webnovel

Bagian 55

Wajah Aldi sedikit muram. Dia melangkah malas sambil menenteng banyak kantong belanjaan. Sementara itu, Shinta dan Putri berjalan lebih dulu sambil bergandengan tangan. Kedua gadis itu begitu akrab bagaikan kakak beradik dan Aldi adalah kacung pembawa barang.

"Jangan jutek gitu napa, sih, Bang! Kak Putri itu emang pacar Abang, tapi Kak Putri lebih sayang sama Shinta tau!" ejek Shinta sambil mengibaskan rambutnya.

Putri terkekeh dan mencubit gemas pipi Shinta. "Tentu saja, Anak Manis. Soalnya, kamu lebih imut dari Mas Aldi." Dia malah ikut meledek.

Anehnya, kedongkolan Aldi malah raib. Dia seperti dipeluk oleh kenangan yang indah. Ya, kondisi pada masa lalu seolah terulang kembali. Dulu, Shinta juga selalu berusaha menguasai Wulan dan mencegah Aldi mendekat. Seperti Putri, Wulan juga sangat menyayangi Shinta dan ingin mengambilnya dari Aldi.

"Sebenarnya, ada satu tempat yang kepengen banget aku datengin, Kak. Tapi, apa Bang Aldi mau, ya, nemenin kita ke situ?" gumam Shinta dengan wajah sendu yang tentu saja hanya pura-pura. Dia memiliki rencana ekstrim dalam otaknya.

Putri menyentil pelan hidung Shinta. "Kenapa harus ditemani Mas Aldi? Kalo dia tidak mau, kita bisa pergi berdua sajalah."

"Aku cukup luang hari ini. Jadi, mau ke mana lagi?" sergah Aldi cepat.

"Beneran nih, Bang?" Shinta menaik-turunkan alisnya.

Aldi mendelik. "Iya. Jadi, ke mana–"

"Ayo, Kak Putri!"

Bukannya menjawab sang kakak, Shinta malah memeluk lengan Putri dan mengajaknya keluar dari mal. Aldi menghela napas, lalu mengekor dengan beban-beban di tangannya. Begitu sampai di luar mal, dia segera menghubungi Pak Supri untuk menjemput.

Tak sampai 5 menit, supir kepercayaan Aldi itu sudah tiba. Supri mengambil alih barang-barang di tangan Aldi memasukkannya ke bagasi. Shinta mengajak Putri duduk di jok belakang. Sebenarnya, Aldi ingin bergabung bersama mereka, tetapi sang adik mendelik. Akhirnya, dia memilih jok depan.

"Kita ke mana, Pak Aldi?" tanya Supri sembari menghidupkan mesin mobil.

Aldi melirik Shinta di jok belakang. Sang adik pun menyebutkan nama sebuah butik dan alamat lengkapnya. Supri sempat mengerutkan kening. Namun, begitu melihat isyarat dari Shinta, dia tersenyum penuh arti.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Shinta asyik mengobrol dengan Putri. . Tentu saja tari tradisional yang menjadi topik pembicaraan mereka. Aldi sesekali menimpali sambil membalas email dan pesan masuk

"Ini tempatnya, kan, Non Shinta?" celetuk Supri begitu mobil berbelok ke halaman sebuah butik.

"Iya, Pak."

Aldi dan Putri kompak menatap lekat Shinta. Gadis itu malah dengan santai membuka pintu mobil dan sedikit memaksa Putri keluar. Dia sempat-sempatnya mengacungkan jempol kepada Supri.

"Dek, kita ke sini untuk apa?" tanya Putri dan Aldi lagi-lagi kompak.

Mereka tentu kaget. Tempat yang ingin dikunjungi Shinta adalah butik khusus gaun pengantin. Aldi dan Putri sudah overthinking mengira Shinta berencana untuk menikah. Terlebih, mengingat bagaimana sikap agresif Shinta terhadap Rama.

"Dek, kamu beneran pengen ke sini? Buat apa, Dek?" cecar Putri dan Aldi.

Mereka merasa Shinta masih terlalu muda untuk menikah. Semacam rasa tak rela ketika adik manis, imut, dan manja tiba-tiba menjadi dewasa dan ingin memiliki kehidupan sendiri.

"Buat berenang." Shinta terkekeh. "Ya buat liat-liat gaun dong, Bang, Kak. Ini tuh butik punya temenku," jelasnya.

"Dek, kamu masih muda. Kalo mau nikah, pikir-pikir dulu. Kamu jangan sampai mendesak Rama, kesian dia," tegur Aldi.

Shinta memasang wajah jutek. "Idih, Abang apaan, sih? Yang mau nikah muda siapa coba?"

Aldi mengerutkan kening. "Terus ngapain ke sini?"

"Temenku minta tolong. Dia mau bikin iklan gaunnya. Jadi aku sama Kak Putri nanti pake gaunnya, terus difoto," jelas Shinta, membuat Aldi dan Putri kompak menghela napas lega.

Namun, Putri baru sadar kalau tadi namanya juga disebut. "Lho, kenapa aku juga, Dek?" protesnya.

"Perlunya dua orang, Kak. Plis, ya, Kak. Ada komisinya juga, kok," pinta Shinta dengan mata memelas.

Sebenarnya, Putri agak keberatan. Dia sudah mendedikasikan diri untuk balas dendam, sehingga bertekad tidak akan menikah. Mencoba gaun pengantin bisa saja membangkitkan kenangan tentang impiannya menjadi mempelai wanita Joko. Terlebih, Aldi yang mirip Joko akan menunggu seolah-olah menjadi calon pengantin pria.

"Kak Putri ... pliiis," rengek Shinta.

Wajahnya semakin memelas. Pertahanan Putri seketika runtuh. Dia tersenyum lembut dan mengusap rambut Shinta.

"Baiklah, ayo kita jadi model dadakan, tapi jangan salahin Kakak ya kalo enggak bagus."

"Sayang, Kak Putri." Shinta menggayut manja.

Putri terkekeh, lalu mencubiti pipi Shinta. "Dasar anak ini, bikin gemes."

Aldi melirik sinis.

Shinta tersenyum nakal. "Kenapa, Bang? Pengen dicubitin juga? Halalin dulu dong," ledeknya.

"Dahlah! Mending kita masuk aja!" cetus Aldi sembari berjalan lebih dulu.

Shinta tergelak dengan puas. Dia segera memeluk lengan Putri dan mengajak masuk. Mereka disambut ramah oleh pemilik butik dengan ramah. Shinta bahkan sempat-sempatnya menggosip dulu dengan temannya itu.

Seperti ucapan Shinta sebelumnya, Penny, si pemilik butik memang memerlukan model untuk promosi gaun pengantin. Dia tampak senang karena merasa Putri memiliki kharisma yang luar biasa. Hal itu akan semakin menonjolkan keindahan gaunnya.

Namun, tak diketahui Aldi dan Putri, sebenarnya Shintalah yang mengajukan ide tersebut. Dia ingin membuat Aldi semakin terpesona saat melihat Putri dalam balutan gaun pengantin. Kebetulan, beberapa waktu lalu, temannya kesulitan mencari model.

"Silakan masuk ke dalam, Kak Putri, saya dan karyawan di sini akan membantu mengenakan gaunnya. Habis itu baru giliran Shinta.

Penny dan karyawannya masuk ke ruangan dalam. Putri dan Shinta mengekor. Sementara Aldi memilih duduk di salah satu sofa. Dia menghela napas berkali-kali.

Cukup lama Aldi menunggu hingga pintu yang memisahkan ruangan depan dan belakang terbuka. Dia mengalihkan pandangan dan seketika terpaku. Putri melangkah anggun dalam balutan gaun putih dengan payet berbentuk bunga mawar. Desainnya elegan, memancarkan aura seorang ratu.

"Waduh, gawat nih, Abangku kayaknya jadi ngebet ke pelaminan," ledek Shinta.

Aldi terbatuk-batuk. Dia memelototi Shinta. Namun, sang adik malah semakin menjadi-jadi, begitu bersemangat meledeknya.

"Idemu itu bagus juga, Shinta," celetuk Penny.

"Eh, apannya, Pen?"

"Sekalian deh Bang Aldi pakai tuksedo putih. Biar kayak pengantin. Pasti cocok banget deh!" cerocos Penny dengan menggebu-gebu.

"Benar juga, Pen!" seru Shinta. "Abang mau, kan, Bang?" rengeknya.

Putri melirik Aldi. Dia memberi isyarat agar pemuda itu menolak. Namun, Aldi malah mengangguk.

Akhirnya, jadilah mereka model untuk gaun pengantin butik Penny. Shinta yang mengajak malah tidak ikut serta dengan alasan gaunnya lebih cocok di tubuh Putri. Dia pun menikmati kemesraan sang kakak dan guru menarinya di bawah komando Penny sambil menyantap camilan.

"Pose berikutnya, ya, Kak!" seru Penny sambil menunjukkan sebuah gambar.

Putri dan Aldi seketika merona. Pose yang diminta Penny sebenarnya tidak terlalu mesra, tetapi bahaya untuk jantung. Mereka harus bertatapan dengan natural seperti orang sedang jatuh cinta. Bagi Putri dan Aldi menatap lekat mata yang mirip dengan mata cinta pertama mereka pasti akan sangat mendebarkan.

"Siap, ya, Kak! Mulai!"

Aldi menelan ludah sebelum menatap dalam kedua bola mata Putri. Dia seolah terjebak nostalgia. Tanpa sadar, tangannya yang kokoh menyentuh pipi Putri. Jika saja Penny dan Shinta tidak berdeham, mungkin saja Aldi akan khilaf memberikan satu kecupan manis di bibir tipis kemerahan itu.

"Tidak, tidak! Aku tidak boleh begini!" gerutu Aldi dalam hati. "Wulan, maafkan Mas!"

Sementara itu, Putri sendiri juga tengah susah payah menepis harapan yang mulai tumbuh di hati. Saat Aldi mendekatkan wajah tadi, dia sempat-sempatnya memejamkan mata. Perasaannya bercampur aduk, malu tetapi juga berdebar.

Bunyi ponsel membuyarkan lamunan keduanya. Aldi mendapat telepon. Dia permisi sebentar, lalu kembali dengan raut wajah tegang.

"Kenapa, Mas? Ada masalah di perusahaan?" tanya Putri.

"Bukan, tapi ... Eyang."

Putri mengerutkan kening. "Eyang?"

Cara Aldi menyebut kata eyang mengingatkannya lagi kepada Joko. Putri menggeleng cepat berusaha menepis pikiran jika pemuda itu orang yang sama dengan cinta pertamanya.

"Eyang ingin dipertemukan denganmu, Put. Bagaimana ini?"

"Kan, tinggal ketemu. Apa susahnya?" sahut Putri santai.

"Eyang itu sayang banget sama cinta pertamanya Bang Aldi, Kak. Jadi, kek agak jutek gitu sama cewek yang deket Bang Aldi," jelas Shinta.

"Hmm, bukannya aku mirip cewek itu? Siapa tau jadi nilai tambah, 'kan?" cetus Putri.

Shinta mengelus dagu. "Bener juga, sih." Dia menatap Aldi. "Jadi, gimana, Bang?"

"Ya, apa boleh buat, mau ditolak pun Eyang malah bisa tambah marah." Aldi menatap Putri. "Gimana, Put? Kapan kamu bisa?"

"Besok juga bisa kok."

"Oke, besok kalo gitu."

"Ekhem!"

Aldi, Putri, dan Shinta kompak berbalik. Penny menenteng kamera dengan wajah sendu.

"Jadi, apa pengambilan gambarnya bisa kita lanjutkan?" pintanya.

Putri dan Aldi mengangguk. Mereka pun melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda. Untunglah, tidak ada lagi insiden memalukan. Pengambilan gambar berjalan lancar, hingga semua gaun yang akan dipromosikan selesai dicoba.

***