webnovel

Lima Belas

Marisa membereskan beberapa pakaian dan barang barang yang ia bawa dirumah sakit.

Hari ini Julyan sudah diperbolehkan pulang, setelah hampir satu minggu dirawat, dokter mengatakan kondisinya sudah benar benar membaik, meskipun Julyan harus chek up rutin untuk rehab kakinya.

Ia sudah bisa berdiri namun masih terasa linu untuk berjalan, jadi Julyan masih memakai kursi roda.

"Sudah selesai?" tanya Johnny barusaja masuk, ia sengaja meminta ijin untuk mengantarkan Julyan pulang, karna ia tau Marisa tidak mungkin sendirian.

"Marisa biar aku saja yang bawa," ujar Jhonny lalu di angguki oleh Marisa.

"Langsung saja ke depan, mobilnya aku parkir didepan pintu utama rumah sakit," titah Johnny.

Marisa berjalan sembari mendorong kursi roda yang suaminya naikin, sementara Johnny berjalan dibelakang.

Beberapa menit mereka sampai di mobil, Johnny memasuki barang barangnya dibelakang mobil, lalu berjalan menuntun adiknya untuk masuk kedalam mobil, sementara Marisa tengah menaruh kursi roda di bagasi.

Mereka tengah dalam perjalanan saat ini, Marisa menyender pada bahu Julyan sementara Johnny masih fokus menyetir.

Julyan diam, dan entah kenapa bayangan kecelakaan itu mendadak muncul, Julyan menenangkan dirinya agar tak terlihat trauma, iya.. Ia mungkin masih trauma, tapi bersyukur ia bisa menahan nya sehingga Marisa dan Johnny tidak tau.

"Marisa.." panggil Julyan pelan lalu hanya dibalas deheman oleh Marisa.

"Kapan chek up kehamilan?" tanya Julyan.

Marisa menatap suaminya dengan ekspresi wajah sedikit terkejut.

"Besok... Aaah aku hampir saja lupa!" keluhnya. Julyan tersenyum lalu mengelus surai sang istri.

"Kita chek up besok ya.." ujar Julyan.

"Tapi kamu masih sakit.. Aku sendiri saja.."

"Kamu tidak boleh sendiri.. Tidak apa lagipula aku suami mu.."

"Kalau begitu aku akan meminta Putri mengantarkan ku."

"Tidak boleh!"

"Lagi pula Julyan juga akan rehab besok.." sela Johnny yang mendengar keduanya berbicara.

"Iyaa.. Kenapa tidak bilang!" kesal Marisa.

Setelah beberapa menit mereka sampai dirumah, Johnny membantu Julyan sementara Marisa menyiapkan kursi rodanya.

Setelah selesai mereka berjalan memasuki rumahnya, Marisa berjalan ke meja makan menaruh beberapa barang dan baju baju.

Julyan berjalan kearah tangga, dia terdiam, lift dirumahnya masih rusak, pria itu melihat tangga, dan memikirkan ia tidak bisa menaiki tangga sendirian dan itu akan membuat nya merepotkan banyak orang. Julyan benci keadaannya sekarang, kenapa harus seperti ini, bahkan ia merasa malu pada kakak kakaknya karna membuat mereka repot dan khawatir.

Marisa berjalan perlahan menaruh tasnya dimeja, niat ingin mencuci ia urungkan setelah melihat suaminya melamun.

"Kak... Bagaimana?" ujar Marisa pelan mendekati Johnny dan menatap suaminya.

"Lift nya masih rusak... Kenapa aku bisa lupa memperbaiki lift nya.." sesalnya, lalu Johnny berjalan mendekati Julyan.

"Julyan... Ayo naik!" ujarnya sembari memberi isyarat untuk naik ke punggungnya.

"Kak.."

"Maaf, kakak lupa memperbaiki lift nya..." sesal Johnny.

Julyan terkekeh pelan, "Tidak apa hyung.. Lagi pula kakiku tidak lumpuh.."

"Tetap saja! Kamu masih belum bisa berjalan, ayo naik!"

Ponsel Marisa berbunyi, ia segera mengangkatnya setelah tau Putri menelponnya.

"Putri.. Kenapa?"

"Kak.. Tolong aku.."

"Kamu kenapa?" Marisa terkejut mendengar Putri merengek meminta tolong, dan ia juga mendengar keributan.

"Seseorang memintaku menutup tokonya Kak, dia bilang toko ini menjadi jaminan atas hutang Ayah.." jelas Putri.

"Apa?"

Mendengar itu Julyan menoleh melihat istrinya begitu panik.

"Kakak kesana sekarang.." ujarnya lalu berjalan kearah Julyan dan Johnny.

"Mas.. Aku harus ke toko sekarang.." ujarnya.

"Ada apa? Terjadi sesuatu?"

"Hanya kejadian kecil, Putri tidak bisa mengatasinya.. Maaf.. Aku harus ke toko sekarang.."

"Aku antar.."

"Tidak! Kamu masih sakit... Aku hanya sebentar janji!"

"Ini... Telpon saja Putri, kamu pakai hp ku.."

"Kak.. Aku titip Mas Julyan, dia harus istirahat.."

Johnny mengangguk, lalu Marisa segera bergegas terlihat tampak cemas, Julyan melihat istrinya menjauh, merasa khawatir terjadi sesuatu.

Setelah beberapa menit, Marisa bergegas ke tokonya dan ia benar benar melihat keributan.

"Sudah ku bilang ini toko ku!" sarkas Putri.

"Bagaimana mungkin kamu bisa mengambil toko ini tanpa bukti!" Imbuh Hendra yang ternyata ada disitu juga.

"Ada apa ini?!"

"Siapa kamu?" tanya seorang pria tersebut.

"Saya pemilik toko ini... Kenapa? Apa yang terjadi?"

"Aaahh... Begini nyonya.."

"Aishh.. Sialan!" umpat Hendra.

"Putri masuklah, kalian juga masuk.. Biar aku saja yang urus.." titah Marisa.

Putri menarik lengan Hendra untuk masuk dan 3 orang karyawan lainnya.

"Silahkan duduk... Aku tidak mau mencari keributan.. Silahkan bicarakan baik baik dengan saya.." tutur Marisa.

Pria itu duduk dan menjelaskan agar Marisa tahu.

"Tidak bisakah dengan cara lain? Ini adalah toko kami, bagaimana mungkin kami menyerahkannya begitu saja.." elak Marisa setelah mendengar penjelasan dari pria itu.

Marisa kesal, bagaimana tidak.. Tokonya menjadi jaminan atas hutang Ayahnya, bahkan ia sendiripun tidak tau dimana ayahnya berada, Marisa merasa marah, bisa bisanya ayahnya tega kabur membawa hutang begitu banyak bahkan sampai sekarang masih tersisa.

"Tapi itu yang dikatakan ayahmu nyonya.."

"Bahkan saya tidak tau dimana ayah saya, bagaimana bisa dia menjaminkan toko ini tanpa beritahu saya?"

"Maaf nyonya tapi itu yang dikatakan ayah anda.."

"Saya perlu bukti!"

Pria itu mengambil beberapa kertas perjanjian dan sertifikat tanah tokonya, dan benar.. Ayahnya sudah menjadikan toko nya sebagai jaminan untuk membayar hutangnya.

Ini gila! Benar benar gila! Demi tuhan Marisa ingin mencari ayahnya saat ini, bagaimana bisa ia membayar biaya sekolah adiknya jika tokonya diambil?

Marisa frustasi saat ini, ia tak tau harus melakukan apa.