webnovel

Am I Normal?

HI! BANTU AKU UNTUK MENGOLEKSI BUKUKU YANG LAIN, YA! *^O^* Youichi Haruhiko menyukai seorang pria bernama Takayashi Daiki di sekolahnya, yang berada di kelas berbeda darinya. Sudah cukup lama, sejak mereka masih di tahun pertama hingga mereka lulus dan berlanjut pada jenjang perkuliahan. Awalnya, ia hanya dapat memandangi orang yang ia sukai dari kejauhan dan hanya dapat menyukainya dalam diam semata. Ia tidak mempunyai nyali untuk berbicara dengannya atau bahkan menyatakan perasaannya. Menurutnya sangat mustahil untuk dilakukan! Hingga, suatu keadaan yang bertolak belakang dengan pemikirannya terjadi dan membuat mereka dapat saling berbicara, juga dapat lebih tahu mengenai sikap yang tidak diduga-duga dari orang yang disuakainyabanya! Namun, sangat sulit bagi Haru. Orang yang ia sukai adalah seorang yang tidak dapat mengutarakan isi hati sebenarnya dan membuat Haru serasa terombang-ambing dalam hubungan yang tidak pasti. Ingin mundur, tetapi ia sudah terlalu jauh melangkah. Ingin tetap maju, tetapi hubungan tak pasti bukanlah hal yang membuatnya senang walau perasaannya masih terus mencintainya. Jadi, bagaimana selanjutnya? Naskah: Maret, 2018 Dipublikasikan: WP (September, 2018) dan WN (Agustus, 2019)

Mao_Yuxuan · LGBT+
Peringkat tidak cukup
45 Chs

Maafkan Aku!

With the night comes the ghost...

And the lights disappear...

Know that I won't let go...

And if dreams become real...

"Oi! Bisakah kau berhenti?!" Daiki menepuk pundaknya dengan begitu keras hingga membuatnya terkejut.

"Aku sedang membaca! Tolonglah...suaramu sangat mengganggu..." Lanjutnya, lalu kembali membaca buku di tangannya.

"Ha ha...dasar..." Haru hanya bisa menertawakan teguran yang cukup menyebalkan itu, dan melakukan apa yang ia inginkan.

Haru begitu menyukai lagu yang ia dengarkan saat ini. Begitu merdu dengan makna yang begitu dalam. Walau ia tak mengetahui cara memaknai suatu lagu, tetapi ia dapat ikut merasakan perasaan dari lagu tersebut.

You should know...

Not here, not now, not ever!...

Ia begitu menikmati musik yang ia dengarkan di earphone-nya, dengan bibir yang terus mengikuti setiap lirik tanpa bersuara. Kata demi kata, seakan ialah tokoh utama di dalam cerita lagu yang sedang dinikmatinya.

Haru memandang Daiki yang saat itu sibuk dengan buku yang iabaca tanpa mempedulikan keberadaannya. Ia tersenyum memandangi wajah itu; memandangi bibirnya yang sesekali bergerak. Begitu Indah. Namun, ia tak ingin berlama-lama dan kembali memalingkan wajahnya. Cukup berbahaya untuk orang sepertinya.

Ia bersandar pada dinding putih kekuningan. Sesekali melirik ke arah Daiki, berharap Daiki melakukan hal yang sama hingga mata mereka bertemu, dan membuat debaran diantara mereka. Ia belum bisa menghilangkan halusinasinya.

"...You should know..."

"...There's no retreat and no surrender..."

Ia menyanyikan lagu itu dengan cukup keras hingga membuat Daiki terkejut, lalu segera memukul kepalanya dengan buku yang ia pegang.

"Kau tuli ya?!" Kata Daiki yang kesal karena kejahilan Haru yang memang ia sengaja.

"Jika kau lakukan lagi, akan kuhajar kau, sampah!" Lanjutnya.

Bukannya segan dan merenungkan perbuatannya, kali ini, Haru malah menertawakannya. Ia tahu bahwa Daiki pasti akan begitu kesal dengan hal itu, tetapi perasaan ini sudah ia rasakan sebelumnya, dimana dengan Daiki memarahinya seakan ia memperhatikannya. Ia begitu menyukainya.

Tangannya pun segara bergerak dengan jari yang perlahan melepas sebelah earphone-nya. Ia kemudian mengenakannya pada telinga sebelah kiri Daiki. Tentu saja mendapat penolakan darinya, dan segera menyingkirkan tangan dengan jari yang sudah menyentuh telinganya.

"Jangan ganggu!" Tegas Daiki yang sudah mulai kesal.

"Dengar dulu...kau pasti menyukainya" Haru tetap berusaha agar Daiki ingin mendengarkan lagu yang ia dengarkan saat ini.

"Jika kau tak mau...umm... mm...ja-jangan abaikan aku...kumohon..." Lanjutnya dengan menatap matanya untuk meyakinkannya bahwa ia benar-benar serius mengatakan hal yang mungkin dianggap sebagai lelucon olehnya.

Kapan perhatian Daiki akan tertuju padanya? Kapan ia bisa mengobrol banyak hal dengannya? Haru begitu menginginkan saat-saat yang seperti itu bisa terjadi diantara mereka; saat dimana mereka bisa menghabiskan banyak waktu dengan mengetahui satu sama lain.

Mereka memang sudah lebih dekat dari sebelumnya. Dari sejak tak saling berbicara hingga mereka bisa duduk bersebelahan seperti sekarang ini. Akan tetapi, walau demikian, ia belum dapat berbicara banyak hal dengannya. Bahkan, Daiki tidak benar-benar peduli dengan adanya ia saat ini bersamanya. Mungkin karena belum cukup lama. Ia tetap akan berusaha.

Hal yang sama sekali tak pernah ia duga terjadi, seperti sebuah keajaiban baginya. Perlahan tangan Daiki bergerak, lalu mengambil earphone yang ia pegang saat itu. Jemarinya yang hangat menyentuh jarinya. Seketika debaran di dadanya tak mampu dikendalikan oleh tubuhnya; dibuat kepalanya tak mampu mangolah setiap katanya.

Ia terus saja menatap Daiki yang mulai mengenakan earphone yang baru saja direbut dengan lembut dari jemarinya. Ada banyak hal yang ingin disampaikan dari bibirnya, tetapi kepalanya serasa lupa cara menyusun kalimat yang ingin disampaikannya sebab jantung yang terus saja berpacu.

"Lumayan...tidak terlalu buruk..." Kata Daiki yang saat itu ikut menyandarkan punggungnya pada dinding.

Haru dapat merasakan aroma parfum yang ia gunakan. Aroma manis dan menyegarkan. Aroma yang sama di atap gedung sekolah. Benar-benar cocok untuknya. Namun, kali ini benar-benar seperti membuatnya candu sampai tak ingin memalingkan wajahnya.

"Dimana kau pertama kali mendengar lagu ini?" Tanya Daiki dengan mata yang tertuju pada ponselnya.

Jantungnya seakan membuat telinganya tak berfungsi sampai tak mendengarkan pertanyaan yang baru saja diberikan untuknya. Tidak. Ia mendengarnya dengan jelas, tetapi bibirnya seolah mati rasa, tak mampu mengucapkan kata. Sedang matanya terus saja menatap wajah orang yang mengajukan pertanyaan itu. Bibir, hidung, mata, sangat sempurna, pikirnya.

"Oi! Kau mendengarku?!" Kali ini Daiki sedikit lebih keras, dan segera menyadarkan Haru.

"Woah! Apa kau mengatakan sesuatu...?" Kata Haru sambil menggaruk-garuk kepalanya.

"Arh! Kau sangat menyebalkan! Lupakan saja..." Cetus Daiki yang sudah kesal dibuatnya.

"Oh!...lagu ini? Aku mendengarnya di sebuah cafe haha..." Kata Haru yang terbahak-bahak.

"Kau mau kesana? Bagaimana jika minggu ini?" Tanya Haru yang begitu bersemangat seolah Daiki akan menyetujuinya.

Daiki menatapnya. Tatapannya benar-benar berbeda dari tatapan sebelumnya. Dingin? Iya, tetapi lebih dingin dari sebelumnya. Tatapan yang jauh lebih menakutkan baginya hingga memudarkan sikap optimis nya. Daiki tak perlu mengatakan apa yang ia putuskan, karena dengan menatapnya saja sudah menjelaskan segalanya. Ia menolaknya.

Tak berlangsung lama hingga pesan singkat masuk pada ponsel Haru, dan membuyarkan suasana kaku saat ini--terima kasih untuk yang telah melakukannya. Ia pun segera memeriksa siapa yang mengiriminya pesan tersebut.

...Temui aku di club musik sekarang...

"Huffft..." Haru menghela napas panjang, lalu memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya tanpa membalas pesan dari orang itu.

Setelah beberapa saat tak ada yang saling berbicara, Daiki pun melepas earphone di telinganya dan segera berdiri.

Haru ikut berdiri setelahnya. Ia kembali menatap punggung itu, sama seperti waktu itu. Kecemasan, rasa takut, hatinya merasakan dua hal secara bersamaan dalam satu waktu. Apakah ini akhirnya? Apakah ia akan membencinya? Mengapa ia begitu ceroboh?--Bodoh! Bodohnya! Ia memaki diri sendiri; kesal dengan diri sendiri sembari terus menatap punggung yang mulai bergerak menjauhinya.

"Minggu ini. Jam 1. Jangan membuatku menunggu..." Kata Daiki dan kemudian segera mempercepat langkah kakinya.

Apa?! Ia mendengar sesuatu yang begitu penting. Minggu, jam 1. Bukankah, itu berarti kalau ia menyetujuinya?! Tapi, mengapa? Bukankah ini terkesan aneh? Aneh? Mengapa hal menyenangkan ini terkesan aneh?

Halusinasi? Ia menyangkalnya. Ia benar-benar dalam keadaan sadar, dan menyadarinya benar-benar membuatnya begitu gembira hingga membuatnya seperti ingin mengatakan ke semua orang jika mereka akan berkencan minggu ini. Kencan? Tch! Kencan baginya, tapi tidak untuk Daiki. Tidak masalah. Jalan berdua adalah kencan baginya.

Sunggu diluar dugaannya. Sungguh benar-benar sebuah keajaiban untuk kedua kalinya. Ia mungkin keheranan, tetapi senang lebih pasti lagi baginya. Ia berharap, hal baik ini merupakan awal dari sebuah langkah yang lebih pasti.

"Kau mau pulang bersamaku nanti?" Tanya Haru dengan sedikit membesarkan suaranya.

"Aku akan menunggumu!" Lanjutnya.

"Tidak!" Jawab Daiki begitu singkat dan semakin menjauh.

Dengan penuh harap, Haru menanyakan hal semacam itu. Ia tak menganggap hal itu mustahil karena sebelumnya hal yang lebih mustahil telah disetujui olehnya. Namun, sepertinya keberuntungan tidak selalu menyertainya.

Bukanlah suatu masalah yang perlu ia pikirkan. Minggu, jam 1. Ia segera mencatatnya dalam kalender di ponselnya. Hal penting ini hanya ada saat sang Dewi Fortuna menghendakinya. Ia tak mungkin mengabaikannya.

Ia teringat untuk menemui seseorang di club musik. Kesenangannya hampir saja membuatnya melupakan hal itu. Kurang dari 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Masih ada waktu untuk berbicara dengan orang yang sedang menunggunya saat ini.

*****

Haru mengetuk pintu di club musik tersebut. Terdengar dari dalam, seseorang mempersilakannya untuk masuk dan ia pun segera bergegas masuk.

Terlihat seorang wanita yang sedang memainkan piano di hadapannya, seolah sedang menyambut kedatangannya. Jari lentiknya begitu lihai menekan tiap titik nada hingga menghasilkan melodi yang begitu merdu, dan bergema di setiap sudut ruangan.

"Erika...ada apa?" Tanya Haru dengan nada suara yang sedikit datar.

Wanita itu bernama Erika. Nakahara Erika. Ia di tahun yang sama bersama Haru, tetapi berada di kelas berbeda denganya. Ia merupakan ketua dari club musik untuk saat ini. Memiliki kulit putih, sangat cocok untuk rambut panjang hitamnya, yang baru ia warnai dengan corak kemerahan pada tiap ujungnya. Namun, ada hal yang menarik mengenai mereka berdua, yaitu sebagai seorang pasangan kekasih, sekitar tiga bulan ini.

Ia merupakan wanita populer di sekolahnya. Paras cantik dengan pembawaannya yang begitu elegan di setiap situasi. Pintar dan juga baik hati. Ia juga terkenal dengan keramahannya pada semua orang sehingga menjadi idaman bagi kebanyakan pria di sekolahnya. Akan tetapi, ia bukanlah wanita yang mudah terbawa suasana. Ia tak mudah untuk dijadikan seorang pasangan; ia mempunyai kriteria sendiri untuk memilih, dan hanya ada sedikit pria yang berhasil mengencaninya, dan Harulah salah-satunya.

Entah apa yang membuat Erika bisa jatuh hati pada seorang gay seperti Haru. Ia memang tak mengetahui hal sebenarnya, tetapi Haru begitu pandai dalam hal memikat hati. Paras menawan dan pria populer, sangat menunjang baginya untuk beraksi.

"Aku buru-buru..." Kata Haru.

"Jika tak ada yang ingin kau katakan...aku akan pergi..." Lanjutnya sedikit dingin.

Seketika Erika berhenti memainkan melodinya. Ia berdiri dengan kepala yang masih ia tundukkan ke arah piano yang tampak mengkilap itu.

"A-ada apa denganmu?" Tanya Erika yang terbata-bata.

"Kau dulu sering menanyakan kabarku...bahkan...bahkan kau akan datang menemuiku jika aku tak memberimu kabar..." Katanya sambil menahan air matanya, dan mulai mengangkat kepalanya perlahan.

"Kenapa kau berubah?!" Lanjutnya.

Ia menoleh ke arah Haru, dan mulai menangis. Perasaannya kali ini membutuhkan penjelasan yang dapat membuatnya senang, dan berharap Haru akan segera menyenangkannya.

Haru hanya bisa terdiam. Mendengar semua itu benar-benar membuatnya seolah seperti seorang penjahat. Ia memang bersalah, dan tiada jalan untuk memungkiri hal itu.

"Youichi...kenapa? kenapa...?" Erika masih berhap penjelasan dari Haru akan segera menenangkannya.

"Kumohon...jawab... " Lanjutnya dengan masih tersedu-sedu sebab merasa diabaikan.

Haru belum memberikan jawaban sama sekali. Erika mungkin tak membutuhkan penjelasan yang panjang, asal ia dapat memahami maka ia akan memafkan. Pikirnya. Akan tetapi, situasi Haru bukanlah hal yang mudah untuk dibuat sebagai alasan; ia tak mungkin mengatakan hal sebenarnya. Ia gay dan tidak punya perasaan terhadapnya.

"Aku mencintaimu!" Kata Erika yang saat itu sudah pada posisi memeluk erat tubuhnya.

Haru benar-benar tidak mengerti dengan perasaan Erika. Ia masih bisa menyatakan perasaannya dalam keadaan yang begitu menyakitkan. Haru tahu dengan hanya melihat raut wajahnya; melihat ia menangisi dirinya.

Cinta? Apakah ia bersungguh-sungguh? Sebuta inikah seseorang yang telah jatuh cinta, sampai lupa diri?--Hal yang baru diketahuinya. Cinta memang serumit itu. Telah ia duga sebelumnya, dan ia juga dalam posisi yang sama seperti Erika. Perasaannya terhadap Daiki bukanlah hal yang mudah untuk dijelaskan.

"Maaf...maafkan aku..." Hanya itu yang bisa ia ucapkan saat ini.

Erika benar-benar sudah jatuh terlalu dalam pada suatu kebohongan, dan Haru tak menduga jika seorang seperti Erika akan menanggapi kisah cinta mereka sebagai hal yang serius.

"Maafkan aku, Erika..." Katanya sekali lagi.

"Aku sangat mencintaimu, Haru!" Balas Erika yang terus saja menangis di dadanya.

Haru berharap dengan ia meminta maaf, Erika dapat mengerti bahwa ia tak dapat bersamanya tanpa harus mengatakannya. Namun, ia sama sekali mengelak walau ia telah mengetahuinya.

"Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini..." Kata Haru yang juga memeluk tubuh Erika untuk menenangkannya.

Mendengar perkataan itu, Erika semakin menangisinya, dan semakin memeluknya dengan erat. Bukan pernyataan seperti itu yang ia harapkan. Ia ingin Haru menyenangkannya, bukan semakin menyakiti perasaannya.

"Aku tidak bisa bersamamu... lagi...maaf..." Lanjutnya dengan posisi yang masih memeluk wanita yang sudah membasahi pakaiannya dengan air mata.

Erika perlahan melepaskan tangannya, diikuti oleh Haru. Ia juga perlahan bisa mengontrol air matanya, dan sedikit melegakan Haru. Semoga Erika dapat menerima keputusannya. Harapnya.

"Aku mengerti..." Kata Erika yang perlahan mengusap air matanya dengan kepala yang ia tundukkan.

"Kau menyukai orang lain...ya, kan?" Tanyanya; menatap Haru dengan mata yang masih basah karena air matanya.

Haru dibungkam sekali lagi. Ia tak mampu mengatakan tidak untuk hal yang memang ia benarkan. Ia memang menyukai seseorang saat ini, bahkan sudah sejak lama sebelum ia mengenal wanita ini.

"Pasti dia cantik, kan?...Wanita itu begitu beruntung..." Kata Erika yang menatapnya dengan senyum tipis di wajahnya.

Senyuman itu tak dapat memanipulasi kesedihan yang ia rasakan. Walau seberapa manis dan menawan senyum yang ia tunjukkan, luka dan perasaan tersakiti masih tampak jelas di matanya.

Cantik? Ia benar-benar berpikir bahwa Haru menyukai seorang wanita. Haru dapat mengiyakan tentang perasaannya dengan orang lain, tetapi tidak akan mengatakan bahwa seorang pria telah membuatnya jatuh hati.

"Kau tau...aku sangat membenci wanita itu... siapapun dia..." Ujar Erika yang kembali meneteskan air mata.

"Dia telah merebutmu dariku...aku tidak akan pernah memaafkannya!" Lanjutnya dengan emosi yang menunjukkan bahwa ia benar-benar tidak menyukai orang yang telah membuat Haru jatuh hati.

"E-erika... aku benar-benar minta maaf..." Tak banyak yang bisa ia katakan selain kata maaf--banyak bicara hanya akan membuat suasana hatinya kian tidak pada moodnya.

"Pergi..." Kata Erika dengan kepala yang masih ia tundukkan.

Haru memandanginya. Rasa bersalahnya semakin membuat kecemasan yang berlebihan; mencemaskan hal-hal yang begitu rumit di kepalanya. Bagaimana jika dia tak ingin makan? bagaimana jika dia sampai bunuh diri? Pemikiran yang cukup aneh, tetapi bisa saja, sebab cinta memang bisa membuat seseorang menjadi gila jika ia benar-benar cinta.

"Pergi!" Kali ini suaranya cukup keras.

Haru segera meninggalkan tempat itu. Ia tak perlu berlama-lama. Suasana membuat keduanya tidak baik-baik saja.

Haru melangkah keluar, lalu menutup pintu perlahan. Ia keluar dengan kepala yang seakan berputar-putar. Merasa bersalah sudah pasti, hal terburuk dari dirinya terulang kembali.

Semua wanita yang pernah dikencaninya berakhir seperti Erika. Mungkin sebagian dari mereka akan berpikir bahwa ia adalah seorang "bad boy", "Playboy" atau "player", atau apapun namanya. Namun, perasaan merupakan hal yang sulit untuk ia dustakan.

Ia berjalan melewati kelas per kelasnya. Sesekali terdengar jeritan wanita yang menyebut namanya atau julukan "prince"-nya. Namun, ia tak mempedulikan semua itu. Bukan berlagak sombong, tetapi kepalanya sibuk memikirkan hal yang baru saja terjadi di club musik.

Sudah berapa banyak wanita yang ia permainkan? Cukup banyak dalam konteks mempermainkan. Ia tak merasa demikian, tetapi ia yakin bahwa para wanita itu merasa demikian. Akan tetapi, kedekatan bersama Daiki membuatnya tidak perlu lagi melibatkan orang lain. Tidak ada lagi bermain-main atau mempermainkan.

*****