webnovel

Berawal dari Satu Malam

Hanya berawal dari satu malam. Terlalu singkat namun mengubah seluruh kehidupan dua orang yang dipenuhi ketidaktahuan. ONS? Benar. Lantas ketidaksengajaan, ketidaktahuan dan kesalahanlah yang terjadi. Bisakah mengalahkan takdir saat semuanya sudah terlambat? Rein, sang perempuan polos mau tak mau harus menerima kenyataan bahwa ia menjadi 'korban.' Lalu Redis Sanjaya langsung meninggalkan Rein begitu saja setelah ia pun juga merasa tak sengaja. Redis yang dipaksa menikah mengorbankan Rein. Sedangkan banyak orang menyukai orang tersebut. Pernikahan berjalan buruk, Rein dan Redis tak cocok. Justru, Redis hanya tahu soal kerja dan kerja sampai Rein pikir orang itu tak normal. Lantas, bagaimana jika ibu Redis minta Rein mengubah anaknya? Rein dihadapkan dengan pilihan keluar namun tak boleh membawa anaknya. Lalu orang tersebut mau tak mau memilih pergi. Sepupu Redis yang bernama Radit menyukai Rein, oleh karena itu ia pun membantu Rein. Radit adalah orang yang membuat orang lain kesal. Ia adalah orang yang menjengkelkan. Bisakah Rein bahagia?

Raein23_Raein · perkotaan
Peringkat tidak cukup
214 Chs

Antara Pilihan dan Jawaban

Rein hanya bisa mengangga saat tiga orang yang tengah menatapnya lurus. Sebuah tatapan yang menuntut kejelasan. Seolah-olah mengisyaratkan akhir hidup sudah didepan mata.

Berlebih, tapi begitulah.

Drama hidup begitu keraskah hingga orang-orang itu ingin hal tak masuk akal?

"Jadi apa jawabanmu."

"Saya hanya seorang anak yatim piatu yang bekerja sebagai penulis lepas dan penerjemah, Tuan. Setidaknya pikirkanlah mengenai itu, jangan sampai menyesal sebab salah pilih calon menantu. Orang kaya kan selektif," cicit Rein pelan dengan wajah menunduk dalam.

Ia tahu dimana posisi dan kedudukannya. Seorang yang pasti sangat jarang bisa hidup 'normal' jikalau terjebak dalam posisi tersebut.

Hey, Rein adalah seorang penulis lepas.

Ia tak terikat kontrak eksklusif dengan pihak manapun. Untuk itu Rein bebas melakukan apapun. Bahkan kalaupun bekerja pada banyak tempat kepenulisan, ia bebas. Right, itu kalau sanggup.

Lalu semua cerita dan tulisan yang ia buat, mana ada yang di posisinya saat sekarang.

Tak masuk akal!

Rein sangat menjunjung tinggi yang namanya kenyataan. Ia realistis.

"Benar, kebanyakan orang dari kalangan atas memang selektif. Tapi kamu adalah orang pertama yang berhubungan 'intim' dengan putraku, aku akan setuju," ujar kepala keluarga Sanjaya.

Rein diam-diam meringis. semakin kesini lebih tak bisa diterima akal. Family dihadapannya tak normalkah?

"Tidak takut ya kalau saya memanfaatkan keadaan. Banyak lho perempuan yang seperti itu," ujar Rein lagi.

Sebenarnya apa yang perempuan itu pikirkan?

Ingin ada yang bertanggung jawab, atau hidup seperti sedia kala?

Normal tanpa campur tangan 'imajiner.'

It's impossible.

Berharap tak akan ada sesuatu yang 'tumbuh' dalam dirinya. Lalu jikapun ada, Rein mungkin akan mengasingkan diri.

Menikah diatas kertas ataupun sekedar status, itu adalah hal terburuk yang perempuan tersebut bayangkan. Pilihan terakhir. Bahkan membayangkannya tak bisa, apalagi benar-benar terjadi.

What the hell!

Orang polos seperti Rein memang begitulah adanya. Rein tak bisa hanya memikirkan bahwa sesaat yang tak permanen. Terlebih palsu. Sekali lagi, Rein sangat menjunjung tinggi realitas.

Kebenaran.

"Itu benar. Tapi... memangnya kamu berniat melakukan itu, nona Rein Syakila?"

Kali ini yang mengajukan pertanyaan adalah Redis. Depan orangtua, Redis harus 'berjuang.' Semua yang terjadi sekarang adalah hal yang ia ciptakan. Ia yang membuatnya.

Tahu nama Rein sangat mudah. Orang kaya bebas.

Kalau Rein berani macam-macam, ia yang akan penggal kepala orang tersebut.

"Tidak, tapi ini tak masuk akal. Saya tidak tahu bagaimana kedepannya, tapi sekarang tak memikirkan itu. Saya hanya ingin hidup awal saya kembali."

Sungguh, Redis sangat ingin pergi mendengar perkataan Rein yang sangat membosankan baginya. Redis paling tidak suka membahas hal yang singgung menyinggung perasaan.

Repot.

Nonya Sanjaya akhirnya ikut campur. Sambil tersenyum ia berucap.

"Setidaknya cobalah untuk mengenal keluarga kami lebih baik, Nak. Itu berlangsung sampai kita tahu apakah kamu hamil atau tidak."

Rein sontak langsung mengalihkan pandangan, menatap ke arah nonya Sanjaya yang berbicara.

Begitu mudah seperti air mengalir.

Tatapan orang tersebut kelihatan lembut dan hangat secara bersamaan.

Lagi-lagi sikap random, Rein jadi bingung.

Apakah semua orang yang ada dihadapannya memiliki kepribadian ganda...?

Rein sontak langsung menggelengkan kepala kuat-kuat. Apa sih yang ia pikir?

"Baiklah," ujar Rein akhirnya.

"Tapi masih ada yang ingin saya tanyakan. Mohon untuk memaklumi dan tolong jawab, Tuan dan Nyonya. Berapa usia Tuan ini? Kalau saya baru 21 tahun."

Redis tertawa renyah yang sebenarnya menyindir. Cukup, ia bukan pedofil!!!

"Hahaha, kamu pikir aku pedofil? Aku baru 27 tahun. Entah karena apa Papa dan Mama menyuruhku menikah cepat, sampai berniat menjodohkan segala."

"Redis!" ujar sang kepala keluarga tersebut.

Yang dikatakan Redis sontak menusuk relung hati Rein. Ternyata memang benar, alasan itulah yang membuat Redis mau tak mau mengambil dirinya menjadi batu loncatan acak.

Malang sekali nasib Rein jadi pelarian sementara. Kalau begini sih tak akan ada cinta. Sulit mendapat hal tersebut.

"Maaf, kalau alasannya begitu. Saya pasti akan disuruh mendatangai surat kontrak. Perjanjian pernikahan yang menentukan berapa lama umur nikah sekaligus berbagai macam peraturan ketat."

Redis tak habis pikir, otak Rein terbuat dari apa?

Hali terus. Ingin sekali ia pukul kepala yang berpikir sempit tersebut.

"Ta Tuhan, ternyata kamu tidak hanya seorang penulis. Tetapi queen of drama," hardik Redis tanpa ekspresi.

Orang itu heran, di zaman serba canggih ini masih ada perempuan yang berpikir klasik. Berharap ada pangeran berkuda putih yang menjemput. Sempit!!!

Halu saja.

Realistis sedikitlah.

"Redis."

Kepala family Sanjaya menatap tajam sang anak. Hal yang membuat Redis mendengus kesal. Harus ia selesaikan sekarang.

"Sudahlah, biar aku yang mengurus sisanya. Dia bilang iya, itu berarti setuju."

Setelah mengatakan hal itu Redis pun langsung meraih tangan Rein untuk ia bawa. Bukan membawa, lebih tepatnya menyeret.

Sadis. Orang itu tak punya perasaan.

"Ya lepas Tuan. Anda tidak punya perasaan!"

"Redis kembali."

Tanpa menghiraukan apapun, Redis pun langsung membawa Rein kembali ke kamar yang mereka tempati tadi. Redis tahu suara itu berasal dari sang papa.

But no. Untuk hari ini sudah cukup ia menjadi 'doggy' penurut. Biar kedua orangtuanya yang kalah. Itu hanya perumpamaan saat Redis muak.

"Tenanglah Pa, Ma. Aku tak akan melakukan sesuatu yang buruk."

Wajah Redis ibarat lihat buku kuno lapuk dan lusuh. Sudah tak layak dibaca.

"Paman, Bibi, orang ini sangat kejam, tolong selamatkan saya."

"Jangan berlebihan!"

Sambil menyeret pun masih sempat-sempatnya membentak Rein. Redis rasanya ingin buang perempuan tersebut ke tempat sampah, atau ia tenggelamkan di kolam. Biar gak muncul lagi.

"Redis, bersikap baik pada Rein!"

Masih bisa Redis dengar suara sang mama yang melengking. Cempreng, Redis tidak suka mendengarnya. Namun orang tersebut sama sekali tak menghiraukan itu, terserah. Yang ia lakukan adalah terus melangkah pergi.

"Kamu, tidak akan bisa lepas dariku."

Aura intimidasi Redis keluar sempurna. Menyatakan ia bukan sembarang orang yang boleh dilawan.

"Tuan, kenapa tidak mau menikah dengan seseorang yang dijodohkan ke Anda saja? Kenapa memilih saya?" tanya Rein saat dia berhasil melepaskan diri dari cekalan tangan Redis.

Sakit lho.

Hanya saja sekarang kedua orang tersebut sudah berada di kamar yang Redis kunci pintunya. Kemudian setelah itu, kunci kamar pun dengan santai ia taruh ke kantong celana.

Tenaga lelaki jauh lebih besar dari perempuan. Lalu Rein hanya menguasai teknik beladiri dasar. Hiks, soal tenaga masih jauh tertinggal.

"Aku tidak percaya cinta, ketulusan, perasaan dan semua itu. Jadi kamu, jangan menyusahkanku."

"Siapa yang mau menyusahkan Anda. Aku mau pulang!"

Kini giliran Rein yang berteriak. Bukan cuman Redis yang kesal, Rein pun sama. Boleh ia keluar!?

"Bisa tidak jangan berteriak?"

"Tidak," cicit Rein pelan.

"Kau kan juga berteriak denganku. Masa aku gak boleh."

Rein nyinyir dalam hatinya. Nasib sekali sih, mau ngedumel cuma tersimpan rapat. Habis takut diamuk.

Saat ini air mata kembali membahasi wajah rupawan Rein.

Bagaimana bisa orang baik dengan kehidupan normal sepertinya malah berakhir menyedihkan?

Dosa masa lalu seperti apa yang Rein lakukan hingga harus menembus dengan cara begini.

Keadaan dan takdir sungguh benar-benar tak adil.

"Hah."

Helaan napas pun seketika langsung keluar dari Redis. Ia muak terhadap drama kolosal yang Rein buat. Ia benar orang itu queen of drama.

Ingin segera menyingkir.

"Lupakan tentang drama gila yang ada dalam otak sempit-mu. Aku menyesal bertanya kamu lulusan cumlaude. Tidak ada kontrak pernikahan, perjanjian atau semacam itu. Kita tak akan melakukannya. Sekarang kamu diam dan duduk manis disini. Jangan pergi kemanapun. Aku harus menyelesaikan sesuatu."

"Aku ditinggal, Tuan?"

Tanpa menjawab Redis pun pergi dari tempat tersebut. Terserah perempuan, ups, wanita itu mau melakukan apa. Yang penting Redis harus bekerja.

Orang yang menyukai uang dan pekerjaan tersebut harus lembur untuk mempersiapkan diri di hari pernikahan dadakan yang akan terlaksana sebentar lagi.

Sekarang, tinggallah Rein sendiri dengan kamar yang terkunci rapat. Kenapa tadi gak langsung terobos ya?

Dorong orang gila itu sampai terjungkal dan ia berlari kencang.

Sekarang bisa Rein lihat sudah ada makanan diatas nakas.

Satu hal yang langsung menguasai pikiran orang tersebut, sejak kapan ada makanan disitu?

"Hiks, malangnya nasibku. Sekarang apalagi yang akan terjadi? Dasar.," gumam Rein terlihat lelah.

Tak terduga kalau dari sudut pandang perempuan tersebut.

"Meri, dia pasti sangat mengkhawatirkan keadaanku. Ah... apa yang harus ku lakukan? Bahkan makan rasanya tidak bernafsu. Ya Tuhan."

***

Sementara itu Redis sudah berada di tempat biasa ia gunakan sebagai ruang kerja. Walau apapun yang terjadi, pemuda tersebut berusaha untuk fokus. Meski rasanya sulit.

Pekerjaan adalah segalanya.

"Sialan, apa yang terjadi ke hidupku? Orang aneh itu, aku harus 'berakhir' dengannya?"

Gubrak!

Terdengar suara Redis memukul meja kuat. Tak peduli rasa sakit yang menjalar di telapak tangan yang terasa berdenyut nyeri.

Ia muak!

"Tak akan ku biarkan orang asing mengendalikan. Dia hanya orang malang sebab masuk dalam hidupku. Aku bebas melakukan apapun. Lihat saja," gerutu Redis sambil mengepalkan tangan kuat.

Lantas tak lama setelahnya terdengar suara deringan ponsel. Sambil misuh-misuh sebab kegiatannya bicara pada diri sendiri diganggu, Redis pun mengangkat ponsel tersebut.

Sebelum angkat telepon masih sempat-sempatnya ngedumel.

"Aish, siapa yang menelepon malam-malam begini!? Kalau si Rey, ku pastikan mematahkan tangannya jika bukan oleh urusan penting."

Kejam bukan?

Ekspresi wajah Redis seketika dingin, sedingin es di kutub Utara. Seseorang yang menelepon tersebut adalah Radit, sepupu yang amat teramat sangat Redis benci.

Seperti musuh bebuyutan.

Lain kata lain di tindakan, tanpa membuang banyak waktu, Redis pun akhirnya mengangkat telepon tersebut.

[Halo, sepupu.]

[Ada apa?]

[Bersiaplah, besok jam 15.30 keluargaku akan berkunjung ke rumahmu.]

Tak ada respon dari Redis. Terserah yang orang tersebut katakan, yang jelas Redis sama sekali tak peduli apalagi ambil pusing.

[Oh ya, ku dengar kamu akan menikah, apa itu benar?]

Seketika itu juga rahang Redis menegang dengan tangan mengepal kuat. Bagi Redis, Radit selalu ingin menang darinya dalam segala bidang.

Tak jarang rela melakukan cara kotor nan menjijikan.

Apa reaksi Redis jika Radit berencana menganggu?

Sementara itu, orang tersebut, Rein, sama sekali tak mendapat respek dari seorang Redis. Hanya seorang perempuan asing.

*****