webnovel

Dalam ingatan

Kucoba meraih catatan coklat tua yang tergeletak tak jauh dari tanganku. Ku buka satu persatu lembaran yang telah usang. Banyak bagian yang hilang. Jemari tanganku berhenti ditengah halaman. Foto berukuran 4×6 berjajar mengikuti garis. Foto hitam putih bertuliskan nama, dan tanggal lahir. Senyum kehangatan terasa sangat akrab. Terlihat polos dan penuh ketulusan. Pupil mata membesar dengan cahaya menyorot dari mata mereka.

Aku mulai mencari ingatan yang hampir saja ku lupakan ini. Diantara tumpukan kenangan. Dan dalam celah yang mulai tertutup masa depan. Rasanya aku ingin kembali lagi pada masa itu. Dimana semua hal belum menjadi beban. Dan kebahagiaan tidak memiliki jeda berkepanjangan.

Ku rebahkan badan dikasur. Tatapan nanar tertuju pada lampu yang terpasang di dinding. Kenangan-kenangan nakal seketika hadir. Merasuk dalam ingatan dan melampaui batas waktu. Seperti kembali pada masa itu. Ku pejamkan mata agar semua terlihat nyata.

"Sya, ada yang mencarimu," terdengar suara menembus pintu kamar yang terkunci rapat.

Ku buka mata perlahan sembari memijat alis sebelah kiri. Ingin ku pastikan kembali jika aku telah sadar. "Tunggu..." larian kecil mengiringi langkahku. Saat sampai diruang tamu, entah kenapa kaki ku tiba-tiba berhenti. Memandang kearah pintu depan. Air mata terasa ingin menerobos keluar. Keringat dingin rasanya telah membasaki beberapa bagian tubuhku.

Sesosok laki-laki tepat berada di depan pintu. Ia menghadap ke pekarangan rumah. Dengan badannya yang tegap dan memiliki tinggi kira-kira 178cm. Jaket kulit merek ternama, dan sepatu keluaran terbaru. Terlihat pas dikenakannya.

"Ega?" teriakan ku telah menghentakkan lamunannya. Ia mulai berbalik dan tersenyum hangat kearahku. Dengan cepat ia berlari mendekat. Dan mendekap tubuhku yang masih memaku. Dekapannya terasa sangat erat, juga hangat.

"Apa kabar gelembung udara?" kata ejekan itu terdengar lagi, setelah sekian lama menghilang.

"Em..aku sekarang udah nggak segendut itu tau?"

"Benarkah?" ia melepaskan pelukannya, dan mulai memperhatikanku. Kedua matanya menjelajah dari kaki sampai ujung kepalaku. Untuk memastikan jika yang aku ucapkan dapat dipercaya.

Tangan kanannya jatuh dipundak ku. Sedangkan tangan kirinya ia gunakan untuk mengusap lembut kepalaku.

"Kenapa tidak pernah memberi aku kabar?" sembari menepis kedua tangannya.

Ucapan ku sepertinya tidak dihiraukannya. Ia membalikkan badanku dan menjatuhkannya ke sofa."Huhh.." ia menghela nafas pendek. Aku terus memperhatikannya sambil menunggu kira-kira jawaban apa yang akan ia berikan. Beberapa menit telah berlalu. Tapi, ia hanya duduk diam di sebelah ku.

"Tidak perlu ditekan Sya," terdengar suara sautan dari arah belakang.

"Tapi Kak. Dia harus menjelaskannya," Aku masih bersikeras untuk mendapatkan jawaban.

"Tidak ada yang perlu dipertanyakan," Kak Erik memperjelas kata-katanya.

Aku hanya bisa diam dan melepaskan keinginanku untuk bisa mendapat jawaban. Kak Erik meletakkan nampan yang ia bawa dari dapur. Tiga cangkir kopi susu dan kue kering untuk mencairkan suasana. Perlahan-lahan ketegangan mulai mencair. Dia terlihat sudah tenang. Dan berbincang cukup lama dengan Kak Erik. Aku masih diam sembari memperhatikan setiap gerakannya. Perasaan kecewa itu belum hilang sepenuhnya. Malah terasa semakin menguasai pikiran.