webnovel

Anak Atau Istri

****

"Ma, gimana aku mau punya bayi perempuan, Mas Helmi, tuh sibuk mulu sama Mbak Dinda!" adu Mariah pada Wulan, ibu mertuanya.

"Hm, kamu itu sebenarnya bisa gak buat Helmi itu benar-benar jatuh cinta sama kamu? Atau jangan-jangan kamu hanya sekadar pelampiasan saja?" sahut Wulan.

"Ih, Mama bukannya bantuin aku malah ngomong gitu. Payah!" gerutu Mariah jengkel.

"Daripada kamu mikir yang tidak-tidak, mending kamu cuciin baju Mama, ya!" titah Wulan dengan senyum yang menampakkan barisan giginya yang masih utuh di usianya.

"Loh, kok, aku? Kan ada Bibi, Ma." Mariah menolak.

"Eh, kamu nggak sadar apa? Helmi itu sudah nggak bisa bayar pembantu, kamu lupa gara-gara siapa? Gara-gara kamu!" cecar Wulan.

"Kok, sekarang malah nyalahin aku, sih!" Mariah bingung dengan sikap Mama mertuanya, bentar-bentar baik, bentar-bentar judes lagi.

"Terus nyalahin siapa? Nyalahin rumput tetangga, begitu?" sindir Wulan dengan pedas.

"Arghh," gerutu Mariah. 

Mau tak mau, akhirnya Mariah mengerjakan perintah Ibu mertuanya. Ia mulai memasukkan semuanya ke dalam mesin cuci sekaligus. 

"Ma, mesinnya nggak nyala-nyala!" teriak Mariah lagi.

"Suruh siapa nyuci di sana? Mesin cucinya rusak Mariah!" sahut Wulan dari ruang keluarga. ia sedang asik dengan majalah barunya.

Awalnya Mariah pikir, menikah dengan lelaki yang sudah mapan itu tinggal ongkang-ongkang kaki, uang mengalir tanpa henti. Ah, ternyata itu semua cuma khayalan saja.

****

Jam telah menunjukkan pukul 20:30 WIB. Helmi masih setia menjaga Adam di rumah sakit. Kekhawatiran Dinda makin menjadi ketika melihat Adam yang begitu dekat dengan Helmi.

"Mas, pulang saja dulu, kasihan Mama pasti sudah menunggumu di rumah!" ucap Dinda.

"Kok, pulang? Adam masih kangen, Ma!" rengek Adam manja, padahal umurnya sudah belasan tahun.

"Masa masih kangen? Kan, udah seharian Ayah di sini!" sahut Dinda.

"Terus kenapa Ayah pulang ke rumah Oma Wulan?" tanya Adam penasaran.

"Oma, kan nggak ada yang nemenin. Oma sudah tua, sering sakit-sakitan juga. Jadi, sesekali Ayah yang temenin. Gitu, Sayang!" Dinda masih tetap berusaha menutupi kebenarannya.

Helmi yang melihat langsung usaha Dinda untuk menutupi semuanya, membuat Helmi kagum. Sejenak ia berpikir, setan apa yang telah merasuki dirinya? Hingga membuatnya berpaling dari perempuan sebaik Dinda.

"Mas, Ayah pulang dulu. Benar kata Bunda, Ayah harus menjaga Oma, Sayang. Besok Ayah datang lagi, ya!" Helmi  pamit pada Adam, tak lupa ia mengecup kening putranya dengan penuh cinta.

Adam mengangguk, ia melambaikan tangannya. Lalu menarik selimutnya sampai dada dan mencoba untuk beristirahat.

Dinda mengantar Helmi sampai depan kamar. Ia seperti kikuk berduaan dengan mantan suaminya itu.

"Din, Mas benar-benar minta maaf!" ucap Helmi lirih.

"Pulang, Mas!" Dinda mengusir Helmi dengan halus.

"Please, Din. Jangan begini terus! Oke, aku salah, tapi jangan batasi aku untuk bertemu dengan Adam. Seperti yang kamu bilang, di tubuhnya mengalir darahku!" Helmi terus memohon.

"Aku tak ingin membahas apa-apa, aku cuma ingin Adam sembuh, Mas!" tegas Dinda. Ia mengacuhkan permohonan maaf dari Helmi.

****

"Baru pulang, Hel?" tanya Wulan ketika Helmi baru saja pulang dari rumah sakit.

"Iya, Ma. Mama belum tidur?" sahut Helmi, sambil melepas sepatunya, lalu merebahkan tubuhnya di sofa ruang tamu.

"Nunggu kamu. Jangan-jangan Adam sakit cuma alasan Dinda saja, agar kamu bisa seharian dengannya!" celetuk Wulan sambil menatap Helmi.

"Kok, suudzon? Adam di rawat di rumah sakit, Ma. Masih nggak percaya?" tanya Helmi meradang.

"Dari dulu anak itu 'kan memang manja, Hel!" sela Wulan lagi.

"Sudahlah, Ma! Badan dan pikiranku sedang capek, Mama malah ngajakin Helmi debat," gerutu Helmi.

Helmi melenggang pergi ke kamarnya, dan ia menemukan istrinya sedang rebahan, ia fokus pada ponselnya. Hingga salam yang Helmi ucapkan di ambang pintu kamar, tak mendapatkan jawaban. Mustahil tak terdengar.

"Mar, suami pulang malah acuh!" tegur helmi.

"Terus, aku harus gimana, Mas? Jingkrak-jingkrak menyambutmu yang seharian berduaan dengan mantan istrimu. Sedangkan aku di rumah, di perlakukan layaknya pembantu sama Mama kamu, Mas?" sindir Mariah, pedas.

"Siapa yang berduaan? Aku menemani Adam di rumah sakit, ini juga karena ulah kamu. Harusnya, kamu minta maaf sama aku karena udah sengaja membuat aku seperti ayah yang nggak berguna di depan Dinda!" tegas Helmi, berang.

"Hah, minta maaf? Aku nggak salah karena bukan di sengaja!" kilah Mariah berkelit.

"Sengaja nggak sengaja tapi kamu salah. Andai, ponselku tak di taruh di dalam laci sama kamu, kejadiannya nggak akan kaya gini, Mar!" bentak Helmi lagi.

'Pernikahan macam apa ini? Bertemu hanya bertengkar,' batin Helmi.

"Bisa nggak, Mas? Kamu menjadikan aku prioritas utama dalam hidupmu. AKU INI ISTRIMU!" teriak Mariah, ia benar-benar tak tahan lagi menghadapi sikap Helmi yang menurutnya hanya mementingkan anaknya.

"Kamu itu egois, Mar! Beda sekali dengan ...." ucapan Helmi menggantung, ia sadar ada yang salah dengan ucapannya.

"Siapa? Dinda? Kalau dia masih lebih segalanya dari aku, kenapa kamu memilih tetap bertahan denganku?" Pekik Mariah.

Lagi-Lagi ia harus mendengar suaminya mengagung-agungkan mantan istrinya di depannya.

"Nggak be-begitu, Mar!" Helmi tergugup, ia menarik tubuh mungil Mariah ke dalam pelukannya. Sungguh, ia tak bermaksud menyakiti istrinya.

Mariah menangis dalam pelukannya, ia memukul-mukul dada Helmi dengan tangannya. Ia merasakan sakit di hatinya karena merasa tak di hargai oleh suaminya sedikitpun.

"Aku minta maaf! Mungkin aku lelah, jadi tak bisa mengontrol emosiku," ucap Helmi, sambil mengecup kepala Mariah berkali-kali.

****

"Keadaan Adam sudah membaik, kalau mau di rawat di rumah sudah boleh, Bu!" ucap Dokter Rahma ketika visit.

"Terimakasih, Bu Dokter." 

Adam tersenyum melihatku, "Adam kangen Dek Alif, Bun."

"Iya sebentar lagi kita pulang, ketemu Dek Alif, ya, Mas!"

Dinda terlihat bahagia mendengar kabar kesehatan putra pertamanya. Namun, ia tak lupa tugasnya mencari kata yang tepat untuk menjelaskan kepada Adam, kalau ia akan segera bercerai dengan ayahnya.

"Mas Adam tunggu sebentar, Bunda harus menebus obat untuk, Mas. Nggak pa-pa, ya?" 

Sebenarnya Dinda nggak tega membiarkan Adam sendirian, tapi gimana lagi? Ketika ia menghubungi Helmi, dan mengabarinya kalau Adam sudah boleh pulang. Hanya kata Maaf yang di dapat olehnya. Alasannya, karena Helmi sedang berada di Jakarta saat ini.

Dinda berjalan menyusuri koridor rumah sakit untuk menyelesaikan administrasinya, lalu menebus obat untuk Adam. Namun, ketika ia tiba di depan apotek, antrean panjang terpampang di depan matanya. Mau tak mau, ia harus ikut mengantre.

Hampir 40 menit ia meninggalkan putranya, rasa khawatir membuat dirinya gelisah. Dinda berjalan dengan cepat, agar putranya tak menunggunya terlalu lama lagi.

"Sudah selesai, ayo pulang!" ajak Dinda pada Adam.

Namun, Adam terduduk di lantai dengan wajah yang di tekuk. Tentu saja Dinda sangat khawatir.

"Mas Adam kenapa? tanya Dinda sambil mengelus rambut anaknya.

Adam tak menjawab.

"Mas Adam marah karena Ayah nggak bisa jemput?" tanya Dinda lagi. 

Adam menggeleng, lalu memeluk bundanya dengan erat. 

"Adam lelah nungguin Bunda," jawabnya pelan.

Dinda tersenyum, lalu meminta maaf. Ia menjelaskan antrean panjang di apotek tadi.

****

Di rumah.

Ketika Dinda dan Adam sampai rumah, Alif gembira menyambut kepulangan kakaknya. Ia bercerita banyak dengan Adam.

"Mas, Alif sedih kalau lihat Bunda menangis!" ucap Alif sambil memainkan mobil-mobilan miliknya.

Degh.

Dinda terkejut bukan main mendengar ucapan anak bungsunya. padahal, sebisa mungkin ia tak menangis di depan anaknya.

"Iya, waktu itu Bunda nangis karena dengar Mas Adam sakit. Mas Adamnya 'kan sekarang baru sembuh, boleh ya kalau Mas Adamnya istirahat dulu?" sela Dinda, sebelum Alif cerita lebih banyak lagi.

"Boleh, Bun," jawab Alif.

'Ini baru awal, lambat laun ia pasti akan bercerita lagi tentang keadaan rumah yang ememang sudah tak baik-baik saja.'

_________