November, 2012
"Binar, Ayah serius!" teriak seorang laki-laki dari dalam rumah.
"Ayah, aku juga serius! Ayah lebih percaya sama orang lain daripada anak sendiri?!" Binar balik bertanya meskipun ia tahu apa jawaban Ayah.
"Kalau begitu tolong beri tahu Ayah di mana kamu menyimpan MP3 player itu!"
Binar tidak menyahut, berdiri di pintu sambil manyun.
"Bukannya Ayah mengekang. Tapi mendengar musik saat pelajaran bukan perilaku yang baik, Binar. Apalagi sekolahmu sekolah Islam. Setiap hari kamu mendapat pelajaran akhlak, adab. Apakah mengabaikan guru itu patut?"
Belum ada sahutan apa pun. Gadis lima belas tahun itu menunduk.
"Binar sudah jarang membaca Alquran, 'kan? Jangan kira Ayah nggak ngawasin."
Binar masih bertahan.
"Dan yang Binar harus tau, Ayah meminta bantuan Mizan untuk memantau."
Ada gurat kesal di wajah Binar. Mizan?!
"Mizan teman sekelasmu, 'kan?"
Mata Binar membulat, "Dari mana Ayah tahu Mizan sekelas sama Binar?"
"Pas ngambil raport semester genap tahun kedua. Mizan itu anaknya temen SMA Ayah."
"Ayah, aku nggak suka sama Mizan. Kami saingan."
"Saingan untuk apa? Nilai?
"Yap. Mizan peringkat pertama. Ayah pasti nggak lihat pengumuman."
Ayah mengedikkan bahu.
"Mizan pinter banget matematika. Ayah 'kan tahu, Binar nggak bisa matematika."
"Tapi Binar pinter bahasa Inggris. Kenapa nggak kerja sama?"
Binar mengernyit, "Kerja sama?"
"Matematika dan bahasa Inggris 'kan dia dari empat mata pelajaran yang diujikan. Teman Ayah mengeluhkan Mizan yang nggak mudeng bahasa Inggris. Pas."
"Maksud Ayah, aku ngajarin dia bahasa Inggris dan dia ngajarin aku matematika?"
Ayah mengangguk mantap, menggoda.
"Ayah, itu mustahil."
🎐
"Lima belas menit lagi, Anak-anak!"
Selasa simulasi ujian, selasa matematika yang memusingkan. Di lima belas menit terakhir, ia masih berkutat di nomor lima belas, mengatai dirinya sendiri yang tidak pernah memiliki semangat barang semenit pun untuk belajar matematika. Jangankan belajar, membuka buku saja ia segan. Jangankan membuka buku, ia bahkan selalu jatuh tertidur di menit kelima guru matematika menerangkan materi dan rumus-rumus.
"Tidak, rumusnya bukan yang itu, Binar. Coba ingat lagi!" gerutunya pelan, hampir tak terdengar.
"Psst."
Ada suara desisan. Binar tidak berani menoleh ke belakang. Itu mungkin pengawas kedua karena yang duduk di depan hanya pengawas pertama.
"Astaga, Binar, rumusnya yang mana sih!" Meski begitu, ia masih menggerutu.
Tuk.
Sebuah bulatan kertas seukuran bola pingpong mendarat di mejanya. Arahnya sama dengan suara desisan tadi. Binar bergidik. Bisa-bisa bulatan kertas itu jebakan.
"Psst. Buka. Waktunya hampir habis," ucap seseorang dengan berbisik. "Pengawas kedua lagi ngeliat luar jendela, tuh."
Binar menengok ke samping. Benar, pengawas kedua sedang berdiri memandangi luar jendela. Posisi membelakangi murid-murid yang bagus.
"Buka cepet."
Kali ini Binar menyahut, "Oke, oke." Hati-hati sekali ia menggenggam bulatan kertas itu dan membukanya. Isinya rumus. Tidak hanya satu untuk menyelesaikan nomor lima belas, tapi beberapa sekaligus. Siapa yang berbaik hati seperti ini? Sebelum kemudian ia berpikir berapa banyak dosa yang ditanggungnya karena menyontek, Binar segera menyalin rumus-rumus itu di lembar jawaban dan menyimpan bulatan kertas itu di dalam kaos kakinya.
"Lima menit lagi! Yang sudah selesai bisa langsung meninggalkan kelas." seru pengawas kedua yang baru saja kembali ke tempat duduknya.
Binar tertawa dalam hati. Dua puluh tujuh dari empat puluh soal berhasil dijawabnya. Meski dengan tujuh puluh tiga persen keraguan apakah jawabannya bisa membawanya ke angka-setidaknya-enam koma lima.
Tiga menit berlalu, Binar berhenti di nomor tiga puluh satu. Ia memutuskan untuk menghitamkan sembilan pilihan sisanya dengan cap cip cup kembang kucup.
Di dua menit terakhir, satu peserta maju pertama kali, meninggalkan bangku ujian dengan senyum lebar. Binar yakin, anak lelaki itu yang memberinya rumus-rumus di atas bulatan kertas seukuran bola pingpong karena bangku di belakangnya berderit. Tapi sesaat kemudian Binar membelalak. Anak lelaki itu Mizan!
🎐