webnovel

Jamuan Berujung Perkelahian

Aku dan Mas Kai beriringan memasuki aula. Saat itu semua mata tertuju pada kami. Aku dan Mas Kai benar-benar seperti aktor, kami memerankan peran kami dengan baik layaknya suami istri yang saling mencintai.

Mama mertuaku menarik ku ke pandium bersama Mas Kai kami menjadi perhatian semua orang.

Mama memperkenalkanku sebagai istri anaknya, alias menantu kesayangannya. Di depan semua orang mama memujiku dengan bangga dan aku sangat senang dengan hal itu. Setidaknya ada mama yang memujiku.

...

"Kenalkan aku Mawar, sekretaris Tuan Kai." Mawar menyodorkan tangannya kepadaku.

Entah bagaimana roda berjalan, aku telah bergabung dengan Mawar dan bisa disebut gengnya. Tatapan iri dan benci yang ditujukan kepadaku membuatku gusar.

Mawar terlihat sangat cantik malam ini. Dia menggunakan gaun merah selutut memperlihatkan kakinya yang jenjang dan juga mulus. Kecantikan yang modis membuat siapapun iri, aku merasa tertampar. Mas Kai pasti lebih memilihnya dibanding Aku yang jauh dari kata modis.

Aku bahkan hanya menggunakan gaun seadanya.

"Ternyata istri Tuan Kai sangat sombong," ucap seorang wanita membuatku buyar.

"Ya ku pikir wanita yang menjadi istri pria setampan Tuan Kai Cantik, ternyata... " Aku benar-benar membenci kalimat menggantung disertai tatapan merendahkan itu. Rasanya ingin ku cabik wajah mereka.

"Oh, maaf... " seruku dengan segan menerima ulur tangan Mawar. Sebisa mungkin ku tampilkan senyum menawan di depan mereka.

"Oh Sekretaris Suamiku. Cantik juga ya. Aku Ella. Kadang telepon dirimu mengganggu saat kami tidur." Ku tarik kembali tanganku sambil menyinggung senyum yang lebih menawan. Wajah Mawar seketika berubah. Mas Kai mungkin mencintainya, namun tak ku izinkan dia menindasku.

Dan apa reaksinya tadi. Dia terlihat seperti wanita polos yang tak pernah disentuh Mas Kai. Apa mereka tak pernah tidur bareng? Mungkinkah hubungan mereka masih sehat.

....

"Om... tante. Maaf datang terlambat."

"Kami mengerti kok. Pebisnis seperti mu pasti sangat sibuk. Kau telah meluangkan waktu untuk datang kesini om dan tente sudah sangat senang."

Aku yang sedang berada di antara mertua dan kerabat mereka terkejut dengan keberadaan Dave. Mawar tentu melepaskan karena tidak mau babak belur dengan perkataanku.

Ku tatap Mas Kai yang maju selangkah dan berjabat tangan dengan Dave. Mereka berbicara dengan sangat akrab.

Aku sangat gugup hingga sembilu keringat memenuhi wajah serta telapak tangan ketika tatapanku dan Dave bertemu jantungku serasa akan copot.

"Ella... " Lirih Dave. Pria itu juga terkejut saat melihatku.

Kai yang menyadari hal itu mengerutkan alis dan menatap kami secara berganti.

"Mas Aku ke toilet," ucapkku segera meninggalkan mereka. Bagaimana ini. Bagaimana jika Dave tahu Kai adalah suami bajingan yang dia maksud.

Ku pacu langkah meninggalkan tempat jamuan berlangsung menuju ke arah toilet. Aku hanya berpikir untuk menghindar saat ini. Namun seseorang mejegat tanganku hingga aku nyaris jatuh.

Aku begitu terkejut menemukan keberadaan mas Kai. Matanya terlihat merah dan berair. Apa dia mabuk.

"Kau mau kemana?" ucap Mas Kai yang ternyata mengikutiku.

"Mas?!" Aku terkejut menemukan Mas Kai. Tatapannya kepadaku seakan ingin menggrogoti tubuh ini.

"Apa maksudnya tadi?" ucapnya dengan sengit. Matanya terlihat membesar dengan merah seperti serigala.

Aku menggeleng, benar-benar tak paham dengan yang sedang dia bicarakan. Namun aku tahu Mas Kai selalu memiliki alasan untuk marah. Yang perlu ku lakukan adalah bersembunyi ketika ia marah. Namun dia memegang tanganku sangat kuat, aku tak bisa lepas.

"Kau ingin menghindariku?" seru Mas Kai dengan dingin.

"Apa maksudmu, Mas. Lepaskan dulu. Aku mau ke toilet," ucapku dengan suara bergetar.

Mas Kai mencengkram tanganku dan dengan kasar mendorongku ke dinding hingga ringisan keluar dari mulutku.

"Kau mengenal Dave?"

"Tidak. Aku tidak mengenalnya," sahutku dengan gugup. Bahkan tubuh ini telah bergetar. Tatapan Mas Kai benar-benar menghunus membuatku tak mampu tuk berbohong kepadanya.

Mas Kai seakan perti tak percaya. Wajahnya nampak tak puas dengan jawabanku.

"Dave itu temanku. 2 hari lalu, dia melamar seorang wanita."

"Apa hubungannya denganku?" gerutuku.

Aku menunduk ketika mendengar geseran rahang milik Mas Kai yang menari-nari di telinga. Dia lalu menyentuh daguku dan memaksaku untuk menatapnya.

"Bicara!" bentaknya membuatku terpenjat.

Air mataku mengalir deras karena rasa sakit yang ku rasa pada pergelangan tangan dan dagu. Meskipun begitu Kai sama sekali tak iba. Dia memaksaku membuka mata.

Ku rasakan cengkraman Mas Kai berpindah ke jari-jariku. Pria itu menggenggamnya sesaat.

"Dimana cincin di jarimu?!" ucap Mas Kai membuatku terpenjat.

Aku terdiam mendengar pertanyaannya. Sekarang aku mengerti mengapa dia bertindak seperti ini. Ku beranikan membuka mata dan menatap mata elangnya.

"Kau cemburu...?"desakku lemah sambil. terkekeh. Mas Kai yang terlihat terkejut dengan perkataanku serantak melepaskan cengkaraman di daguku.

"Mengapa kau peduli, Mas? Bukankah di antara kita tak berhak mencampuri urusan masing-masing?" Ku gigit sudut bibir hingga berdarah. Diri ini perlu rasa sakit untuk tetap waras di depan pria ini. Dan benar perbuatanku membuat cengkraman di daguku melonggar.

Aku terbatuk saat Mas Kai melepaskan cengkramannya. Ku sentuh pergelangan tangan yang terlihat memar lalu menatap Mas Kai yang seperti membisu.

"Dengan bertindak seperti ini kamu itu egois, Mas. Aku tak pernah ikut campur dengan urusanmu termasuk hubunganmu dengan Mawar mulai hari ini aku takkan peduli lagi!" ucapku membuat Mas Kai terkejut.

"Apa aku tak boleh menjalin hubungan dengan pria lain?" Ku katupkan tanganku sambil bermohon di depan Mas Kai yang menjadi pendiam.

Aku masih berdiri menunggu jawaban Mas Kai. Wajahnya terlihat ditekuk dan berbeda jauh dengan sebelumnya. Kearoganan telah hilang di wajahnya.

"Nanti bicarakan di rumah," ucap Mas Kai yang kemudian berbalik dan pergi.

Aku menatap kepergian Mas Kai dengan hati yang hancur. Rasanya hati ini sakit sekali hingga tak bisa diungkap dengan kata-kata. Namun juga lega mengeluarkan isi hati yang ku pendam selama ini.

Sejak kejadian tadi aku tak melihat keberadaan Mas Kai lagi. Entah dia kemana. Apa dia benar-benar pergi ke bar. Aku begitu takut terjadi sesuatu kepadanya. Hingga terdengar keributan.

Apa sedang terjadi perkelahian?

Dalam kondisi bingung dan bertanya-tanya seseorang menyentuh bahuku.

"Anda nona Ella kan?" ucap seorang wanita yang tak ku kenal. Aku mengerut dan menatap wanita itu dengan bingung. Darimana dia tahu namaku.

Kemudian aku menggangguk.

"Tolong ikut aku. Di luar Tuan Dave dan Tuan Kai sedang bertengkar. Mereka bertengkar karena dirimu."

Sarafku langsung menegang. Ku rasakan detakan jantungku yang bertalu begitu kuat seakan copot dari tempatnya.

Me-mereka bertengkar karena aku?

"To-tolong bawa aku!" ucapku. Ku rasa aku telah kehilangan akal sekarang.

"Mari ikut aku nona!"

Ku cepatkan langkahku mengikuti wanita itu. Aku sangat takut keduanya terluka parah.

Sesampainya di depan ku lihat 2 orang laki-laki sedang melawan. Keduanya terlihat saling mengadu kekuatan. Disana sudah sangat ramai menonton perselisihan 2 Tuan Muda, yaitu Kai dan Dave.

Aku mendengus kesal. Bisa-bisanya mereka bertengkar di tempat seramai ini. Apa mereka tidak memikirkan citra mereka.

"Mengapa tidak dihentikan? Dimana sekuriti!" Aku berteriak berharap seseorang menghentikan mereka

Namun siapa yang berani berurusan dengan kedua pria seperti mereka. Sama saja dengan mengantar nyawa.

Segera ku deketi keduanya meskipun takut ku peluk Mas Kai yang hendak memukul Dave lagi.

"Sudah, mas! Berhenti!" ucapku dengan pupus memeluk Mas Kai dengan erat.

Aku sama sekali tak mau melepaskan Mas Kai meskipun dia memberontak namun tak mendorong serta melukaiku itupun sudah cukup. Meskipun Mas Kai memukulku dengan bahunya aku tetap tak akan melepaskannya.

"Kau benar-benar pembuat ulah, Kai. Dia teman baikmu, mengapa kau memuluknya," ucap seseorang yaitu papa Kai membuat aku dan Mas Kai terpenjat.

Mas Kai mengeraskan rahang. Ku lihat tangannya mengepal dan ingin menyerang Dave kembali.

Untuk menghentikan mereka aku terpaksa menampar Mas Kai. Tamparanku cukup kuat membuat pria itu tersadar serta menatapku dengan tajam.

"Kau menamparku, Ella?" ucap Mas Kai dengan mata yang terlihat merah.

"Apa kau gila, Mas! Semua orang memerhatikamu!" rutukku. Bahkan aku tak memiliki sedikitpun rasa takut.

Tatapan tajam Mas Kai menghunus seakan menyerangku. Rahangnya mengeras serta berdecak, kedua tangannya terkepal erat seakan-akan ingin memukulku. Takut namun aku tak menyesal dan tak ingin mereka kembali berkelahi. Jikalau Mas Kai benar-benar akan memukulku, akan ku terima.

Dengan marah Mas Kai berbalik dan melangkah menuju mobilnya. Pria itu membawa mobil sportnya dengan kecepatan laju meninggalkan diriku.

Ku tatap kepergian mobil tersebut hingga menghilang dari jangkauan mata. Ingin sekali ku hentikan dirinya. Namun Mas Kai tidak mungkin mendengarku.

Jika tidak ada mama dan papanya disini, Mas Kai pasti tadi akan memukulku.

"Apa kau baik-baik saja Dave?" ucap papa mertuaku membuatku beralih dan menatap Dave yang terluka.

Aku mendekati mereka dan memerhatikan Dave yang memiliki banyak luka di wajahnya.

"Kau terluka parah Dave, maafkan kami," ucap mama mertuaku merasa bersalah.

"Biar ku bantu obati lukamu Dave." Ku ulurkan tangan dan memapah Dave kembali ke aula.

Aku dan Dave duduk di teras lantai 3. Bagaimanapun ini adalah ulah Mas Kai.

"Kenapa ini? Kenapa kalian berkelahi?" tanyaku dengan khwatir. Ku tuangkan alkohol dan membersihkan wajah Dave dan sudut bibirnya yang terluka.

"Aku tak tahu. Dia tiba-tiba memukulku?" sahut Dva

"Apa kau membalasnya? Maksudku apa mas Kai terluka?" tanyaku dengan hati-hati.

Wajah Dave seketika berubah mendengar pertanyaanku.

"Maaf," ucapku sembari menundukkan wajah dan kembali mengobati luka di wajah Dave.

"El, sebenernya apa hubunganmu dengan Kai?" ucap Dave membuat bulu tubuhku berdiri dan menegang sesaat.

Dengan gugup ku tatap Dave. Kali ini apakah akan terbongkar siapa aku sebenernya?

Disaat tegang ponselku tiba-tiba berdering. Ku lirik Dave yang masih menunggu jawabanku.

"Sebentar, temenanku menelpon. Sepertinya penting," ucapku diangguki Dave.

Aku berjalan menjauhi Dave yang terus menatapku. Tak tahu apa dia curiga atau tidak. Namun aku sangat beryukur Santi meneleponku.