Indonesia di awal abad 21 manusia sungguh tumpah ruah, riuh saling bergantian ada yang baru saja berpulang ada pula yang baru saja lahir. Kelahiran adalah hal yang menyenangkan, semua hal baru mengenai keluarga dan menjaga seorang bayi mungil menjadi kebahagiaan yang tak memiliki tandingan. Di sisi lain kepergian selalu menyisahkan kisah, tentang di tinggal orang yang telah berpulang, tentang perjalanan hidupnya yang amat baik, amat penuh kasih dan dicintai orang sekitar, itu lah kenapa kepulangan selalu jadi hal yang menyesakkan, karena manusia adalah mahluk lemah yang tidak bisa ditinggalkan. Waktu terus saja berjalan pergi, banyak manusia lahir menggantikan menusia-manusia yang telah pergi, dunia tak pernah sunyi selalu saja ada pertemuan dan perpisahan yang terjadi. Pertemuan dan perpisahan yang terjadi secara tergesa-gesa layaknya sifat manusia yang tak pernah puas akan sesuatu.
Manusia dan ambisi mereka terhadap kehidupan selalu merasa tidak cukup, selalu merasa kurangdan berkembang pesat sepesat arah teknologi yang mereka buat sendiri. Tak ada lagi kontrol semua dapat mereka lakukan. Kemajuan teknologi juga sangat berkembang pesat, membuat manusia menjadi agen penggetar utama dalam roda kehidupan, mahluk yang merasa paling superior di muka bumi. Tak pernah dihiraukan lagi hak dari pengguna bumi lain seperti habitat hewan dan juga habitat tumbuhan. Tumbuhan tak mampu melawan jika hutan-hutan mereka digerogoti alat berat bergantian dengan gedung-gedung pencakar langit yang akan membelah cakrawala, keindahan mereka diperkosa dijadikan tempat wisata yang ramai penduduk dan tentunya ramai akan segala jenis sampah.
Seakan tak pernah berhenti, pembangunan selalu terjadi di mana-mana, demi mengejar sesuatu tak bernyawa bernama uang. Manusia dan uang, ibarat kawan dan lawan, tak pernah ada kata yang cukup untuk menjelaskan relasi antara keduanya. Tak pernah pula terasa cukup perkawanan aneh itu. Manusia mengejar uang sama seperti Tuhan, sedangkan uang tak pernah lari namun selalu susah untuk manusia raih. Ini semua karena perasaan tidak puas yang amat menyiksa batin manusia, tapi tak ada yang peduli, uang tetap jadi standar untuk hidup lebih baik. Uang uang dan uang, hal ini yang memebuat manusia tidak pernah cukup dengan 24 jam sehari, pagi, siang, sore, malam tak pernah berhenti, tak adalagi waktu tidur apalagi waktu libur.
Pengejaran ini tak berhenti, turun temurun, seakan memperkaya diri adalah hal yang telah harus dan wajib dilakukan, anak cucu adam hanya tau cara hidup dan besar untuk bekerja, mencari uang agar hidup tidak membuatnya tertinggal. Pengejaran uang ini memakan banyak korban, tenaga manusia, sifat manusia dan alam yang ditinggali manusia. Gedung-gedung besar terus tercipta, pembangunan di mana-mana, pembukaan lahan, dan tempat-tempat yang harusnya tidak dibanguni gedung harus merasakan tanahnya diobrak abrik, di timbun, diratakan dan jadilah tempat baru untuk kesibukan manusia selanjutnya.
Hutan-hutan yang harusnya jadi tempat banyak habitat hewan dan dilestarikan, lalu hilang, tak lagi punya bekas, yang ada hanya gedung metropolitan tinggi lagi-lagi dengan manusia-manusia sibuk yang berlalu-lalang di dalamnya. Hidup manusia selalu saja begitu, terulang dari kelahiran hingga kematian, ambisi yang membuat mereka harus bertahan hidup menggerogoti hingga tak lagi berbentuk manusia. Alam, telah muak, tak diberi waktu untuk bernafas, hutannya telah hilang, hewannya telah punah yang tersisa hanya manusia sebagai mahluk yang merasa paling superior, merasa berkuasa di atas segalanya. Langit masih harus bergerak, sama pula eperti manusia. Pagi berganti siang, siang berganti malam, malam kemudian berganti pagi, begitu terus menerus dan hal itu tak pernah cukup untuk manusia.
"Huh, huh, huh," Ajeng terbangun dengan terengah-engah. Apa yang baru saja ia mimpikan adalah hal yang dulu setiap hari dia lihat.
Pandemi adalah teguran, tiba-tiba pikiran itu terlintas di benaknya. Manusia tidak pernah puas dan terus saja mengeruk isi bumi, ini adalah teguran, pikir Ajeng. Rasa panik menguasai dirinya, perasaan tidak percaya,
"Manusia adalah mahluk paling berdosa, mereka merusak bumi. Mereka, mereka yang membuat kita sampai pada penderitaan berkepanjangan ini," cerocos Ajeng kemudian, mulutnya tak pernah berhenti, peluh keringat bermunculan membasahi jidat, leher dan tangannya.
"Kita-kita yang membuat semuanya seperti ini," ujarnya lagi, ia tak henti-hentinya berbicara, hanya dia yang mendengarkan dirinya sendiri malam itu. Semua orang telah terlelap. Ia lalu berjalan keluar dengan linglung, tak ia tahu apa yang harus dia lakukan. Mimpinya barusan telah memukulnya dengan telak, tepat pada bagian dada, perasaaan bersalah yang ia rasa teramat besar hingga ia tak mampu untuk membendungnya. Perlahan-lahan sebutir air mata mengaliri pipinya, dan disusul oleh buliran air mata yang lain. Ajeng mulai tersedu, rasa bersalah menggerogoti dirinya, seakan mimpi itu memang dikhususkan untuk dirinya menanggung semua dosa manusia yang sempat lahir.
Dalam perasaan kacau, ia lalu terduduk di tanah, menatap kakinya yang mulai terasa kebas karena angin malam, tanah begitu dingin, angin berhembus pelan mengibarkan rambutnya, ia menatap langit, mendapati bulan dan bintang-bintang seperti menatapnya dengan tatapan penghukuman. Ajeng diam saja, kesimpulan masuk ke kepalanya, tiba-tiba saja dan tak ia duga sebelumnya. Angin berhembus pelan melewati telingannya, berhembus pelan dan berhenti tepat di bagian kuping,
"Karena kalian tak pernah berhenti, maka kami buat pandemi untuk menghentikan kalian." Kalimat itu tiba-tiba terlintas bersamaan dengan angin yang berhembus pelan tadi.
Mata Ajeng lalu terbelalak, manusia termasuk dirinya adalah mahluk yang sangat ambisius,
"Ya, kami sangat ambisisus. Kami mengambil alih semuanya." Ujarnya lirih dan isakan tak henti menemani bulan malam itu.
Dari kejauhan tampak seorang gadis menatap Ajeng yang sedang terisak. Ia lalu berjalan menghampiri dengan langkah kaki pelan. Ia paham seperti biasa Ajeng pasti telah diperlihatkan hal buruk oleh mimpinya. Sampai di hadapan Ajeng ia langsung duduk meluruskan kakinya dan sama-sama menatap langit.
"Bhatari, kita ini mahluk yang kejam." Ujar Ajeng setelah sekian lama hening mengambil alih.
"Apa yang kakak lihat?" Tanya Bhatari, dirinya lalu mendekat dan memeluk Ajeng erat. Tangannya bergerak naik turun mengelus punggung Ajeng. Bhatari tidak mungkin berkata,
"Tenang itu hanya mimpi," jika orang yang sedang ia tenangkan saat ini adalah Ajeng, wanita mimpi yang sering mendapatkan penglihatan dari sana.
Ajeng kembali terisak,
"Kita mahluk yang menyedihkan, Tari." Ujar Ajeng di tengah isakan tangisnya.
"Kamu tau virus ini dari mana?" Tanya Ajeng,
"Pandemi ini, Tari. Pandemic ini semua karena manusia."
Bhatari tetap saja diam mendengarkan.
Ajeng lalu bercerita, dalam mimpinya ia melihat bagaimana virus mulai bermutasi, virus flu burung menjadi sangat ganas. Semua ini karena kerakusan manusia. Habitat hewan yang berada di alam tidak boleh saling bersinggungan dengan manusia. Namun karena hutan dan gunung telah hilang, mereka mulai memasuki lingkungan manusia. Pandemi yang awalnya terjadi karena virus dari kalelawar sebenarnya bermutasi juga pada unggas, termasuk ayam yang sering kita makan. Virus flu burung, virus yang membunuh secara pelan, sebenarnya virus flu burung inilah yang telah bermutasi dalam darah dan menyebar, menjadi pemusnah peradaban.
"Kamu tau kenapa dulu ilmuan begitu sulit melawan virus ini?" Tanya Ajeng bermonolog. Ajeng lalu kembali bercerita mengenai sifat rakus manusia terhadap makanan,
"Ayam, Bhatari. Khususnya ayam, kita terlalu rakus dalam mengonsumsi ayam, kita membuat pertumbuhan mereka jadi lebih cepat entah bagaimana pun caranya."
Kemusnahan manusia bukan terjadi karena covid tapi karena endapan virus yang ada di bagian darah, ini terjadi karena kita mengonsumsi ayam yang terkena flu burung dan bermutasi di darah.
"Aku jadi paham kenapa kita membutuhkan darah Genta. Selain cerdas, Genta punya darah yang mampu melawan mutasi flu burung tadi, darah Genta punya antioksidan dan tingkat kekebalan yang tinggi."
Ajeng kembali bercerita soal manusia yang tidak pernah puas ini kemudian diberikan pandemi agar mereka tidak lagi merusak bumi,
"Pandemi ada biar kita berhenti merusak bumi, manusia dengan ketidakpuasannya membuat bumi rusak, Bhatari. Dan pandemi, pandemi menghentikan manusia untuk merusak bumi lebih parah lagi."
"Ayah ibu kamu, ibu panti semuanya korban dari kerakusan manusia lain, mereka tidak tahu menahu tapi harus pula menanggung beban dari manusia yang lain. Aku seperti dilempari batu besar dan tiba-tiba aku harus memikul batu itu."
Bhatari tampak diam dan berpikir, tangannya tetap mengelus Ajeng yang masih terisak.
"Kak, mungkinkah kita akan berhasil membuat peradaban baru? Mungkinkah kita seharusnya tak perlu membuat manusia-manusia lain?"
Ajeng keluar dari pelukan Bhatari dan menatap Bhatari. Mereka saling berbicara dengan mata, dan mereka tahu ada alasan kenapa mereka masih bertahan hingga saat ini.