Pukul enam tepat, Mizan sudah berada di kantin. Tidak ada siapa pun kecuali dirinya dan Pak Didit yang sibuk menata barang dagangannya di lapak. Sepertinya ia tidak akan gagal.
Sambil nyengir, anak lelaki itu merobek kertas dari buku tulisnya, lantas membaginya menjadi dua bagian. Satu bagian untuk menulis rumus-rumus cepat yang diingatnya sampai habis satu muka kertas, satu bagian lainnya ia simpan di tas.
Meski tidak melihat buku pelajaran dan hanya menuliskan rumus-rumus yang dihafalnya di luar kepala, Mizan tetap merasa ada yang salah. Masalahnya, anak lelaki dengan poni belah dua dan tampak keren itu tidak pernah melakukan kecurangan barang sedikitpun bahkan sejak di taman kanak-kanak-sekadar melirik jawaban dua ditambah dua milik teman sebangkunya pun tidak.
Pukul enam lebih sepuluh, suara celotehan mulai terdengar. Siswa-siswi lain tampak berjalan memasuki kelas. Mizan bangkit, mengenakan tasnya, dan bersiap masuk kelas pula. Ia berencana menaruh kertas rumus itu di laci meja seorang teman perempuan.
"Aku nggak tau kalau kamu suka berangkat jam segini."
Mizan menoleh, wajah Binar mengejutkannya.
"Anu, 'kan ada ujian simulasi," kilah Mizan salah tingkah.
"Ooh." Tanpa bertanya lagi, Binar melewatinya. Membuat Mizan merasa gagal. Bagaimana caranya menaruh kertas rumus itu sementara Binar sudah datang tanpa diduganya? Setahunya, Binar selalu datang lima menit sebelum bel masuk dibunyikan. Atau karena ini ujian matematika?
Mizan bergegas. Sambil berjalan ia memikirkan cara lain untuk membantu Binar. Anak gadis itu selalu saja tertidur saat pelajaran matematika, tidak pernah khawatir penghapus Pak Banu melayang ke jidatnya. Mizan terus berpikir sekalipun sudah duduk di bangku ujiannya. Bahkan sampai bel berbunyi.
Dua pengawas masuk. Satu berperawakan tinggi tegap, satu yang lain gemuk. Kedua pengawas itu kemudian bahu-membahu membagikan masing-masing lembar jawaban dan soal. Mizan terlebih dahulu mengisikan identitasnya kira-kira tiga puluh detik. Lalu dengan konsentrasinya yang tinggal tiga perempat, ia mencermati soal nomor satu hingga terakhir; membolak-balik kertas, dan seutas senyum hinggap di bibirnya. Pikirnya, soal yang mudah.
Menit demi menit berlalu. Maka sebagaimana kata orang, semakin kau menyukai sesuatu, semakin cepat kesukaan tadi berlalu. Itu sangat berlaku bagi Mizan. Ia menyelesaikan semua soalnya sebelum lima belas menit terakhir.
Namun sebagaimana kata orang pula, semakin kau tidak menyukai sesuatu, maka semakin lama ketidaksukaan itu tinggal. Yang ini berlaku bagi Binar, gadis mungil yang duduk persis di depannya.
"Tidak, rumusnya bukan yang itu, Binar. Coba ingat lagi!" Binar menggerutu.
Mizan mendapat firasat. Mungkin ini saatnya memberinya rumus.
"Pssst," panggil Mizan.
Bukannya menoleh, Binar malah tetap menggerutu. Apa boleh buat? Mizan memang harus melempar rumus-rumus itu sekarang.
Tuk!
Bola pingpong ala Mizan mendarat sempurna di meja Binar.
"Psst, buka. Waktunya hampir habis," bisiknya. "Pengawas kedua lagi ngeliat luar jendela, tuh."
Si gadis mungil tampak memastikan kata-katanya. Tak sabar, Mizan mengingatkannya lagi, "Cepet buka!" sebelum akhirnya Binar benar-benar melahap rumus-rumus pemberiannya.
"Lima menit lagi! Yang sudah selesai bisa langsung meninggalkan kelas." seru pengawas kedua sambil berjalan menuju kursinya.
Sudah tinggal lima menit, waktu darurat. Namun alih-alih beranjak, Mizan malah sibuk memperhatikan Binar. Memastikan Binar tidak kesulitan mengerjakan soal.
Dua menit terakhir, Mizan memutuskan meninggalkan kelas. Selain yakin Binar bisa mengerjakan soal tanpa banyak menggerutu, perutnya tiba-tiba ingin mi ayam Pak Didit.
🎐
"Pak, boleh minta sambal?"
Mizan asyik mengaduk mi ayam favoritnya ketika semangkuk sambal diantar ke mejanya.
"Terima kasih, Pak Didit. Harusnya saya ngambil sendiri," ucap Mizan tanpa melihat siapa yang mengantar sambal untuknya.
"Makasih, loh, udah baik sama aku. Kamu nggak usah bayar. Aku traktir. Kamu juga belum pesen minum. Aku bilangin ke Pak Didit."
Si pengantar sambal, Binar, meninggalkannya bersama mi ayam-nya, bertolak mendekati Pak Didit. Benar-benar tidak memberinya kesempatan bicara.
🎐