webnovel

Senyuman Adam

****

"Hana, bagai mana penjualan toko hari ini?" tanya Helmi pada Hana, kepercayaannya sejak lama. Termasuk, awal mula terjadi hubungannya dengan Mariah.

"Membaik dari hari-hari sebelumnya, Pak." 

"Baguslah, saya ingin segera membawa Mariah ke Jakarta. Bisa kamu carikan rumah petak yang bisa di sewa perbulan?" ungkap Helmi.

"Rumah petak? Apa Bapak tak salah bicara? Padahal, dulu Mariah ingin tinggal di rumah mewah milik Bu Dinda, kasihan sekali!" cibir Hana.

"Kita harus memulainya dari nol, Hana. Makanya, besar harapan saya toko ini bisa membantu perekonomian saya. Meskipun Dinda tak mau menjadi suplier toko kita lagi," ucap Helmi.

"Wajar Bu Dinda marah dan mengambil semuanya, kasalahan Bapak terlalu besar untuk di maafkan!" ujar Hana lagi membuat Pak Helmi tertunduk.

Ya, Helmi menyadari itu.

****

Adam berubah, wajahnya tampak murung tak bersemangat. Bahkan, ketika berbicara dengan Alif pun sangat irit.

"Mas Adam kenapa? Masakan Bunda tak enak, kah?" tanya Dinda sambil menatap Adam.

Adam menggelengkan kepalanya tanpa membalas tatapan bundanya.

"Mas Adam, cobain sosis ini, enak banget, loh!" tawar Alif sambil menaruh sosis goreng berukuran sedang di piring kakaknya.

"Mas nggak mau, Dek!" bentak Adam. 

Dinda kaget dengan emosi Adam yang meluap-luap. Terlebih Alif yang langsung terdiam, mendengar bentakan kakaknya. Sebelumnya tak pernah Adam kasar seperti ini pada Alif.

Dalam hitungan detik, Adam berdiri dari duduknya, lalu berlari ke kamarnya. 

"Bunda, Mas Adam marah sama Alif? Alif salah apa?" tanya Adam sedih.

"Mas Adam nggak marah, dia lagi pusing aja. Kan, Mas Adam baru pulang dari rumah sakit. Maafin Mas Adam, ya!" Dinda mencoba meredam keadaan.

Alif mengangguk.

"Ayo, lanjutkan makannya, Lif!" bujuk Disha.

****

"Dinda, aku dan Mama ingin menjenguk Adam, tolong izinkan kami!" pinta Helmi. Di sampingnya Mama Wulan menatapku dengan bengis.

Dinda hanya mengangguk, ia mempersilakan Helmi dan mamanya duduk terlebih dahulu, lalu meminta Mbak Sri membuatkan minuman untuk Helmi dan mamanya.

"Mas, apa yang kamu katakan di rumah sakit?" tanya Dinda geram.

"Maksud kamu? Aku tak bicara apa-apa, selain menyemangatinya untuk segera sembuh. Nggak Yang lain!" jawab Helmi, ia sedikit bingung dengan pertanyaan yang terlontar dari mulut mantan istrinya.

"Adam tiba-tiba berubah, ia lebih banyak diam. sekalinya bicara ia membentak-bentak Alif. Di tanya pun ia jarang jawab, Mas." Dinda terpaksa mengadu pada Helmi.

"Alah, anak itu dari kecil 'kan dia terbiasa manja dan cengeng. Ngambek sedikit pasti begitu!" sela Wulan.

"Ma, tolong, aku sedang tidak mau bicara dengan Mama," ucap Dinda pelan, berharap mantan mertuanya tak ikut campur. Apalagi berkomentar yang memojokkan dirinya.

"Selalu begitu! Di kasih tahu itu dengerin. Lihat, sikap anak kamu! Tak jauh beda dari kamu," lanjut Wulan lagi, membuat hati Dinda semakin memanas.

"Ma, sudah. Jangan memperburuk keadaan, ya!" bujuk Helmi agar mamanya mau berhenti memojokkan Dinda.

"Ya, sudah. Untung saja kamu sudah lepas dari perempuan model begini, Hel!" sindir Wulan.

Degh.

Ucapan-ucapan Wulan mampu membuat mood Dinda jadi buruk, bahkan sangat buruk!

"Maaf, Mas. Sepertinya aku berubah pikiran, aku tak bisa mengizinkan kamu dan mamamu untuk bertemu dengan Adam!" ucap Dinda tiba-tiba, sambil menatap mantan mertuanya yang berlidah pedas dengan tajam.

"Loh, Kok, begitu! Aku sudah jauh-jauh datang ke sini sama Mama untuk menjenguk Adam. Masa kamu tak izinkan, Din?" Helmi meradang.

"Lain kali datang ke sini, cukup kamu saja, Mas! Aku masih izinkan kamu untuk bertemu dengan anak-anak, tapi tidak dengan dia!" Dinda menunjuk wajah Wulan dengan penuh emosi.

"Oke, oke!" Helmi tampak terbawa emosi.

"Ma, tunggu di luar, ya! Biar Helmi saja yang masuk, Helmi mohon pengertian Mama!" ucap Helmi pada mamanya dengan suara yang di pelankan.

"Dasar perempuan gagal!" umpat Wulan, ia sebal karena tak di izinkan untuk bertemu cucunya.

****

"Dek Alif, mau ikut Bunda apa mau ikut Ayah?" tanya Adam pada adiknya.

"Nggak mau ikut siapa-siapa. Alif di rumah saja sama Mas Adam dan Tante Disha," jawab Alif dengan polosnya.

"Bunda sekarang sibuk, Mas. Apalagi Ayah, Alif sudah lama nggak bertemu Ayah." Jawaban Alif, sukses membuat kakaknya memeluk tubuhnya yang mungil.

Dinda membekap mulutnya. menahan isak tangisnya, mendengar obrolan kedua anaknya. Ia tak menyangka Adam lebih dulu tahu semuanya, sebelum Dinda memberitahunya.

Dinda menyeret tangan Helmi, menjauh dari kamar anak-anak. 

"Lihat! kamu bisa lihat sendiri'kan? Aku yakin kamu yang sudah memberitahunya saat di rumah sakit. Ngaku kamu, Mas!" desak Dinda.

"Demi Tuhan, aku nggak melakukan itu, Din. Percaya sama aku!" elak Helmi mencoba meyakinkan dengan kata sumpahnya, meski ia tahu Dinda tak mungkin mempercayainya begitu saja.

"Mustahil!" bantah Dinda.

"Bunda! Ayah!" panggil Alif. Ia tersenyum lalu berlari menghambur memeluk Dinda dan Helmi bergantian.

Adam Hanya berdiri di depan pintu kamarnya, tatapannya dingin dan kaku, bahkan tak ada ulasan senyum di bibirnya. Lalu, berbalik masuk kamar dan menutupnya dengan rapat.

"Biar aku saja yang masuk!" ucap Helmi. Kembali meyakinkan Dinda, kalau ia mampu menenangkan putra pertamanya.

Dinda mengangguk, memberi Helmi kesempatan untuk bicara dari hati ke hati. Mudah-mudahan Adam mau mengerti. Dinda memeluk Alif dengan perasaan yang hancur.

'Kenapa harus ada badai dalam rumah tangganya? Dulu, terasa sempurna, hampir tak ada cela. Namun, sekalinya badai menghantam, ia mampu meruntuhkan juga memporak porandakan segalanya.'

'Andai, dengan berteriak ia mampu melepas beban hatinya, mematikan semua rasa yang telah ada sejak lama dan mengubah hati manusia kembali pada seharusnya. Andai saja perselingkuhan itu tak pernah ada dalam ceritanya!'

****

"Apa kabar, Mar?" tanya Luna, ketika ia berpapasan dengan Mariah di sebuah supermarket terkenal berlogo Y.

"Ya ampun, Luna. aku baik, kamu sendiri gimana?" tanya Mariah dengan gayanya.

"Baik, Mar." Luna menjawab dengan perasaan miris atas kehidupan Mariah. 

Ia terlahir cantik mempesona, perawakannya yang mungil menjadikannya terlihat awet muda. Namun sayang, lelaki yang menjadi incarannya adalah lelaki berduit, tak peduli lelaki itu sudah tua, dan memiliki keluarga. Pak Helmi salah satunya.

"Eh, katanya kamu menolak kerja di jakarta, padahal gajinya lebih gede, loh, Lun!" tanya Mariah.

"Aku nggak tega jauh dari Hasby, Mar." Luna menunduk sedih, mengingat ia harus membesarkan anaknya sendirian.

"Gampang, kamu ikutin jejak aku aja, cari lelaki berduit biar hidupnya enak. Haha." 

'Sungguh, itu bukan solusi yang baik untukku, Mar. Aku tak mungkin mencari pasangan dari hasil merebut suami orang, apalagi yang sudah memiliki anak. Aku akan menjawab apa jika ia bertanya, kenapa aku menggantikan posisi ibunya di hati sang Ayah, saat ia telah besar nanti?' batin Luna.

"Bagaimana kabar Pak Helmi, Mar?" tanya Luna, ia sengaja mengalihkan topik pembicaraan.

"Baik dong, dia lebih fresh sejak menikah denganku," sahutnya, sombong. Padahal Luna tahu, Pak Helmi sedang berjuang keras untuk memulai bisnis baru di Jakarta.

"Baguslah, setidaknya kamu tidak akan menyesal memiliki Pak Helmi seutuhnya," sindir Luna.

"Tentu saja, Lun. Biar lebih enak, kita ngobrolnya sambil makan aja, aku mau cerita banyak sama kamu. Tenang aku yang bayar, deh!"

"Ma-maaf, Mar. Aku sedang buru-buru. Hasby susunya habis, ini aku di sini karena beli susu untuk Hasby. Mungkin, lain kali saja." Luna menolak ajakan Mariah.

"Ya ampun, Aku lupa Hasby sudah nggak punya ayah," celetuk Mariah.

"Oya, aku titip untuk Hasby. Lumayan, buat tambahan jajannya nanti. Bilang sama Hasby untuk do'akan tantenya biar tambah kaya raya, dia 'kan anak yatim pasti do'anya cepat di kabulkan sama Tuhan. Bukan begitu, Lun?" ucap Mariah. Ia menyelipkan selembar uang berwarna biru ke tangan Luna.

Menghindari obrolan yang membuat hati Luna semakin sakit, Luna langsung pamit pulang. Ia benar-benar tak habis pikir dengan pola pikir Mariah, terbuat dari apa hatinya, hingga senangnya menyakiti hati wanita lain demi mencapai tujuannya?

'Untung, kalau kaya beneran, tapi kalau pura-pura kaya, menyedihkan!'

Selembar uang senilai lima puluh ribu yang sempat di berikan Mariah untuk Hasby, Luna masukan ke kotak amal musala.

'Tak akan kubiarkan uang hasil menyakiti perempuan lain masuk ke dalam perut anakku!'

__________