webnovel

Gadis Bernama Ranti

2016, Panti Asuhan

Camelia—pemilik panti asuhan memberikan sebuah kertas yang terlipat rapi pada Diara.

"Apa ini?"

"Surat ini di temukan di dekatmu, saat kau aku temukan dulu."

Diara menatap selembar kertas yang sudah ada di tangannya itu.

"Jadi—ini adalah surat dari Ibuku?"

Camelia mengangguk. Sementara, Diara mendesah panjang.

"Baca saja di sini. Aku akan membuatkan mu teh hangat," kata Camelia, kemudian berjalan keluar dari ruangannya.

Diara masih terus menatap kertas itu. Mendesah panjang dan berat. Takut-takut, jika isinya akan semakin menyayat hatinya sendiri.

Aku tidak tahu, harus mengatakan apa padamu.

Kehadiranmu—terlalu tiba-tiba untukku.

Bukan aku tak ingin menjagamu hingga dewasa.

Aku takut, jika nantinya hanya akan membuat hidupmu sengsara.

Kamu, yang belum aku beri nama—jangan, pernah mencari tahu siapa aku. Atau pun, Ayahmu.

Anggap saja, kami membuang mu.

Daripada, kau tahu rahasia kelahiran mu.

Yang hanya akan membuatmu terluka.

Maafkan aku,

Ranti—Wanita yang melahirkan mu.

Diara meremas kertas. Jemarinya gemetar hebat. Menahan amarah dan kecewa yang luar biasa. Yang di takutkan olehnya, benar terjadi. Isi surat itu—hanya membuatnya semakin tak bisa mensyukuri hidupnya. Ia menundukkan kepala. Dengan gigi bergemeretak. Menahan air matanya, agar tidak keluar. Meski, bola matanya sudah memerah.

"Aku tidak boleh menangisi manusia berengsek seperti mereka. Aku tidak boleh menangis!"

Camelia hanya bisa menahan langkahnya, di ambang pintu. Dengan membawa nampan, yang di atasnya ada 2 cangkir.

**

"Ranti?" Diara mengulangi kata-kata Tomi.

Tomi mengangguk.

"Namaku—Ranti?"

"Iya! Harus berapa kali aku ulangi?"

"Kau, tidak sedang bercanda, kan?"

Tomi mendesah kesal.

"Kau, masuk ke dalam rumah. Tanya Ibumu. Atau, lihat akta kelahiran mu!"

Diara memejamkan mata singkat. Berkacak pinggang. Melebarkan sedikit kakinya.

"Tunggu—ini sebuah kebetulan. Atau, memang sudah di rencanakan?"

"Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan? Cepat masuk! Senja sudah mulai terlihat!"

Diara terkesiap kemudian. Menatap Tomi lamat-lamat.

"Jadi—kau adalah Ayahku?"

"Heh?! Apa? Aku? Ayahmu?! Ran—Em, Sa—Ah, sudahlah! Sayang! Kau, ini sudah tak waras? Kenapa kau tiba-tiba mengatakan hal itu?"

"Benar, kan? Jika aku Ranti. Dan, aku berkencan denganmu di tahun ini—Sudah pasti, kau Ayahku! Ini tahun kelahiran ku."

Tomi mendorong udara keluar melalui mulut. Berusaha mengontrol emosinya.

"Kau sudah mulai kerasukan setan. Bicaramu semakin melantur. Cepat masuk!"

"Tapi, tunggu—"

Tomi merajuk kesal. "Apalagi?" Ia menghentakkan tubuhnya dengan kesal.

"Waktu itu—aku melihatmu mati. Tak mungkin, jika kau adalah Ayahku."

Tomi mendengus. Berjalan perlahan mendekati Diara. Berdiri tepat di belakang Diara. Dan, mengunci leher Diara.

"Ough! Lepaskan! Sakit!" Diara memukul lengan Tomi secara berulang.

"Sakit?! Huh? Itu yang kau rasakan?! Biar saja! Agar kau sadar! Apa? Aku akan mati? Ramalan di majalah tadi pagi mengatakan, jika aku akan berumur panjang! Bisa-bisanya, kau mengatakan aku akan mati!"

"Lepaskan!"

"Tidak! Sebelum kau minta maaf."

Diara kemudian menggigit lengan Tomi. Dan, berakhir dengan pekikan kesakitan. Tomi segera mundur. Mengibas-ibaskan lengan kanannya.

"Ranti! Sakit!"

"Sekarang, kau berani menyebut namaku? Lain, kali jangan begitu."

Diara berjalan melewati Tomi. Dan, mendorong masuk pagar hitam, yang tingginya hanya mencapai pinggangnya.

Diara masuk ke dalam halaman rumah yang terlihat asri. Ia mengedarkan pandangan.

"Jadi, wanita itu tinggal di sini dulu?" gumamnya.

Dia enggan memanggil wanita yang sudah melahirkan dirinya, dengan sebutan Ibu.

"Cukup kaya juga. Rumahnya juga besar. Juga, punya mobil."

Diara melihat di depannya ada sebuah sedan abu yang terparkir.

"Lantas, kenapa dia meinggalkan ku di panti asuhan. Sangat tak bertanggung jawab sama sekali. Pasti, dia sudah menikah dengan orang kaya. Dan, tinggal di luar Negeri sekarang."

Ia terus menciptakan persepsinya sendiri. Hingga, ia menginjakkan kaki pada keramik cokelat di teras rumah. Kemudian, mengetuk pintu berwarna cokelat muda dengan kaca berjejer 3 ke bawah.

"Iya? Siapa?"

Sang pemilik rumah membuka pintu. Seorang wanita cantik, dengan kulit putihnya. Rambut sebahu mengembang. Riasan tebal di bagian mata. Juga, bibir yang merah merona. Memakai dress bunga selutut. Dengan dua sisi bahu yang menonjol.

"Aku kira siapa. Kenapa, kau mengetuk pintu? Biasanya, juga pintu kau tendang."

Diara meringis. Mengangkat tangannya. Lalu, melambai.

"Hai, Nenek."

Ira—wanita berusia 30 tahun, ibu dari Ranti itu mengernyitkan dahi.

"Kau, sudah ingin mulai pertengkaran?!"

Diara meringis.

"Aku lupa. Jika, wanita ini adalah Ibu dari pemilik nama yang aku pakai sekarang," katanya dalam hati.

"Ah, maafkan saya. Saya hanya bercanda."

"Maaf? Saya? Kau—mengkonsumsi alkohol?"

"Tidak! Sungguh! Aku tidak minum hal menjijikkan itu."

Ira mendecak kesal. "Cepat masuk! Langit sudah petang!"

Diara mengangguk sopan. Lalu, masuk ke dalam rumah. Tampak bersih dan rapi. Rak cokelat kayu, terpasang di atas sofa merah. Rak yang memiliki sekat-sekat kecil itu, di beri patung-patung kecil, yang kepalanya dapat bergoyang. Piring-piring dengan corak estetik, juga menjadi pengisi pada dinding kosong.

"Kau, keluar dengan Tomi?"

"Iya."

Diara menengok pada Ira, yang duduk di sofa. Menyilangkan kaki. Dengan mengeluarkan asap putih dari mulutnya. Diara sedikit terkejut akan hal itu.

"Kenapa? Bukan pertama kalinya, kan? Kau melihatku merokok."

"Ah, iya."

"Awas saja, kalau kau keluar dengan Darma! Aku tak sudi melihatnya!"

"Darma? Siapa lagi itu? Apa mungkin, kekasih wanita ini?" kata Diara, dalam hati.

"Jawab aku!"

"I-iya."

Ira mendengus. Sembari menyunggingkan senyum.

"Kau penurut sekali hari ini? Biasanya, kau membangkang. Dan, membela dia!"

"Aaah, aku sudah paham situasi di sini. Mereka tidak akur," kata Diara, dalam hati.

"Sudah seharusnya, aku menurut pada An—Ibu. Hehe."

"Syukurlah, kalau kau sudah sadar. Cepat masuk. Dan, istirahat."

Diara mengangguk. Lalu, mengedarkan pandangan. Ada 3 pintu cokelat di depannya. Salah satunya terdapat hiasan kerang, yang digunakan untuk korden.

"Sial. Yang mana kamarnya?"

"Kenapa kau diam di situ?! Cepat masuk kamar!"

Diara berbalik badan. Dan, tersenyum bodoh.

"Maaf—kamarku yang mana?"

Ira mengernyitkan dahi. "Kau, benar-benar mabuk rupanya."

Diara tersenyum kikuk.

"Pintu yang ada korden kerang. Itu kamarmu."

"Ah, terima kasih."

Diara segera masuk ke dalam kamar. Dan, merebahkan diri pada ranjang.

"Aku seperti orang bodoh, rasanya."

**

"Ja-jangan. Tolong, jangan bunuh aku! Aku mohon."

Gadis yang sudah terpojok itu berlutut. Dan, memohon ampun pada seseorang yang membawa golok di depannya.

"Sudah terlambat. Aku—adalah orang yang selalu menyelesaikan pekerjaannya."

"Lantas, kenapa aku? Kenapa harus aku yang menjadi korban mu?! Bahkan, aku tidak mengenalmu!" jerit gadis itu, dengan nada depresi.

"Kemarin, aku berdiri di depan sekolah ini. Lalu, bermain dengan diriku sendiri "Siapa yang tidak menyingkir, itu yang kena" sambil mengarahkan telunjukku pada beberapa siswa, yang keluar dari gedung sekolah. Dan—Boom! Pilihan itu jatuh padamu. Haha. Kau, sangat beruntung, kan? Bisa terpilih olehku. Harusnya, kau merasa tersanjung."

"Kau, gila! Kau, sudah tidak waras."

Seseorang itu menyeringai. Dan, mengayunkan goloknya.