Dua puluh juta yang diberikan Nikita padanya dipergunakannya sebaik mungkin, lumayan untuk kebutuhan selama 2 tahun. Dua tahun dilaluinya dengan sabar didukung dengan sambungan Internasional 2 bulan sekali. Rencana yang disusunnya dengan Fajar melalui obrolan jarak jauh tentang membangun sekolah bertaraf Internasional yang dikhususkan untuk anak-anak yatim piatu, memicu semangatnya untuk belajar lebih giat lagi.
Ketekunan dan kegigihan gadis itu selama 2 tahun membuahkan hasil. Ramona meraih juara umum lulus dengan peringkat terbaik. 6 orang siswa siswi yang terdiri dari 3 santriawan dan 3 santriawati mendapat penghargaan dari Presdir PT. Karunia Sejahtera, masing-masing mendapatkan uang sebesar 100 juta Rupiah.
Kini tibalah malam pemberian penghargaan itu, Ramona didandani secantik mungkin bak ratu dari negeri dongeng, sebelumnya dia menolak untuk didandani karena sang pujaan hati melarangnya berdandan. Terlihat Natural saja begitu pesan Fajar padanya.
Acara perpisahan dan pemberian penghargaan kepada santri kelas 3 lulusan terbaik di buat semeriah mungkin. Ramona memandang kedepan pada tamu-tamu undangan yang berdatangan, rombongan dari PT. Karunia Sejahterapun telah tiba. Ramona memandang tak berkedip kepada seorang pria yang berusia sekitar 50an, bak pinang dibelah dua dengan Fajar. Dugh ! Jantungnya berdegub kencang, dari perbincangan teman-teman disebelahnya taulah dia jika Presdir itu bernama Ilham Abbas. Ingin rasanya dia bersembunyi di bawah meja, sampai sebuah tangan menyentuh bahunya. Ramona mendongak, Wanita dengan usia berkisar 40an berdiri menepuk bahunya dan tersenyum.
"Umi Zihan" Bisik Ibu Zihan pelan ditelinganya.
Gadis itu terdiam seribu bahasa. Kilasan tentang pertama kali mendaftar di Pesantren Al-Falah dengan beasiswa yang terkesan sangat mudah diperolehnya dan sepucuk surat yang terselip di buku hadiah juara 1 yang diterimanya, bermunculan di benaknya seakan menjawab semua kebingungannya selama ini. Semua campur tangan Fajar, marah sedih atau bahagia bercampur menjadi satu. Hadiah dan beasiswa seakan disengaja. Benar-benar menyedihkan, aku akan meminta penjelasan Fajar. Niat Gadis itu dalam hati.
Penyerahan penghargaan dan cek senilai 100 juta seakan berlangsung berjam-jam, Ramona ingin kembali ke kamar dan besok pulang ke kampung halaman meninggalkan kenangan yang teramat indah dan mengecewakan. Kini dia telah lulus tetapi bersyarat, menjadi menantu konglomerat kaya raya siapa yang tidak ingin tetapi tidak sekarang tekad gadis itu.
Menjelang siang Ramona berpamitan dengan semua penguni pondok pesantren, semua mengharu biru, gadis cantik yang menjadi primadona di pesantren itu akan segera pergi meninggalkan kenangan. Diseretnya koper menuju pintu gerbang dan Pak Ilham bersama Ibu Zihan beserta ketua Yayasan telah menunggunya di pintu gerbang, mau balik lagi rasanya tak mungkin.
"Kami yang akan mengantarnya pulang" Ujar Ibu Zihan kepada ketua yayasan. Setelah basa basi yang tidak berarti akhirnya gadis itu masuk juga ke mobil Fortuner hitam milik mereka. Mobil melaju menembus jalanan.
"Mampir ke rumah sebentar, umi telah menyiapkan makan siang untuk menyambut calon menantu" Ujar Umi tersenyum.
Sopir mengikuti arahan sang majikan, tak selang berapa menit langsung memasuki kawasan elite. Mobil memasuki sebuah rumah mewah bak istana kerajaan. Gadis itu tetap saja menunduk sampai Ibu Zihan mengajaknya untuk turun.
Dengan masih tetap menunduk Ramona mengikuti langkah Ibu Zihan disusul Pak Ilham, jika Pak Ilham tidak segera menangkap tangannya gadis itu pasti tersandung karena tidak memperhatikan jika di depannya harus menaikan satu kaki untuk bisa masuk ke dalam rumah. Gadis itu benar-benar gugup.
"Maaf"
"Gak apa-apa sayang, ayo masuk anggap rumah sendiri" Ucap Pak Ilham ramah.
Ramona berdiri mematung, matanya bersirobok dengan sorot mata tajam Fajar yang terpampang di pigura tepat dihadapannya. Hatinya berdesir.
"Hmmm, rindu ya ama pemilik foto itu ?" Ledek Ibu Zihan sambil menarik tangan gadis itu menuju ruang makan.
"Ini udah waktunya makan siang, kita makan dulu yuk, nanti lanjut ngobrol" Ajaknya.
Ramona seakan dihipnotis dia mengikuti dengan sangat patuh bak anak TK yang diajak makan ibunya. Makan siang yang menggugah selera terhidang di atas meja, gadis itu sulit menelan makanan, dia masih benar-benar sangat kebingungan. Makanan pencuci mulut sudah dihidangkan namun tak disentuhnya sama sekali.
"Kenapa ? gak selera ya ? apa makananya gak enak ?"Tanya Umi Zihan karena melihat Ramona makan sedikit saja.
"Eeh..e..enak kok bu, cuman tadi sempat makan diasrama jadi kenyang" Kilah Ramona gugup.
"Ya udah kita ngobrol di ruang tengah" Ajak Pak Ilham
"Mona jangan panggil ibu, biasakan panggil umi aja" Ibu Zihan memulai obrolan.
"Yah, sini dekat abi, biasakan semuanya umi, abi dan anggap rumah ini rumah mona juga. "Pak Ilham mengeser duduknya dan menarik tangan Ramona duduk disampingnya. Gadis itu terlihat masih sangat canggung sampai terdengar telepon berbunyi.
Umi Zihan bergegas mengangkatnya. Terdengar tawa bahagia umi, pastilah penelponnya Fajar. begitu dugaan Pak Ilham dan benar saja.
"Mona telepon untukmu dari Fajar" Umi menyerahkan gagang telepon pada Ramona.
Sambil memberi kode kepada suaminya agar meninggalkan gadis itu biar leluasa ngobrolnya.
"Assalamu 'alaikum" Gadis itu yang memulai salamnya dan dibalas Fajar dengan hati yang bahagia dari seberang sana.
Karena gadis itu tak kunjung bersuara Fajarlah yang berinisiatif memulai pembicaraan, sebenarnya bukan enggan bicara tetapi dia ingin protes tentang Fajar yang menyembunyikan identitasnya. Fajar seorang psikolog makanya tanpa diberitahu sekalipun dia sudah langsung menebak semuanya. Akhirnya dengan permohonan maaf yang tulus semuanya mencair, terdengar tawa riang Ramona. Pak Ilham dan Ibu Zihan yang berada di seberang ruangan turut tersenyum. Karena tak terdengar lagi suara Ibu Zihan dan Pak Ilham segera menghampiri.
"Tuntas ?" Tanya Pak Ilham sambil tersenyum.
"Jangan diledekin gitu calon menantu umi..hehe"
Gadis itu tersenyum merona.
"Kisah cinta kalian berdua itu ibarat Romeo dan Juliet" Kata Pak Ilham
"Bukan bi, kalo Romeo dan Juliet mereka gak jadi nikah" Protes Ibu Zihan.
"Trus kayak siapa dong"
"Kayak Nabi Yusuf dan Zulaiha" Jawab Ibu Zihan.
"Gak bisa disamakan Umi, kalo kisah Nabi Yusuf, Zulaiha yang terus menanti Nabi Yusuf, tetapi kalo mereka berdua sama-sama saling menanti" Gurau Pak Ilham.
Mereka semua tertawa, Ramona sangat terharu. Mereka terlihat seperti ayah dan ibunya.