webnovel

Dendam Marionette (1)

"Jangan... Jangaaaan ...! Aaaaakh! Sssakiiiiit!" teriakan seorang gadis remaja membahana, memenuhi semua ruangan yang berada dalam sebuah rumah bergaya kolonial. Tak lama setelah teriakan itu berakhir, terdengar isakan tangis.

Beberapa saat kemudian keluarlah seorang pria dari sebuah kamar, berganti dengan masuknya tiga pelayan perempuan ke kamar itu. Dua pelayan perempuan sudah berusia paruh baya sedangkan yang satu berusia sekitar awal tiga puluh. Kedua perempuan itu membawa seorang gadis ke kamar mandi dan membantu membersihkan badannya, sedangkan yang lebih muda mengganti sprei yang sudah kotor karena noda darah di atasnya, dengan sprei yang baru.

Isakan tangis masih terdengar dari bibir gadis yang kini berendam dalam bak kayu berisi air hangat. Pelayan yang berbadan gempal menatapnya sendu.

"Nama kamu siapa, Cantik?" tanyanya sambil menggosok punggung gadis itu.

Sambil terisak lirih, gadis itu menjawab meski sebenarnya ia enggan bersuara. "Aku Marionette."

"Ah, Marionette. Nama yang cantik seperti pemiliknya, dan hatimu pasti juga cantik. Aku tahu itu." Perempuan bertubuh gempal itu tersenyum lembut, meski dalam hatinya ia merasa begitu sedih.

"Panggil aku Bibi Engki. Aku akan menemanimu selama kau berada di sini. Panggil aku jika kau membutuhkan sesuatu, apa pun itu. Apa kau mengerti, Sayang?" Bibi Engki menatap Marionette dengan tatapan lembut, layaknya seorang ibu.

Marionette mengangguk.

"Oke. Sekarang, aku akan membantumu mengoleskan salep di lukamu. Tahan sedikit jika terasa perih."

Marionette mengangguk pelan. Ia kemudian dibawa ke luar dari kamar mandi setelah dikeringkan tubuhnya, dan dibaringkan di atas tempat tidur yang kini sudah kembali rapi dengan sprei baru yang bersih dan wangi.

Dengan mata terpejam, Marionette menahan rasa perih ketika salep itu mengenai luka lecetnya.

"Sekarang beristirahatlah. Aku akan membawakanmu semangkuk bubur gurih untuk mengembalikan tenagamu dan segelas minuman yang akan mengurangi kesedihanmu."

Hanya mengangguk yang dilakukan Marionette. Ia tidak berminat untuk melakukan gerakan lain. Ia merasa tidak memiliki tenaga sama sekali akibat terlalu banyak meronta dan berteriak-teriak. Marionette hanya menatap kosong jendela di samping kirinya yang kini sudah dibuka lebar oleh pelayan yang bernama Airin.

Airmata yang semula sudah tidak lagi memenuhi kelopak matanya, kini dengan lancar dan tanpa permisi kembali membasahi kedua pipi putihnya yang pucat. Ia kembali terisak mengingat peristiwa buruk yang menimpanya beberapa jam yang lalu. Ia merasa putus asa dan tidak lagi berharga.

Pikiran buruk mulai memenuhi otaknya. Mungkin itu adalah pilihan terbaik untuknya. Dirinya tidak mungkin meneruskan pertunangannya dengan Andrew karena dirinya saat ini sudah tidak suci lagi.

Kedua tangan Marionette kembali mengepal. Giliran amarah menguasai dirinya. Ingin ia membanting semua yang ada di kamar ini, tapi sayangnya ia tidak sedang baik-baik saja. Energi. Tidak ada energi yang tersisa dalam tubuhnya. Semua seakan sudah dirampas oleh pria jahat itu.

Suara ketukan dari pintu kayu besar, membuyarkan lamunan Marionette. Bibi Engki masuk sambil mendorong kereta makan yang berisi semangkuk bubur yang begitu wangi dengan aroma rempah, dan segelas minuman yang masih mengeluarkan kepulan asap panas, dengan aroma tidak jauh berbeda dengan aroma bubur.

Marionette bergerak sedikit untuk mengangkat tubuhnya, tapi sayangnya rasa perih masih menyiksanya hingga ia kembali jatuh membaringkan tubuhnya.

"Tidak usah terburu-buru, dan jangan memaksakan diri. Berbaring saja. Biar Bibi menyuapkan bubur ini untukmu," ucap tulus Bibi Engki.

"Terima kasih."

Bibi Engki terus memandangi wajah cantik Marionette. Gadis yang malang. 'Kasihan sekali kau, sayang. Hanya karena dendam tuan muda pada calon tunanganmu, kau justru yang menjadi korban.'

Bibi Engki terus menyuapi Marionette hingga bubur itu akhirnya habis.

"Buburnya sudah habis, dan sekarang saatnya minum air kesegaran. Semoga setelah ini tidurmu akan nyenyak dan tidak lagi merasa sedih. Ingatlah, suatu hari kau pasti akan memiliki kesempatan untuk melakukan semua yang kau inginkan," ujar Bibi Engki dengan gayanya yang sedikit berlebihan.

"Boleh aku bertanya padamu, Bibi?' Suara Marionette terdengar sedikit malu-malu. Ia sangat asing dengan tempat ini. Saat ini, orang yang bisa membantunya mencari tahu tentang keberadaannya saat ini, hanyalah pelayan tua yang sedang mengaduk minuman yang dinamainya minuman kesegaran.

"Boleh, Sayang. Kau boleh menanyakan apa pun pada Bibi. Bibi akan mencoba menjawabnya jika Bibi tahu jawabannya."

Marionette diam sejenak, menyusun kata yang tepat untuk mencari jawaban atas pertanyaannya yang sejak semalam terus merongrong pikirannya.

"Apakah Bibi sudah lama bekerja di sini?"

Bibi Engki menjawab dengan begitu semangat. "Bibi sudah bekerja di sini sejak usia Bibi masih delapan belas tahun. Ehm, bisa dikatakan kalau hampir setegah hidup Bibi, Bibi habiskan di rumah ini. Bekerja dan mengabdi pada keluarga ini."

Keluarga? Marionette merasa lebih penasaran lagi. Berarti di dalam rumah ini, tidak hanya pria gila tadi? Rasa cemas menyelimuti Marionette. Apakah anggota keluarga lain mengetahui keberadaannya di rumah ini?

"Hmmm, pria-pria yang... yang tadi sia-pa?" Marionette agak ragu-ragu menanyakan identitas pria yang sudah merenggut kesuciannya tadi.

Wajah Bibi Engki sedikit menegang, namun dengan cepat kembali ke ekspresi sebelumnya. "Dia adalah tuan muda keluarga ini, dan baru saja pulang dari luar negeri." Bibi Engki menatap wajah Marionette yang tiba-tiba menjadi sendu.

Pria jahat. Siapa nama pria jahat itu? Marionette sedikit meragu untuk menanyakan nama pria itu.

"Ada lagi yang ingin kamu tanyakan, Sayang?"

Marionette menggelengkan kepalanya. Ia mengurungkan niatnya. Untuk apa aku mengetahui nama orang yang sudah menyakitiku. Tidak ada gunanya sama sekali.

"Kalau begitu, sekarang saatnya kamu minum minuman pembuang kesedihan," seru Bibi Engki penuh semangat. Perempuan itu mengangsurkan gelas penuh air berwarna sedikit keruh dengan wangi khas rempah-rempah.

Marionette merasa sedikit terhibur dan dapat melupakan kesedihannya barang sejenak. Minuman itu akhirnya berpindah tempat, masuk ke dalam saluran pencernaan Marionette. Tidak berapa lama, Marionette merasakan kantuk yang luar biasa. Ia akhirnya memejamkan matanya karena sudah tidak kuat menahan badai kantuk yang menyerang dirinya. Marionette sempat mendengar beberapa kalimat yang diucapkan Bibi Engki dengan Lirih.

"Andaikan mereka tidak berkhianat, mungkin dirimu tidak akan mengalami hal tragis seperti ini. Entah apa yang ada di benak tuan muda saat melihatmu sehingga terjadi hal buruk seperti ini padamu." Bibi Engki menghela nafas panjang.

Perempuan gempal itu akhirnya mendorong kembali kereta makan itu dan membawanya pergi dari kamar yang ditempati oleh Marionette.

Pengkhianatan? Siapa yang berkhianat? Marionette menggelengkan kepalanya berulang kali. Ia sama sekali tidak mengerti maksud perkataan Bibi Engki. Siapa yang mengkhianati siapa? Lalu, mengapa justru dirinya yang harus menerima hukuman untuk hal yang tidak ia mengerti?

Pintu kamar itu kembali terbuka. Marionette menolehkan kepalanya ke arah pintu. Seketika wajahnya memucat, dan tubuhnya membeku.