webnovel

Identitas Kekasih Tomi

Diara kemudian mengedarkan pandangan. Pertokoan yang belum begitu tinggi, dengan ciri khas bangunan peninggalan zaman penjajahan, dilihatnya. Polusi udara belum seburuk di tahun 2017.

"Sayang.. kau baik-baik saja?"

Diara mengerutkan dahi. Memasang ekspresi jijik.

"Ugh, aku tidak terbiasa dengan panggilan itu. Bisa kau panggil namaku saja?"

Tomi menatap Diara bingung. "Kau, sungguh tidak apa-apa?"

Diara mendesah singkat. "Berapa kali harus aku katakan—aku baik-baik saja."

"Tapi, kau paling benci jika di panggil nama saja."

"Oh, sungguh?" Diara tetap memasang wajah jijik.

Tomi mengangguk. "Ayo kita cepat pergi dari sini. Sebelum, mereka datang kembali."

Tomi meraih tangan Diara, yang kemudian ditolak mentah-mentah oleh Diara.

"Ki-kita jalan sendiri-sendiri saja."

"Kau, sungguh aneh sore ini."

Keduanya pun berjalan berjauhan. Diara ada di belakang Tomi.

"Kau, tidak lapar?" tanya Tomi, sedikit menengok pada Diara. Dengan kedua tangan, yang di masukkan pad saku celananya.

"Tidak."

Seketika, gemuruh perut Diara terdengar. Tomi terkekeh.

"Perutmu berkata lain, Sayang. Ayo kita makan dulu."

"HEI! Sudah aku katakan—jangan panggil aku seperti itu!"

"Lalu? Aku harus memanggilmu dengan sebutan apa?"

"Panggil saja namaku."

"Aah, tidak menarik."

Tomi menghentikan langkah. Berbalik, menghadap Diara.

"Baiklah. Aku akan memanggilmu dengan sebutan ini saja."

"Apa?"

"Kekasihku."

Diara mendesah kesal. "Cepat jalan. Kalau tidak, aku buat hidungmu berdarah!"

Tomi meringis. Menunjukkan sederet giginya yang kecil.

**

Mereka tiba di salah satu pusat perbelanjaan terkenal di masanya. Berdiri di sebuah tempat makan, yang menyediakan makanan cepat saji dengan berlogo M. Dengan ikon badut berbaju kuning merah.

"Kau, pasti bahagia, kan?" tanya Tomi, tersenyum bangga. Berkacak pinggang.

Sementara, Diara melongo.

"Kita akan makan di sini?"

Tomi mengangguk. "Kau, pasti belum pernah makan di sini, kan?"

Kini giliran Diara yang meringis. "Hehe. Sudah sering."

"Hah? Dengan siapa kau kemari?! Katakan! Siapa laki-laki itu?!"

Tomi melotot ke arah Diara, yang akhirnya membuat pukulan mendarat di kepalanya.

"Jangan berisik! Ayo cepat masuk."

Diara berjalan terlebih dahulu. Sementara Tomi mengusap-usap kepala belakangnya.

"Gadis itu, aneh sekali hari ini."

**

"Kau, cari tempat duduk saja. Biar aku yang mengantre. Kau, mau apa? Di sini.. yang paling hits itu-"

"Burger keju. Dan, kola. Jangan lupa, kentang goreng."

Tomi bernapas cepat. Mengerucutkan bibirnya kesal.

"Kau, sungguh sudah pernah ke sini rupanya! Padahal, ini baru saja di buka beberapa bulan yang lalu."

Diara mendesah kesal. "Bisa tidak? Kau, berhenti menggerutu? Huh? Aku sudah lapar sekali!"

Tomi pergi, tanpa menjawab. Dengan hentakan kaki yang kesal, tentunya. Diara menggelengkan kepala, melihat tingkahnya.

"Kasihan sekali, yang menjadi kekasihnya di masa depan."

Lantas, Diara mengedarkan pandangan. Dan, menemukan kursi kosong, di dekat jendela. Tepat, lurus dari tempatnya berdiri.

Saat Diara baru melangkahkan kaki—seseorang berjaket hitam, tak sengaja menyenggol dirinya.

"Aduh."

Diara hampir terjatuh, jika saja keseimbangan tubuhnya tidak di pertahankan. Tubuhnya hanya terbungkuk saja. Sehingga, dapat melihat sepasang sneaker yang di kenakan oleh seseorang itu.

"Maaf," kata seseorang itu, yang ternyata laki-laki.

Namun, wajahnya tak terlihat. Karena, tertutup tudung jaket.

"Oh, iya. Tidak apa-apa."

Diara kembali berjalan. Dan, duduk di kursi yang sudah di pilihnya tadi.

Sekitar 20 menit kemudian, Tomi datang membawa nampan yang berisi 2 burger, 2 kola, dan 2 kentang goreng. Tomi meletakkan nampannya, di atas meja.

"Beruntung sekali, kau. Sering menikmati makanan mahal seperti ini."

Diara mengambil burgernya. Membuka bungkusnya.

"Memang, berapa harga burger di tahun ini?"

"2.000 rupiah."

Bola mata Diara membeku. Menatap Tomi.

"Kenapa? Terkejut, kan? Sangat mahal."

"Hei, 2.000 rupiah itu adalah harga parkir di toserba di tahunku."

"Hah? Toserba mana? Yang besar itu?!"

"Ah, di tahun ini belum ada toserba kecil, ya?"

Tomi mengernyitkan dahi. "Kau, seperti dari dunia lain saja. Kenapa, sejak tadi kau bilang tahun ini—tahunmu. Memang, kau berasal dari tahun berapa? 2017? Huh?"

Diara melebarkan matanya. "Bagaimana kau tahu?"

Tomi mendengus. "Kau, sudah tidak waras, Sayang."

"Tomi!"

"Oh, aku lupa. Maksudku—Kau Sa—Ke— ah! Kenapa begitu sulit?! Sudahlah, Sayang itu sudah sangat tepat!"

"Panggil namaku!"

"Katamu, kau benci namamu. Karena itu, aku tidak mau memanggil namamu."

Diara mendesah singkat. "Kita makan saja."

**

"Ah, kenyang sekali," kata Tomi. "Memang, juara tempat ini."

"Jadi, kita kemana sekarang?" tanya Diara. Kembali mengedarkan pandangan, pada jalan raya, yang hampir di dominasi oleh Jeep dan Sedan.

"Kemana lagi? Kita pulang, tentu saja."

"Kau, bawa kendaraan?"

"Tentu saja. Tunggu sebentar."

Tomi berjalan semakin mendekat jalan raya. Menatap lurus di kejauhan. Dan, merentangkan tangannya ke samping. Kemudian, melakukan gerakan seperti memanggil seseorang dari kejauhan.

Sebuah angkutan umum, yang memiliki kernet berhenti. Diara mendengus.

"Jadi, ini kendaraan mu?" gumamnya.

"Ayo cepat masuk," ajak Tomi, dengan senyuman.

Diara berjalan mendekati angkutan. Sedikit membungkukkan badan. Dan, duduk di deretan paling belakang. Di mana, tepat di depannya adalah seorang ibu-ibu, yang memicing tajam ke arah Diara. Sembari, memperbaiki selendang hijaunya. Diara tersenyum kepadanya.

"Anak muda zaman sekarang, pakaiannya pendek sekali. Awas masuk angin!" gerutu Ibu itu.

Diara hanya terkekeh kikuk.

"Abaikan saja. Mungkin, masa mudanya tidak menyenangkan dulu," kata Tomi. Duduk di sebelah Diara.

Selanjutnya, dalam perjalanan di angkutan umum, mereka banyak diam. Tak bersuara. Satu persatu, penumpang turun di tempat tujuannya. Menyisakan Diara dan Tomi.

"Pak, pohon besar di depan berhenti, ya?" kata Tomi, pada kernet.

Sepersekian detik kemudian, angkutan menghentikan lajunya. Tomi turun terlebih dulu. Diara menyusul. Angkutan pun kembali melaju. Meninggalkan asapnya yang mengepul di belakang.

"Sudah sampai," kata Tomi.

"Huh? Sampai di mana?"

"Kepalamu terbentur sesuatu? Kenapa, kau tidak ingat rumahmu?"

"Rumahku?"

Tomi mendesah singkat. Berjalan mendekati Diara. Menutup jarak di antara mereka. Memegang kepala Diara dengan kedua tangannya. Dan, menengokkan kepala Diara ke sebelah kiri.

"Itu rumahmu."

Diara melihat rumah berpagar hitam, dengan banyak pohon dan bunga di depannya.

"Aah, i-iya. Hehe."

"Cepat masuk. Hari mulai gelap." Tomi mundur selangkah.

"Lalu, bagaimana kau akan pulang? Apa masih ada angkutan umum yang lewat?"

Tomi tersenyum. "Ternyata, kau masih mengkhawatirkan kekasihmu ini."

"Ah, salah bicara aku rupanya."

"Hehe. Tenang saja. Aku bisa jalan kaki."

"Hah? Jalan kaki? Sungguh? Apa, perlu kita tunggu taksi saja?"

Tomi kembali mendekati Diara. Kali ini, ia memegang kedua bahu Diara.

"Tidak, Sayang. Uang terakhirku, cukup untuk membayar angkutan umum tadi. Ini sebagai bukti, jika aku sangat mencintaimu."

"Aish, kenapa baru bilang?"

Diara merogoh kantung celananya. Kemudian, mendesah singkat. Tomi terkekeh.

"Kau, mau memberiku uang?"

"Tadinya. Tapi, aku tidak punya."

"Haha. Kau, unik sekali hari ini. Sudah, cepat masuk. Nanti, ibumu marah lagi."

"Aku akan melihatmu pergi dulu."

"Ah, begitu?"

Diara mengangguk. "Hati-hati di jalan. Jangan lupa tele-"

"Ah, benar.. ponsel belum terkenal di tahun ini," kata Diara dalam hati.

"Telepon rumahku, ya?"

"Baiklah. Aku pergi."

Diara mengangguk. Sembari melambaikan tangan. Tomi berbalik badan. Berjalan. Kemudian berbelok ke kiri. Membuka pagar putih, yang ada di balik pohon besar. Diara mengernyitkan dahi. Berlari mendekatinya.

"Ini.. rumahmu?"

Tomi mengangguk. Diara mendesis kesal. Memukul kepalanya berulang.

"Seharusnya, kau bilang dari tadi, bodoh! Aku sudah merasa kasihan padamu."

"Aish! Ada apa denganmu?! Kita sudah bertetangga sejak kita SMP!"

Diara diam. Menelan ludah gugup. "Maaf, aku lupa."

Mungkin lebih tepatnya, Diara memang tidak tahu.

"Aku masuk dulu!" pungkas Tomi. Mendorong pagar masuk ke dalam.

"Mmm.. Tomi.."

"Ada apa lagi?"

"Oh, aku tahu mungkin ini terdengar aneh bagimu. Tapi—bisakah kau beritahu siapa namaku?"

Tomi mendesah singkat. Mundur selangkah. Menghadap Diara.

"Kau, benar-benar bertanya? Atau, hanya memancingku? Agar kita bertengkar?"

"Tidak. Sungguh, aku ingin tahu siapa—namaku."

Tomi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Mendesah singkat.

"Ranti."

Diara membeku saat mendengar nama itu.

"Ranti?"

Tomi mengangguk.

"Jadi—kau adalah Ayahku?"