangmu ini mirip sekali dengan cinta pertamaku. Kata abangmu, aku juga mirip cinta pertamanya."

Shinta dan Paijo seketika saling bertatapan dan menyeringai nakal. "Bisa jadi ternyata kalian benar-benar saling mengenal di masa lalu!" seru mereka kompak.

Putri tergelak. "Aduh, sudah cukup kebetulannya! Nanti hidupku jadi seperti cerita FTV."

"Bukannya sudah jadi FTV pas kamu keserempet dikit, terus minta ganti rugi," ledek Aldi.

"Masih dendam, ya, Mas?" sindir Putri.

"Enggak, kok. Sudah dimaafkan cuma masih terngiang-ngiang akting kamu yang mantap sekali kayak habis kelindes truk," balas Aldi.

Shinta tampak kebingungan. Putri pun menceritakan kembali aksinya berusaha menipu Aldi, hingga akhirnya mereka malah membuat kesepakatan pacaran kontrak.

"Ya ampun, Kak Putri! Harusnya Kakak minta ganti ruginya lebih banyak lagi," cetus Shinta dengan wajah tanpa rasa bersalah.

Tak ayal, pipinya dicubit Aldi. Shinta bersungut-sungut, lalu berlindung di belakang Putri sambil menjulurkan lidah. Putri terkekeh dan mengusap kepala Shinta.

Aldi diam-diam menghela napas lega. Kebetulan yang tidak terduga membuat jalannya menjadi lebih mulus. Dia tak lagi perlu mencemaskan Shinta akan mengambek atau berbuat usil kepada Putri. Sekarang, tinggal Eyang Sulis yang harus diyakinkan. Sang nenek jauh lebih keras kepala dibandingkan Shinta.

"Semoga wajah Putri yang mirip Bu Ika bisa membantu," bisik hati Aldi.

***