webnovel

Adit dan Karina

Selasa pagi telah menyambut. Burung gereja bersenandung dengan riangnya. Seakan, semua perasaan gundah gulana yang tadi malam kurasakan menghilang bersamaan dengan dinginnya malam.

"Hoamm ...." Yah, tampaknya aku masih sedikit merasa mengantuk, sih.

Perjalanan menuju sekolah hari ini terasa membuatku mengantuk. Mestinya aku langsung tidur saja, bukannya menonton satu atau dua buah video di Youtube. Alhasil, aku ketiduran, dan hampir terlambat untuk berangkat ke sekolah. Parahnya, aku tidak punya waktu untuk sarapan sama sekali.

Walaupun aku tahu kalau aku hampir terlambat, aku tidak tampak mempercepat langkah kakiku sama sekali. Aku terlalu mengantuk untuk berlari. Dan terlambat sesekali aku rasa tidak masalah bagiku. Aku selalu datang ke sekolah tepat waktu. Letak rumahku tidak jauh dari sekolah ini, SMA Harapan Bunda.

Sekolah ini merupakan salah satu sekolah menengah atas terfavorit di kota Medan. Banyak siswa-siswinya berprestasi, baik akademik maupun atletik. Tapi untuk mendaftar di sekolah ini saja sangat sulit. Aku bisa bersekolah di sini karena rekomendasi dari Ayah angkatku.

Kekuatan orang dalam memang menakjubkan.

Gerbang sekolah sudah mulai terlihat di sisi kananku. Tapi tak sedikitpun aku mempercepat langkah kakiku, apalagi mulai berlari. Para siswa lainnya sepertinya sudah memasuki lingkungan sekolah, kecuali aku dan seorang siswi perempuan yang hanya berdiri diam di depan gerbang sekolah dengan gelisah.

Aku tidak pernah melihatnya tahun lalu. Aku rasa dia adalah siswi kelas satu.

"Aduh …. Bagaimana ini?" Dia dengan panik terus membolak-balikkan pandangannya dari gerbang sekolah dan layar HP-nya.

Rambut berwarna hitam mengkilapnya berkibar bersamaan dengan hembusan angin yang lembut. Kulit putih yang cerah dan indah memantulkan sinar Mentari yang cerah. Entah mengapa hatiku sempat berhenti berdebar sekali. Apaan ini? Apa aku sedang berada di dalam adegan di film-film romantis saat pertama kali protagonis bertemu dengan heroine-nya?

Dan yang membuat situasi ini menjadi semakin seperti adegan di film romantis adalah mata kami berdua saling bertatapan secara tidak sengaja. Mata coklatnya yang mungil itu menatapku dengan berair-air. Apa dia akan menangis sebentar lagi?

"To-Tolong …," ucapnya sedikit terisak. Suaranya imut sekali. Serasa mendapatkan serangan critical.

Bagaimana ini? Apa aku harus menolongnya? Kalau ketahuan, kita berdua bisa dihukum, bahkan bisa saja kami dikirim pulang ke rumah kami masing-masing. Buatku yang jarak rumahnya sangat berdekatan dengan sekolah itu bukan masalah. Tapi, aku tidak tahu mengenai dia.

Tiga menit kami diam mematung di tengah trotoar di depan gerbang sekolah. Tidak tahu apa yang harus kulakukan.

Tiba-tiba saja, aku mendapatkan sebuah ide.

"Hei, ikut aku!" Aku langsung berjalan membelakanginya, menjauhi gerbang sekolah yang benar-benar tertutup. Kuharap perempuan itu mau mengikutiku tanpa rasa curiga.

Aku tidak memberitahu kepadanya apa yang kupikirkan. Karena aku juga masih belum yakin kalau apa yang akan kulakukan akan berhasil atau gagal. Semuanya bergantung pada hoki kami masing-masing.

Setelah berjalan cukup jauh sampai ke samping gedung sekolahan, kami berhenti di depan sebuah warung yang terletak tepat di sebelah gedung sekolah.

Warung itu menjual banyak sekali snack, gorengan, dan jajanan pasar lainnya. Warung ini menjadi laris karena letaknya yang berada di dekat dua sekolah, SMA Harapan Bunda dan TK Matahari. Karena letaknya berdekatan di sekolah, banyak siswa memanfaatkan tempat ini menjadi tempat buat membolos. Kenapa aku tahu? Karena aku punya banyak teman sekelas yang membolos ke warung ini. Tapi, sebagai catatan, aku tidak pernah membolos sekalipun. Status siswa teladanku bisa jadi bayarannya.

Oleh karena itulah, aku membawanya kemari.

"Ke-Kenapa kemari, Kak?" tanyanya kebingungan.

Aku tidak mengucapkan sesuatu kepadanya. Aku mencari-cari sisi tembok yang biasanya para siswa gunakan untuk melewati pagar sekolah.

"Ah! Ini dia!"

Aku mendapatkannya. Sisi tembok ini memiliki ketinggian yang berbeda dari yang lainnya. Belum lagi, dengan tubuhku yang bisa dibilang tinggi untuk seukuran siswa SMA seumuranku, aku bisa memanjatnya dengan mudah.

Sekarang, saatnya mencari cara agar mengangkatnya untuk melewati dinding ini.

Cara yang paling 'aman' untuk membuatnya melewati dinding ini hanyalah ketika dia menaiki badanku, lalu melompat melewati dinding tersebut. Daripada menggendongnya seperti seorang putri, yang mana hanya akan membuatnya semakin seperti adegan film romantis. Aku dan dia adalah orang asing. Aku masih belum mengetahui siapa namanya, begitu juga sebaliknya. Akan sangat canggung jika aku langsung menggendongnya seperti itu, dan langsung melemparnya. Haha …, memikirkannya saja cukup membuatku tertawa.

"A-Ada apa, Kak?" tanyanya kebingungan.

"Bukan apa-apa, kok!" Aku langsung membungkukkan tubuhku di atas tanah. "Ayo, cepat naik!"

Dia masih melihatku dengan tatapan keheranannya, seperti tidak mengerti apa yang ingin kulakukan.

"Sedang apa kau melihatku seperti itu? Bukannya kau mau masuk ke dalam sana?"

"Be-Benar, sih …. Tapi …." Dia tampak ragu dengan ideku yang satu ini. Terlihat dari tatapan matanya. Maksudku, aku mengerti akan keraguannya itu. Tapi, apa kau punya pilihan yang lainnya? Jika ada, aku dengan senantiasa akan membantumu.

Kami berdiri diam mematung kembali selama tiga menit lainnya. Dengan begini, kami sudah terlambat sekolah selama lebih dari lima belas menit. Setengah jam lagi jam mata pelajaran kedua akan dimulai.

"Kau tahu? Aku mengerti kalau kau gelisah karena takut dihukum karena terlambat. Dan tadi kau meminta bantuanku, yang mana aku sudah berusaha untuk menolongmu. Tapi, kalau tetap diam dan ketakutan, kita hanya akan mengundang kecurigaan Pak Muklis, dan membawa kita berdua ke hadapan Guru BK. Apa kau mau itu terjadi?"

Dia langsung menggelengkan kepalanya cepat. Entah dia tidak suka ide berhadapan dengan Pak Muklis atau Guru BK. Sejujurnya, aku juga tidak mau berurusan dengan mereka berdua.

"Oleh karena itu, aku akan membungkukkan tubuhku, dan kau akan naik ke tubuhku agar bisa memanjat ke atas dinding ini, lalu melompat ke dalam. Bagaimana?" tanyaku menjelaskan ideku kepadanya.

"Ba-Baik, kak …," ucapnya menyetujui, tapi terlihat dia masih meragukan ideku. "Tapi, seragamnya kakak?"

"Tidak perlu mempermasalahkan itu sekarang. Yang penting sekarang adalah untuk masuk ke dalam sekolah sekarang." Aku kembali membungkukkan tubuhku lagi di depannya. "Sudah. Cepat naik. Aku tidak akan mengintip, kok."

Aku sempat mendengar nada terkejutnya. Sepertinya dugaanku tepat.

Meskipun masih terdengar ragu, kudengar suara langkah kaki kecil mendekat kepadaku, lalu kurasakan sebuah tekanan yang yang cukup berat di atas punggungku.

"Emm …, ti-tidak sampai …."

Ketika mendengar rintihannya, aku mengangkat tubuhku sepelan mungkin agar dia tidak kaget dan kehilangan keseimbangannya. "Dapat!" Di saat itulah, dia mulai mencoba memanjat dinding tersebut. Aku juga mengangkat badanku semakin tinggi dari sebelumnya, sebelum tekanan yang kurasakan di punggungku tidak terasa lagi. Di saat itulah, aku mendukung kakinya agar berhasil melompati pagar sekolah.

Ketika sedang menopang kakinya, sepertinya aku tidak sadar telah melanggar janjiku sendiri.

"Pu-Putih?!" teriakku dalam benak.

Aku berusaha untuk tidak bereaksi, berteriak, atau mengucapkan sepatah kataku, berusaha membantunya melewati dinding, dan juga mencoba untuk melupakan apa yang kulihat barusan.

"Ba-Baiklah! Aku sudah lew---AHH!!!!" Terdengar suara hantaman yang cukup keras dari balik sisi dinding tersebut,.

Aku tidak tahu apa yang terjadi kepada perempuan itu. Kurasa, saat dia akan memanjat naik, dia salah memegang bagian dinding yang berlumut, tergelincir, dan terjatuh di seberang sisi dinding gerbang sekolah. Beruntungnya, dia sudah masuk ke dalam. Tapi sialnya, berkat suara teriakan dan hantaman yang keras ke tanah, aku khawatir kalau dia sampai terluka.

"Hei! Kau baik-baik saja di sana?" teriakku menanyakan kondisinya.

"Aku baik-baik sa---"

"Hei!! Siapa di sana?!"

Gawat! Kita ketahuan!

"Hei, cepat lari sana! Pak Muklis sebentar lagi akan datang!"

"Ta-Tapi …, Kakak …?" Di saat seperti ini dia masih saja mencemaskan orang lain. Aku senang dia mengkhawatirkanku. Tapi sekarang bukanlah waktunya.

"Tidak perlu khawatirkan aku! Yang penting, kau lari dulu dari sini!" teriakku dengan nada seperti mengusir.

"Ba-Baiklah, Kak! TERIMA KASIH!"

Setelah dia berteriak berterima kasih kepadaku, aku mendengar suara langkah kaki yang begitu cepatnya menghilang. Setelah memastikan kalau dia sudah pergi melarikan diri, entah apa yang membuatku tidak mengejar dia untuk memanjat. Atau fakta karena Pak Muklis sudah melihatku sekarang.

Tertangkap basah. Untuk pertama kalinya, aku merasa menyesal karena sudah terlambat datang ke sekolah.

***

"Jadi, begitukah ceritanya kamu sampai bisa dihukum oleh Pak Muklis, Radit?"

"I-Iya, Bu …."

Setelah dihukum membersihkan seluruh sudut halaman sekolah seorang diri oleh Pak Muklis, kini aku ditempatkan bersama seorang guru perempuan berusia muda, seingatku usianya masih sekitaran 20 tahunan, di sebuah ruangan sempit penuh degan rak berisi buku-buku yang berbau psikologi dan hal-hal mengenai remaja. Tak jarang aku curi-curi pandang dengan sebuah novel romantis remaja yang menyelip di salah satu rak bukunya diantara buku-buku lainnya.

Sebagai ruangan BK yang tersendiri, tempatnya tidak begitu sempit juga. Selain rak-rak buku, ruangan ini hanya diisi dengan satu meja dan tiga kursi di dalamnya. Terlihat juga ada sebuah televisi kecil di belakangku. Mungkin itu menjadi salah satu opsi hiburannya di kala suntuk.

Dan mengenai guru BK, beliau bernama Bu Ratna Kurniawangsa. Selain menjadi guru BK di sekolah ini, Bu Ratna juga adalah seorang mahasiswi tahun terakhir di USU jurusan Psikologi. Dia bekerja di sini adalah bagian dari kerja lapangannya saja. Itu yang siswa-siswi di sekolah ini ketahui.

Hal-hal mengenai hubungan asmaranya tidak ada yang mengetahuinya. Soalnya tidak ada yang berani untuk menanyakannya. Dia sangat menutup rapat rahasia mengenai hal tersebut.

"Terus, apa alasan yang membuatmu terlambat ke sekolah, Radit?" tanyanya sambil memberikan senyuman dan memancarkan aura dingin secara bersamaan.

Tiba-tiba saja aku merasakan suatu kengerian dari balik tengkukku. Mungkin kata lain yang tepat untuk menggambarkannya adalah 'bulu kudukku berdiri'.

Itulah alasannya kenapa aku tidak mau berurusan dengan Bu Ratna.

"I-I-Itu …. A-A-Aku belajar sampai lupa waktu, Bu …," ucapku sambil mengucurkan keringat dingin. Secara tidak sadar, aku memalingkan pandanganku dari wajahnya Bu Ratna yang tersenyum dingin kepadaku. Sambil mempertahankan senyum dinginnya, mata hitamnya yang kecil menyipit. Melihatnya berekspresi seperti itu membuat keringatku mengalir semakin deras.

"Pembohong," bisiknya. "Baiklah kalau memang yang kamu katakan itu benar, tapi perlu diingat kalau kamu masih seorang siswa SMA, loh Radit. Anak seumuranmu membutuhkan jam tidur yang cukup, loh."

Aku hanya memalingkan wajahku lagi.

"Terus, Ibu dengar dari Pak Muklis kalau kamu membantu seseorang yang terlambat untuk masuk, 'kan? Siapa namanya? Seperti apa rupanya? Dari kelas mana? Kamu kenal orangnya?" Aku diserbu dengan berbagai pertanyaan dari Bu Ratna.

"Aku tidak kenal orangnya. Aku baru melihatnya tadi," jawabku jujur.

"Kau tidak kenal orangnya, tapi kamu tetap mau membantunya?" tanyanya keheranan.

Mau bagaimana lagi? Matanya saat dia meminta tolong itu menggerakkan hatiku.

"Aku tidak yakin juga. Mungkin itu sudah menjadi kebiasaanku."

Ketika aku melihat seseorang yang membutuhkan bantuan, secara otomatis, jiwaku tergerak untuk membantu orang tersebut, meskipun terkadang hanya akan merugikanku sendiri. Tapi, ketika melihat senyum orang yang lebar saat kutolong, membuat semua yang kulakukan terasa tidak sia-sia. Sejauh yang kuingat, itu adalah ajaran dari orang tuaku yang telah meninggal. Ajaran dan ingatan tentang mereka telah meninggalkan bekas permanen di dalam benakku.

Bu Ratna hanya memperhatikanku, seperti sedang membaca pikiranku, lalu menghela nafasnya. Helaan nafasnya membuat jantungku berhenti berdetak sedetik.

"Ibu paham kalau kamu tidak bisa diam saja kalau ada yang meminta bantuan, tapi kamu juga harus berhati-hati juga terhadap dirimu sendiri. Di dunia ini banyak orang yang memanfaatkan sifatmu itu untuk niat yang buruk, loh. Terkadang, kamu juga harus memilih-milih orang-orang yang mana yang harus dibantu. Paham?" Bu Ratna pun menasehatiku.

"Tapi, perempuan itu tidak ada niat yang buruk denganku, bukan?"

"Memang tidak. Tapi, bukankah itu sama saja seperti kamu bersedia membantunya untuk melakukan hal yang buruk. Kamu tahu?"

Memangnya terlambat adalah tindakan yang buruk, ya?

Setelah itu, Bu Ratna menceramahiku panjang lebar mengenai dampak buruk mengenai terlambat. Saking lamanya, itu memakan waktu satu jam mata pelajaran. Kalau begitu, aku baru bisa kembali ke dalam kelasku setelah jam istirahat pertama berakhir.

"Baiklah, Ibu rasa Ibu sudah cukup untuk menceramahimu untuk hari ini. Lagipula, aku rasa kamu juga sudah cukup dihukum oleh Pak Muklis. Kamu bisa kembali ke kelasmu sekarang."

Setelah mendengar ucapannya Bu Ratna, aku langsung mengangkat tubuhku beranjak dari kursi tersebut. "Baik, Bu Ratna. Terima kasih atas waktunya."

Sebelum aku berbalik dan membuka pintu, Bu Ratna melanjutkan ceramahnya singkat, "Dan Radit, tolong kamu jaga juga tubuhmu itu. Ibu tahu kamu sibuk dengan sekolah dan pekerjaan paruh waktumu seusai sekolah. Tapi sekali lagi, kamu adalah seorang remaja SMA. Tubuhmu masih dalam masa pertumbuhan. Kamu juga butuh waktu tidur dan nutrisi yang cukup. Jika tidak, akan sangat berbahaya untuk tubuhmu sendiri. Mengerti?"

Aku hanya menganggukkan kepalaku tanda mengerti.

"Kalau begitu, silahkan kembali ke kelasmu."

Seperti bunga mawar yang dipenuhi duri, mungkin itu kiasan yang bisa kukatakan untuk menggambarkan Bu Ratna. Cantik, tapi berbahaya untuk digapai. Meskipun senyumnya terkadang terlihat menyeramkan, dia masihlah seorang guru yang peduli dengan siswa-siswinya. Dia benar-benar memperhatikan siswa-siswinya ketika dalam bimbingannya, begitu juga padaku.

Masalah mengenai pekerjaan paruh waktuku hanya sebagian kecil guru saja yang mengetahuinya, dan hanya Bu Ratna lah yang tidak mempermasalahkan hal tersebut.

Itulah sebabnya, aku senang punya guru seperti Bu Ratna di sekolah ini.

***

Jam istirahat pertama baru saja dimulai. Semua teman sekelasku langsung berhamburan keluar kelas, begitu juga denganku. Rencananya sih aku ingin pergi ke kantin, mengingat bahwa aku belum sarapan sama sekali. Ditambah lagi, aku telah menjalankan hukuman dari Pak Muklis yang melelahkan, sepanjang jam pelajaran ketiga, aku benar-benar tidak bisa fokus untuk belajar dan menahan suara perutku yang meronta-ronta.

Enaknya makan apa, ya? Nasi goreng, mie ayam, atau bakso, ya?

Semakin memikirkannya, perutku semakin meronta-ronta. Tapi, ketika menyadari keadaan ekonomiku saat ini, sepertinya indomie adalah jawaban yang bisa kudapatkan. Dalam hati aku menghela nafas. "Gajian masih lama lagi …."

Setelah memutuskan semuanya dengan berat hati, aku beranjak dari mejaku dan berjalan keluar kelas menuju kantin.

Di luar kelas, cukup banyak orang yang berlalu-lalang atau berhenti untuk berbincang-bincang dengan teman yang mereka kenal di sekolah. Entah itu membicarakan sesuatu yang biasa, atau hal-hal aneh yang bisa saja diobrolkan.

Sejujurnya, melihat mereka bisa mengobrol sebebas itu dengan temannya membuatku sedikit merasa iri. Aku tidak punya seseorang yang bisa kau bilang sebagai 'teman'. Yang ada bagiku hanyalah 'teman sekelas' dan 'teman kerja' saja. Tidak ada yang bisa kusebut sebagai teman bagiku.

Aku terus mengarahkan kakiku melangkah, sebelum ada seseorang yang memanggilku dari belakangku.

"Oh, itu dia orangnya. Hei, Radit!"

Aku membalikkan tubuhku setelah mendengar seseorang memanggil namaku. Saat aku berbalik, ada dua orang perempuan berjalan mengarah kepadaku.

"Oh, Elliana? Ada apa memanggilku?"

Orang yang memanggilku adalah Eliana Kartika Putri, tapi paling sering kupanggil Elli. Perempuan berambut hitam lurus dan panjang ini merupakan ketua kelas di kelasku. Belum lagi, dia adalah seorang Wakil Ketua OSIS. Semua teman sekelasku mengenalnya sebagai siswi yang pintar dan pekerja keras. Meskipun begitu, dia bisa bersikap begitu santai saat bergaul dengan teman sekelasnya. Catatan, dia adalah siswi terpintar peringkat kedua di sekolah ini tahun lalu. Aku hanya berada satu peringkat di bawahnya.

Sedangkan perempuan yang di sebelahnya Elli adalah seorang siswi perempuan berambut hitam kecoklatan berkuncir samping. Tunggu dulu …. Sepertinya aku pernah melihat perempuan itu. Tapi dimana, ya?

"Ini, ada yang mencarimu, Radit." Elli langsung memperkenalkan seorang perempuan yang dari tadi berada di sampingnya ke depanku.

"Ka-Kak Radit?" sapa perempuan itu dengan lembut.

Tunggu. Sepertinya aku ketemu dengannya baru-baru ini. Kapan, ya?

"I-Iya? Ada apa mencariku?" tanyaku penasaran.

Sementara menunggu jawabannya, aku merasakan hawa tidak mengenakkan di sekelilingku. Semua tatapan iri dan cemburu diarahkan kepadaku. Ada apa ini? Aku jadi punya firasat buruk gara-gara ini.

Sementara aku hanya berdiri diam gugup, perempuan di depanku hanya menatapku dengan tatapan keheranan. "Ada apa, Kak Radit?" tanyanya lugu.

"Ti-Tidak apa-apa, kok …," jawabku gugup. "Te-Terus, apa yang kau inginkan dariku?"

"Kak Radit, terima kasih karena telah membantuku tadi."

Oh …. Kurasa dia adalah perempuan yang tadi pagi. Kegugupanku menjadi sedikit berkurang karenanya. Semua tatapan tajam di sekelilingku juga mulai berkurang. Mungkin mereka berpikir kalau dia akan menyatakan perasaannya kepadaku, begitu? Entahlah.

"Sama-sama, kok. Tapi, jika kau memutuskan untuk tidak berterima kasih kepadaku pun, aku tidak mempermasalahkannya."

"Saya tidak bisa melakukan seperti itu!" ucapnya tegas menolak. Aku sedikit terkejut ketika dia mengatakan seperti itu.

"Serius. Tidak masalah buatku, ko --- KRUYUK!!"

Sebuah suara dari dalam perutku menimbulkan sebuah keheningan sesaat di sekelilingku. Suaranya terdengar cukup keras, pula. Sementara Elli dan perempuan itu hanya menatapku kebingungan, aku hanya berdiri diam mematung dengan wajah yang semakin memerah.

Sebelum terjadi sesuatu yang tidak-tidak, aku sebaiknya melarikan diri dari situasi memalukan ini.

"He-Hei, Kak Radit! Tunggu!!" teriak perempuan itu ketika melihatku berlari tanpa mengatakan apapun kepada mereka.

Aku sudah cukup malu dengan terlambat. Aku tidak mau menjadi bahan tertawaan sekelasku. Bisa-bisa, aku menjadi penyendiri, atau parahnya menolak untuk keluar rumah lagi.

Dengan menahan rasa maluku, aku pun berlari sekuat tenagaku menuju kantin. Semoga rasa maluku bisa hilang di kantin bersamaan dengan rasa laparku.

***

Saat di kantin, aku hanya bisa mendapatkan sebungkus mie balap. Itu pun harus mengorbankan sebagian besar uang yang kumiliki saat ini. Apa boleh buat, lah. Lebih baik ada memakan sesuatu daripada tidak sama sekali.

Sekarang aku ingin mencari tempat untuk makan. Semua meja makan di kantin sudah penuh sesak. Tidak ada tempat kosong untukku. Aku harus cari tempat makan di tempat lainnya. Aku tidak ingin kembali ke kelasku saat ini, setelah semua yang telah terjadi di depan kelas tadi.

Dengan mengesampingkan semua kemungkinan, sepertinya aku akan pergi di tempat favoritku. Tempatnya tidak terlalu jauh dari kantin, maupun lapangan sekolah, tempatku berada sekarang.

Tempatnya tidak begitu jauh dari kantin atau lapangan sekolah. Tapi, siswa-siswi disini jarang sekali menempati tempat itu. Selain tempatnya berada di sudut area sekolahan, tempat itu juga berada tepat di sebelah pos jaganya Pak Muklis, si Satpam sekolah ini. Tempat itu adalah sebuah taman kecil dengan beberapa pohon kecil nan rindang. Taman tersebut sebenarnya adalah idenya Pak Muklis sendiri. Banyak yang tidak percaya jika aku mengatakan ini, tapi Pak Muklis itu hobinya berkebun, terlepas dari perawakannya yang terlihat menyeramkan. Aku kebetulan sering membantu Pak Muklis membersihkan tamannya. Oleh karena itu, sangat sedikit siswa-siswi yang mau mampir ke taman ini, kecuali aku.

Di bawah sebuah pohon yang rindang, terletak sebuah meja dan dua buah kursi yang ditata berseberangan. Sebelumnya Pak Muklis hanya menaruh sebuah kursi hanya untuk dirinya sendiri. Semenjak aku sering mengunjungi taman tersebut, Pak Muklis pun menaruh satu kursi tambahkan untukku.

Omong-omong, meja dan kursi-kursi ini adalah beberapa meja dan kursi yang sempat rusak dari beberapa kelas. Kudengar Pak Kepala Sekolah tidak ingin meja dan kursi yang rusak itu menjadi sampah yang menumpuk di gudang sekolah. Makanya, dengan izin dari Pak Kepala Sekolah, Pak Muklis membongkar dan memasang kembali meja dan kursi yang rusak tadi. Mengingat Pak Muklis juga mempunyai skil 'carpenting' yang bagus.

"Ahh …. Kenyangnya …."

Aku menghabiskan makananku dalam sekejap. Setelah kenyang, perasaan nyaman yang dibawa oleh angin sepoi-sepoi membuatku sedikit mengantuk. Memang benar kata orang, kalau sudah kenyang, pasti rasanya mau mengantuk. Masih ada sekitar dua puluh menit lagi sebelum jam istirahat berakhir. Mungkin, aku akan tidur dalam sekejap.

Dengan mempersiapkan alarm di HP-ku, aku meletakkan kepalaku di atas tanganku, dan mencoba terlelap, sebelum seseorang memanggilku.

"Kak Radit?"

"Huh?!"

Belum semenit aku terlelap, aku mendengar seorang perempuan memanggilku. Aku mengangkat kepalaku sedikit, dan melihat seorang perempuan berdiri menatapku.

"Ah …! Kau …," gumamku. "Ada apa memanggilku?"

"Saya mencari Kak Radit ke kantin, tapi tidak menemukanmu di sana. Ketika saya tanyakan ke Kak Elliana, dia bilang kalau Kak Radit pasti ke tempat ini. Makanya saya mencari Kak Radit ke sini."

Aku menegakkan kembali tubuhku agar tidak terlihat tertidur di depannya. Dia pun memutuskan untuk duduk juga di depanku dengan seizinku.

"Pertama, izinkan saya untuk memperkenalkan diri dulu. Nama saya Karina Kusumawati. Terima kasih telah membantuku tadi pagi, ya Kak." Karina mengeluarkan sebungkus makanan dan menaruhnya di hadapanku. "Ini saya belikan nasi goreng untuk Kak Radit. Anggap saja sebagai tanda terima kasih dariku."

Saat aku melihat bungkusan nasi goreng yang diberikan oleh Karina, aku bertukar pandang antara bungkusan nasi goreng yang belum terbuka dan bungkusan mie balap yang telah habis dimakan.

Dalam hatiku berteriak, "Kenapa pula aku harus membeli mie balap ini? Dasar sialan!"

Seperti sudah menebak apa yang ada di pikiranku, Karina bertanya, "Apa Kak Radit baru makan tadi?"

Aku hanya menganggukkan kepalaku kesal.

"Kalau begitu, Kak Radit bisa memakan nasi ini nanti saja."

"Baiklah jika kau memaksa. Terima kasih banyak, Karina."

Setelah menerima pemberiannya Karina, kami berdua pun hanya duduk diam tanpa mengucapkan sepatah katapun. Suasananya menjadi hening dan canggung ditambah dengan hembusan angin lembut yang menyegarkan. Ayolah, otakku! Pikirkan sebuah topik pembicaraannya sekarang, agar situasinya tidak menjadi lebih canggung dari ini.

"Omong-omong, sekali lagi terima kasih telah membantuku saat tadi pagi, ya Kak. Saya tadi pagi sempat panik ketika melihat pintu gerbangnya tertutup tadi." Dia memaksakan senyumannya di depanku. Tapi, sebenarnya dia pasti merasa malu menceritakan hal itu kepadaku.

Tapi, berkat perkataannya barusan, aku dapat sedikit topik percakapan.

"Ngomong-ngomong, kalau aku boleh bertanya, kenapa kau terlambat tadi, Karina?" tanyaku.

Karina menundukkan kepalanya, menutupi wajahnya yang sempat kulihat sedikit memerah. Tampaknya, itu adalah keterlambatannya yang pertama kalinya, sama sepertiku.

"Jika kau tidak ingin menceritakannya, tidak masalah, kok denganku."

"Tidak masalah, kok Kak Radit. A-Aku hanya merasa malu saja …," ucapnya dengan suara yang pelan.

Karina pun melanjutkan ceritanya. "Saya bisa terlambat seperti tadi karena mobil yang kukendarai mengalami masalah. Supirku sudah mencoba untuk memperbaikinya, tapi karena tidak keburu waktu, makanya supirku menyarankanku untuk berlari sebelum terlambat. Tapi, berlari pun tetap saja percuma. Saya tetap saja terlambat. Dan kemudian, Kak Radit pun tiba."

Dia menundukkan kepalanya, cemas. Suaranya mengecil saat kembali bercerita, tapi aku masih bisa mendengarnya. "Ini pertama kalinya saya terlambat ke sekolah. Saya sedikit takut kalau kakakku mengetahui hal itu."

"Bagaimana dengan orang tuamu?"

"Mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka, sampai-sampai menelantarkan anak-anaknya sendiri. Kakakku lah yang selalu menjadi pendampingku saat orang tua kami tidak ada di rumah …," ucapnya dengan ekspresi sedih di wajahnya.

"Apa kau rindu dengan orang tuamu?"

"Tentu saja! Meskipun mereka seperti itu, mereka tetap orang tuaku."

Mendengar itu, aku sedikit terkejut. Dia sungguh anak yang baik. Meskipun orang tuanya tidak mementingkan dirinya, Karina masih sayang dengan orang tuanya. Dibandingkan denganku, meskipun aku sudah punya orang tua angkat, aku masih tidak bisa melupakan orang tuaku yang lama.

"Beruntungnya …."

"Apa yang Kakak bilang?!"

TING!! TING!! TING!!

Suara lonceng tanda jam istirahat berakhir telah berbunyi, membuat kami berdua tersadar, dan menghentikan percakapan singkat kami.

"Sudah saatnya masuk kelas, Kak! Saya kembali dulu ke kelasku, ya Kak!"

Karina langsung berdiri dan berlari meninggalkanku menuju ke kelasnya. Setelah percakapan singkatku dengan Karina, aku bisa bilang dia anak yang dididik dengan baik. Sopan, tahu balas budi, dan berpenampilan menarik. Itu lah kesan pertama yang kutangkap setelah berbicara dengan Karina. Aku tidak tahu siapa Karina. Kami hanya bertemu tadi pagi, dan berbincang sebentar saja. Aku harap aku bisa berteman baik dengan Karina. Tapi, aku rasa itu akan sulit bagiku.

Aku sudah berdiri diam untuk semenit. Aku rasa aku juga harus segera menuju ke kelasku, sebelum Pak Muklis menangkap basah aku lagi. Tapi tidak dengan makanan di tanganku. Harus ku apakan makanan ini, ya?

Sebaiknya aku berikan saja makanannya ke Pak Muklis.