webnovel

Dibalik Jerami

Perjalanan yang awalnya mulus, lancar tanpa kendala kini berubah menjadi awan hitam yang cukup membuat mereka goyah tanpa tahu mana yang terbaik bagi mereka. Kerja sama yang seharusnya bisa saling menutupi dan melengkapi kini berubah menjadi sebatas mengurus urusan yang terlihat penting saja. Apa lagi ketika insiden yang barusan terjadi karena kecerobohan Bhatari.

"BHATARI!!" Bentak Genta dengan keras yang membuat suara menggema dan menyeruak keluar. Apa yang dilakukannya sangat fatal, cairan yang seharusnya bisa menjadi bahan uji coba kompleks, kini tumpah dan Genta harus membuatnya kembali dari awal. Usahanya terasa amat sia-sia, waktu yang dibuang sudah tak ada artinya lagi.

"Ma.. Maaf." Hanya kata itu yang bisa terucap oleh Bhatari, perasaan takut, cemas, khawatir mulai menyerbu dirinya. Niat hati hanya sebatas candaan semata, namun berakhir malapetaka. Ajeng dan lainnya yang mendengar teriakan Genta bergegas menghampirinya. Dilihatlah cairan yang tercecer karena lepas dari genggaman Genta, serta muka penuh amarah memerah sangat terpancar diwajahnya. Dodi, Aldo segera membawa Bhatari menjauh dari tempat itu, dan Ajeng mencoba menenangkan gejolak emosi yang dirasakan Genta.

"Genta, ini mungkin cobaan kita. Aku tau, ini membuatmu merasa terpukul dan hancur, tapi kita masih punya banyak waktu untuk memperbaikinya." Tutur Ajeng sembari memegang tangan Genta.

"Waktu? Apa kamu lupa sudah berapa lama dan besar harapan kita akan uji coba ini. Rasanya ingin aku teriak sekencang-kencangnya dan kembali ke dunia ku kalau bisa!" Geram Genta.

"Aku tau, aku tau perasaanmu. Tapi setidaknya kamu masih memiliki …." Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Genta bergegas pergi meninggalkan Ajeng. Melihatnya seperti itu Ajeng hanya bisa pasrah dan hanya menunggu dirinya untuk pulih dari kejadian yang menimpanya.

Seminggu setelah kejadian tersebut, laboratorium masih dalam kondisi pasif. Kegiatan yang seharusnya dilanjutkan untuk tetap bereksperimen, kini sangat sepi dan sunyi. Dodi yang tidak tahan akan suasana ini mencoba bicara dengan Genta.

"Nta, meski pun kini kita tahu bahwa anti virus itu butuh waktu yang lama dalam proses pembuatannya. Tapi setelah aku pikir ini membuang lebih banyak waktu kalau kamu terus begini, dan kamu tau akan hal itu" Tegas Dodi.

"Apa yang kamu harapkan dari eksperimen yang gagal, hah? Sudah lama aku menantikan hasilnya, tapi ada saja kejadian yang membuat ku benci akan apa itu takdir." Tegas Genta.

"Lantas, apa kamu akan diam menunggu ajal mu datang, Nta? Tidak bukan?" tanya kembali Dodi.

"Tolong, Nta. Kamu tau jika kamu hanya berdiam diri hanya akan membuat semuanya seolah sia-sia." Sambung Ajeng tiba-tiba.

"Apa yang harus kami lakukan agar kami bisa menebus kesalahan yang diperbuat Bhatari dan memulai kembali bersama-sama, Nta? Apa perlu kami memotong bagian tubuh kami agar bisa mendapatkan bahan uji coba anti virusnya?" Dodi dengan nada yakin.

Mendengar pernyataan kedua orang tersebut membuat hati Genta bergejolak dan sedikit tersentuh, karena hanya sebuah kesalahan semuanya menjadi berhenti total tanpa ada gerakan. Genta sebenarnya tau akan konsekuensi ini, namun hati kecilnya masih terasa tersayat ketika mengingat hal itu. Dengan mencoba kembali tegar dan mencari jalan baru, Genta menyalakan sebuah lilin kecil harapan ditubuhnya serta ingin segera menyelesaikan projek ini, agar nantinya tidak ada lagi yang namanya domino kematian.

"Terima kasih atas pengertian dan perhatian kalian, aku tau niat kalian baik. Namun aku masih belum bisa menemukan kembali titik inti dari anti virus itu, karena ada beberapa protein yang masih belum dipecahkan dan bekerja dengan baik sehingga saat ini aku mencari solusi apa agar protein itu bekerja dengan baik. Cairan yang kemarin merupakan inti yang seharusnya bisa digunakan, namun kini aku harus mencoba membuatnya kembali dari awal."

"Waduh, kalau itu mah aku bingung, Nta. Kamu tau sendiri, aku hanya sebatas lulusan S2 Elektronik dulu dan cuma tau bagaimana membuat beberapa peralatan yang bisa kamu gunakan." pinta Dodi sembari garuk-garuk kepala.

"Maka dari itu, Di. Aku tak ingin membuat kalian pusing dengan apa yang bukan di bidang kalian. Sehingga lebih baik aku saja dan kalian lanjutkan dengan apa yang kalian kerjakan saat ini".

"Tapi, apa benar tidak ada yang bisa kami bantu walau pun hanya sebatas meringankan beban mu dan menebus semua kesalahan kami?" tanya Ajeng dengan memastikan kembali.

"Serius dah, kalian cukup berdoa saja semoga projek anti virus ini bisa segera berhasil dibuat." Yakin Genta kepada mereka.

Jauh dari laboratorium Aldo dan Bhatari menjelajah kembali tempat yang belum terjamah. Mereka bertugas sebagai penjelajah sekitar, dimana mereka akan mencoba berkeliling mencari sesuatu hal seperti peralatan lama, hewan, mau pun makanan basi yang dapat diolah menjadi pupuk tanaman nantinya. Aldo yang seorang botanis sering memanfaatkan bahan baku mentah mau pun basi yang ditemukan menjadi pupuk mau pun tanaman yang bisa di tanam kembali, karena ia tidak sengaja menemukan tempat dimana semua benih tersimpan dengan baik karena terpengaruh perubahan iklim ekstrim seperti ini. Melihat peluang itu, Aldo berinisiatif untuk mecoba merekayasa biologi bibit agar bisa tumbuh dipermukaan tanah yang sudah berbeda ini. Awalnya beberapa percobaan gagal dan banyak tanaman yang layu serta mati, namun selang beberapa minggu Aldo berhasil menumbuhkan tanaman pohon beringin, kaktus mau pun mangga. Disusul sayur mayur yang menjadi pelengkap makanan sehari-hari mereka. Aldo tak menyangka ilmu rekayasa genetik ini dapat diterapkan pada kondisi seperti ini, padahal sebelumnya tak pernah sekali pun berhasil ketika dunia masih baik-baik saja.

Dari kejauhan, Dodi sedang masuk dalam lamunannya dan tak sadar diperhatikan oleh Aldo serta Bhatari yang baru saja kembali dari perjalanan mereka. Tatapan kosong dengan mulut menganga membuat mereka ingin usil padanya, dengan segera dimasukkannya pisang ke dalam mulutnya sampai tersedak.

"Anjirr!!" Umpat Dodi dengan kerasnya.

Aldo dan Bhatari segera berlari meninggalkan keusilan mereka sambil tertawa terbahak-bahak.

"Seru kan, Tari. Ngerjain abang satu itu, hahah." tanya Aldo sambil berlari.

"Iya bang, tumben sekali Bang Dodi sampe segitunya ngelamun, kalau Kak Ajeng tau bisa ketawa sakit perut dia." sambung Bhatari.

"Hey kalian!! Kalau ketangkep, gua usilin lagi kalian berdua." Setelah tersedak dan sadar bahwa dirinya dikerjai, Dodi langsung mengejar mereka berdua dengan segera.

Melihat Dodi mengejar, Aldo dan Bhatari berinisiatif membuat rencana dengan cara berpisah terlebih dahulu dan bertemu kembali di markas rahasia yang sering dijadikan tempat melihat langit di malam hari. Benar saja, mereka dengan cepat bergegas berpisah dan membuat Dodi bingung siapa yang dia kejar.

"Mending si bocil dulu dah yang gampang buat di kejar." Seru Dodi.

"Jangan lari-lari di lab, Bhatari. Nanti kamu jatuh lagi." Pinta Ajeng yang saat itu melihat Bhatari melewatinya dengan cepat.

"Maaf kak, nanti ku jelasin aja ya, aku lagi di kejar barong soalnya." Jawab Bhatari sembari perlahan meninggalkannya.

"Barong? Hah? Maksudnya?" Bingungnya.

"BRUUGHH!!!"

Tabrakan itu terjadi, karena kecepatan yang tidak terkontrol membuat Dodi menabrak Ajeng dengan kencangnya.

"Aww, aduhh." Ajeng mengerang kesakitan dibuatnya.

"Jeng!! Maaf, nggak sengaja aku menabrakmu, ayo aku bantu kamu berdiri." Dodi bergegas beranjak dari lantai untuk segera membantu Ajeng.

"Oh ini barongnya ya ternyata, udah gede masih aja kejar-kejaran sama anak kecil." Tutur Ajeng sambil menahan sakit dikepalanya.

"Hah? Barong? Siapa pula aku dipanggil Barong?"

"Ya siapa lagi kalo bukan Ajeng namanya."

"Semprul kali tu anak, awas aja kalo ketemu." Ucap Dodi sambil mendengus.

"Udah udah, ayo obatin dulu luka kamu itu dikepala, yang ada makin menonjol itu benjolannya." Pinta Dodi mengajak Ajeng menuju klinik laboratorium.

Obrolan ringan sedang mereka lakukan disaat pengobatan dilakukan. Diskusi mengenai kapan akan datang waktu dimana kita bisa menikmati hidup normal dan kembali seperti semula, akan kah impian mereka terwujud. Hanya waktu dan takdir yang dapat menjawabnya.