webnovel

Bench in the Park

Tidak semua orang mendapat kesempatan kedua dalam hidup, namun tak sedikit pula yang justru menggunakan kesempatan yang diberikan itu hanya untuk memuaskan nafsu keduniawian saja. Begitupula yang terjadi pada Keisha. Mengkhianati orang yang justru berperan besar dalam mengangkat kehidupan, bahkan rasa percaya dirinya. Dan saat semua sudah terlanjur terjadi, kata maaf dan penyesalan tentu tidak lagi berguna, sebab karma itu menyakitkan.

Ando_Ajo · Fantasi
Peringkat tidak cukup
402 Chs

Nenek Ibu dan Cucu

Delima harus menengadahkan wajahnya demi bisa memandang wajah pemuda jangkung tersebut. Khususnya, jika jarak mereka terlalu dekat seperti saat sekarang itu.

Keisha tertawa nyaris tanpa suara. "Kau lihat," ujarnya, "aku bahkan sampai melupakan tujuan sebenarnya kedatanganku sekarang ini."

"Kenapa bisa begitu?"

Gadis ini benar-benar bisa membuat hari-hariku menjadi lebih indah, puji Keisha di dalam hati.

Entah dia sedang berpura-pura tidak tahu, atau memang seperti itulah sikap dan sifat aslinya—seorang gadis yang benar-benar lugu?

Keisha pun tidak dapat memastikannya.

Hanya saja, dari apa yang terlihat selama ini, jelas pilihan kedua itu adalah alasan yang tepat untuk menggambarkan gadis tersebut.

Lagi, Keisha meletakkan tangannya di bahu gadis itu.

"Aku sampai melupakan sepedaku, aku sampai lupa dengan tujuanku ke sini. Semua itu, karena kamu, Delima. Apakah kamu masih tidak mengerti juga?"

Untuk sesaat keduanya sama hening. Hanya bola mata mereka saja yang saling bertemu pandang, seolah sedang mengukur sedalam apa perasaan masing-masing terhadap satu sama lain.

Semakin lama, jarak keduanya semakin dekat hingga Deliam dapat merasakan terpaan hangat dari embusan napas laki-laki tersebut. Dan lalu tertunduk dengan wajah yang terpanggang indah.

Dan ketika semakin dekat dan bertambah dekat—bahkan puncak hidung laki-laki itu telah melewati puncak hidung sang gadis, bergesekkan dengan lembut—Delima tidak tahu lagi harus berbuat apa-apa selain menutup matanya dengan perlahan.

Bibir tipis yang merah tanpa pewarna itu benar-benar menggoda hasrat, namun di kala kedua bibir nyaris saja bertemu Keisha tersadar bahwa mereka berdua sekarang sedang berada di tempat terbuka.

Lantas, dengan cepat laki-laki itu menjauhkan wajahnya dari wajah Delima yang menutup mata dan bibir setengah terbuka.

Bagaimanapun, Keisha merasa akan ada mata yang bisa menyaksikan apa yang tadi akan ia perbuat pada gadis tersebut. Meskipun pada saat sekarang itu belum terlihat seorang pun di sekitar danau, namun itu tidak memberi jaminan bahwa tidak akan ada mata yang menyaksikan perbuatan mereka.

Keisha tersenyum dan begitu senang melihat wajah yang begitu indah di hadapannya itu.

Sementara itu, Delima yang tak kunjung merasakan sentuhan di bibirnya perlahan-lahan kembali membuka matanya. Dan kemudian pipi itu semakin bertambah merah, dan tersenyum menundukkan kepala sebab ia baru sadar ternyata Keisha justru menatapnya sedemikian rupa.

Detik-detik berlalu dengan keduanya yang bertingkah seperti dua orang yang baru saja saling mengenal. Malu-malu tanpa ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut masing-masing.

Karena tidak tahan dengan suasana yang canggung itu, Delima akhirnya bersuara juga.

"Ka—kamu tadi bilang tentang tujuanmu ke sini, kan?"

Keisha berdeham, lalu membuang pandangannya ke arah permukaan danau yang beriak kecil. Mungkin saja ikan-ikan yang berenang di bawah permukaan air itu menyaksikan apa yang kami perbuat, pikir pemuda tersebut.

Sang pemuda lalu tersenyum dengan buah pikirannya sendiri.

Ada-ada saja…

"Iya," ujar pemuda itu.

"Ka—kalau boleh aku tahu?"

"Aku ingin bertemu lagi dengan ibumu."

Delima menoleh lagi wajah gagah di hadapannya itu dengan tanda tanya besar di dalam pandangannya.

Keisha tersenyum lebar. Setidaknya, ia cukup bisa memahami mimik wajah yang diperlihatkan gadis tersebut kepadanya.

"Hei," Keisha meraih kedua tangan sang gadis, "aku tidak akan melakukan hal-hal bodoh yang akan menyakiti perasaanmu."

Delima tersenyum. "Syukurlah."

"Kamu berpikir aku akan melamarmu di depan ibumu?"

"Eeh…?"

Seketika Delima menatap ke dalam bola mata laki-laki tersebut, detik selanjutnya ia tertunduk dengan wajah yang terpanggang indah.

Keisha tertawa halus sembari mengangguk-angguk kecil, lalu ia menarik tubuh sang gadis ke dalam pelukannya.

"Ya… mungkin aku akan melakukan itu," ujar sang pemuda. "Nanti."

Delima semakin menyembunyikan wajahnya di dada bidang Keisha.

*

Ini untuk yang kesekian kalinya Keisha dibuat takjub sekaligus heran bercampur bingung di saat Delima memperkenalkan Keisha dengan sang nenek yang bernama Delia itu.

Tidak ada tanda-tanda penuaan sama sekali pada wanita yang mengaku sebagai ibu bagi Delisa dan nenek bagi Delima. Tidak keriput, tidak suara dan gaya bicaranya, tidak pula gaya berjalannya.

Tidak sama sekali.

Satu-satunya penanda bahwa dia memang sudah tua hanyalah dari rambutnya yang sudah memutih.

Keisha bahkan berpikir rambut itu sebenarnya bukanlah uban. Mungkin saja wanita itu mengubah warna rambutnya di satu salon kecantikan—entah di mana pun itu.

Bahkan dari namanya juga. Tiga wanita itu jika berdiri bersama-sama, pastilah orang-orang akan mengira mereka adalah tiga orang kakak beradik.

Delia, Delisa, dan Delima.

Yang benar saja! Nama anggota keluarga seperti apa itu?

"Kenapa?" tanya Delia pada laki-laki yang duduk didampingi Delima di hadapannya itu. "Lidahmu digigit kucing?"

"Keisha," Delima menggoyang sedikit bahu pemuda tersebut.

Seolah baru tersadar dari mimpi, Keisha berdeham, menunduk dan menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Maaf…" ujar pemuda itu.

"Ibu," ujar Delisa pada Delia, "jangan ketus seperti itu. Kasihan dia."

"Apa aku terdengar ketus?"

Delisa dan Delima sama mengangguk. Sang nenek tertawa halus mengangguk-angguk.

Bagi Keisha sendiri, gaya bicara Delia hampir-hampir sama dengan gaya bicaranya sendiri. Ya, gaya bicara yang begitu dingin dan ketus, dan kini sedikit ia rindukan sebab semua itu berubah semenjak ia mengenal Delima belakangan ini.

Delisa duduk di kursi yang sama seperti kemarin, di sisi kiri. Sedangkan di posisi yang kemarin ditempati oleh Keisha kini diduduki oleh Delima, dan di samping kanan gadis itulah Keisha duduk. Sang nenek duduk berhadapan dengan Keisha dan Delima yang dipisah sebuah meja persegi panjang—kursi yang kemarin diduduki oleh Delima.

"Sungguh," ujar Keisha kemudian, "andaikan saya tidak melihat langsung dan tidak mengenal Delima, sudah pasti saya beranggapan bahwa Nenek," pemuda itu menunjuk Delia dengan ibu jarinya.

Soapan sekali, puji Delima di dalam hati. Dan itu ditandai dengan senyuman tipis namun sangat manis di bibir gadis tersebut.

"Juga… Tante," Keisha menunjuk pula Delisa, "adalah kakak Delima."

Delia tertawa halus. "Apakah Delima sudah menceritakan tentang keluarga kami kepadamu?"

"Tidak, tidak sama sekali. Kecuali, Delima mengatakan ia tinggal bersama ibu dan neneknya," Keisha menggeleng kecil. "Maksud saya… baik Nenek, juga Tante, terlihat masih muda—bahkan, sangat-sangat muda. Sama persis seperti Delima," ia melirik pada gadis di samping kirinya itu.

"Ya," angguk Delia. "Kecuali pada rambut dan juga hidung."

Keisha tersenyum. Itu benar, pikirnya.

"Hidung Delima sama persis seperti hidung ayahnya."

"Aah…" Keisha mengangguk-angguk.

Seperti hari kemarin, Keisha tidak ingin mengungkit tentang siapa ayah kandung Delima. Atau, bagaimana sampai Delima bisa tidak mengetahui siapa ayah kandungnya itu. Tidak sama sekali. Ia tidak ingin membuat para wanita di sana menjadi membencinya.

"Kuberitahu padamu," kata Delia, "aku sudah berumur lima puluh lima tahun, Keisha. Delisa sudah berumur tiga puluh tujuh tahun. Kau tahu berapa usia Delima?"

TO BE CONTINUED ...