"Pacaran itu sama anak TI.
Titik koma coding aja diperhatiin. Apalagi kamu?"
(Sean)
***
Pak Hans mengembuskan napas berat dan menggelengkan kepala.
"Nggak mungkin. Mama kamu udah lama nggak ada, Sean. Bahkan kamu tahu itu."
Sean memang sudah kehilangan Mamanya sejak kecil. Terakhir kali ingatan Sean mengenai Mamanya adalah ketika Mamanya menjemputnya saat pulang sekolah. Dari jalan seberang Mamanya terlihat merentangkan tangannya menunggu Sean untuk menyebrang jalan dan memberikan pelukan kepadanya.
Namun belum sempat Sean menyebrang, beberapa pria dewasa dengan wajah bengis menarik paksa tangan Mamanya dan membawanya masuk ke dalam mobil hitam.
Sejak itulah Mamanya menghilang entah ke mana. Bahkan sampai sekarang pun Sean belum pernah bertemu lagi dengan Mamanya.
Itulah kepingan memori yang masih Sean miliki. Tertinggal di relung hatinya paling dalam. Entahlah, ketika mengingat semua hal mengenai Mama, kepala Sean seolah menjadi pusing.
"Mama kamu sudah mening—"
"Tapi Sean dapet surat kaleng yang isinya ngasih tahu aku kalau Mama masih hidup, Ko! Di surat itu pun tertulis kalau Mama ada di kota ini. Itulah alasannya Sean jauh-jauh pulang dari Singapura ke Indonesia!" kata Sean dengan nada tinggi memutus ucapan Kokonya yang belum terselesaikan.
Pak Hans hanya mampu terdiam. Benarkah apa yang dikatakan keponakannya itu?
Dengan kesal Sean membuka resleting kopernya dan memberikan surat kaleng tersebut kepada Kokonya.
"Itu Mama, kan?" ucap Sean lirih ketika Kokonya memegang foto wanita yang mengenakan gaun putih kumuh dan tubuhnya terlihat kurusan.
Meskipun sudah bertahun-tahun lamanya Sean tidak melihat Mamanya. Tapi Sean yakin jika itu adalah foto asli dari Mamanya yang hilang puluhan tahun ini. Yang artinya... Mamanya masih hidup.
Pak Hans tidak mampu berucap sepatah kata pun karena memang benar, ini adalah foto Diana--Mamanya Sean. Di surat kaleng itu pun juga tertulis nama kota ini sebagai petunjuk.
Lalu siapa yang mengirimkan surat kaleng tersebut kepada Sean? Kenapa orang itu sampai susah-susah ke Singapura hanya untuk memberikan informasi ini kepada Sean? Seribu pertanyaan pun bermunculan di benak Kokonya.
"Terus sekarang apa rencana kamu? Bisa jadi, kan, surat kaleng ini palsu dan cuma buat ngecoh kamu, doang?"
Sean menggelengkan kepala dan menatap ke atas. Menatap langit-langit ruangan yang berwarna putih bersih.
"Nggak tahu. Seenggaknya masih ada harapan kalau Mama masih hidup dan bisa ditemuin, Ko."
Pak Hans hendak menjawab lagi. Tapi kedatangan Selly yang membawa minuman untuk mereka pun membatalkan niatnya seketika.
"Thanks," ucap Sean kepada sekretaris Kokonya itu.
Sebenarnya Pak Hans sendiri merasa sedih atas nasib keponakannya yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri. Sean adalah anak dari Kakaknya yang bernama Denis.
Denis tidak mau mengakui Sean sebagai anaknya lantaran dulu jabatan Dennis adalah seorang DPR. Denis takut jika publik tahu kalau dia memiliki anak dengan istri siri maka reputasinya sebagai tokoh politik akan hancur. Sehingga Denis terpaksa menitipkan Sean kepada Ibunya.
Dulu, Diana selalu dijanji-janjikan oleh Denis untuk dinikahi sah secara negara juga. Namun Denis tidak dapat menepati janjinya lantaran Dennis berat sebelah pada keluarga dari istri pertamanya sehingga menyebabkan kejiwaan Diana terguncang. Diana menjadi setengah gila.
Entahlah, keluarga Sean benar-benar rumit seperti benang kusut.
Ada niatan bagi Pak Hans untuk mengangkat Sean sebagai anak. Namuan istrinya menolak keras.
"Aku nggak mau, ya, Mas kalau kita nambah anak lagi. Cukup Ari sama Gamma anak kita. Pokoknya aku nggak mau kalau anak itu juga ikutan tinggal di sini!"
Sean yang tahu diri kalau istri dari Kokonya tidak mau atas kehadirannya pun memilih untuk tinggal bersama Omanya saja. Untungnya Oma tidak jahat dan sangat mencintainya sepenuh hati.
Memang ada bekas istri, memang ada bekas suami. Namun sampai kapan pun tidak akan ada yang namanya bekas anak. Apalagi bekas cucu. Tidak, tidak akan pernah ada.
Bahkan Pak Hans pikir... mungkin kata-kata istrinya waktu itu masih membekas di hati keponakanya.
Akhirnya Pak Hans hanya bisa mensupport Sean melalui materi yang dikucurkan tak ada habisnya kepada Sean. Tak apa, setidaknya hal itu bisa menebus dosa Kakaknya terhadap Sean dan Diana.
"Hm... Yaudah. Apa pun yang kamu lakuin Koko bakalan terus mensupport kamu. Dan nanti Koko juga bakalan nyuruh orang kepercayaan Koko buat menyelidiki kasus Mamamu."
Sean tersenyum mendengar hal tersebut.
"Makasih, ya, Ko. Makasih banget."
Kini suasana canggung yang tadi sempat terjadi pun perlahan mulai mencair.
"Gimana kabar gebetan kamu yang itu? Kalau nggak salah, sekarang dia udah punya buntut tiga, ya?" ejek Pak Hans sambil terkekeh senang untuk menghidupkan suasana.
"Koko nggak usah ngejek, deh!" ucap Sean sambil cemberut sebal. Kokonya ini memang senang sekali membuatnya gagal move on dari Tante Anha.
Sean memang sempat menyukai Tante Anha. Tapi karena umur mereka terpaut beberapa tahun maka terpaksa cinta Sean hanya bertepuk sebelah tangan. Tak terbalas dan ditinggal Tante Anha menikah.
"Terus. Kamu nanti mau tinggal di mana? Udah ada pandangan belum? Atau mau tinggal di rumah Oma aja?"
Sean menggelengkan kepalanya.
"Nggak, ah, Ko. Tau sendiri, kan, Oma itu protektif banget sama aku. Nggak pulang ke rumah aja semua temenku di telponin, loh, Ko! Dulu waktu awal Sean mau berangkat ke Singapura pun Oma juga sampai nangis kayak gitu. Kayak anak perawan ilang aja," ucap Sean sambil mendengus.
Bagaimanapun Sean juga ingin hidup mandiri. Entah ngekos sendiri ataupun membeli apartemen saja. Setidaknya, dia tidak ingin terus-terusan dimanja oleh Oma dan Kokonya.
Koko terkekeh mendengar hal tersebut. Memang, sih, ibunnya itu sangat sayang dengan Sean. Di antara cucu-cucunya yang lain. Seanlah adalah cucu kesayangan Ibunya.
"Terus kalau kamu nggak mau tinggal sama Oma, kamu mau tinggal di mana?"
Sean mengedikkan bahu. Tidak tahu.
"Nggak tahu, cari kost-kostan paling."
"Emang kamu mau ambil kuliah di mana?"
"UDINUS aja, Ko. Yang lumayan deket sama sini."
"Nggak mau ambil negeri aja?"
"Nggak usah. Katanya TI-nya bagus, kok, di sana."
Pak Hans mengangguk-anggukkan kepala.
"Yaudah, kamu cari aja kost-kostan di dekat sana yang menurut kamu oke. Nanti soal biaya biar Koko yang atur."
Sean terdiam. Entah mengapa percakapan dua wanita di dalam lift tadi mengiang kembali di benaknya.
-
"Eh, Pril. Katanya rumahmu yang ada di Sadewa kamu sewain, ya?"
"Iya."
"Masih disewain nggak rumah kamu itu?"
"Masih, sih, Din. Kenapa emangnya?"
-
Bukannya kalau tidak salah tempat kuliahnya yang baru itu dekat dengan kost-kostannya wanita galak yang tadi bertengkar dengannya di depan lift, ya?
Seketika Sean pun tersenyum senang.
"Ko... Koko tahu nggak karyawan Koko yang namanya Aprilia itu ada di ruangan lantai berapa?" tanya Sean dengan saksama.
Pak Hans mengernyitkan dahi. Aprilia siapa?
"Ya mana Koko lu tahu. Karyawan Koko lu, kan, banyak kali," timpal Riki yang sedari tadi hanya diam menyimak saja pun mengangkat suara.
"Kenapa? Kamu naksir, ya, sama dia?" goda Kokonya sambil menaik turunkan alisnya.
"Nggak, Ko. Tadi kalau nggak salah dia bilang kalau dia punya rumah di deket UDINUS yang emang lagi disewain."
Sean lantas berdiri dari posisi duduknya.
"Bentar, ya, Ko. Sean cari dulu orangnya."
Sean keluar dari ruangan dan menghampiri meja kerja Selly untuk bertanya kepadanya tentang di mana ruangan wanita galak yang kalau tidak salah bernama Aprilia itu.
"Oh, April? April ada di bagian pemasaran, Mas. Lantai lima ruang du—" belum sempat Selly menyelesaikan ucapannya Sean sudah buru-buru pergi untuk mencari ruangan April.
Kalau memang rumah Wanita itu disewakan. Mungkin hari ini Sean bisa langsung menempati dan hal tersebut menghemat energinya daripada dia harus mencari kost-kostan ngalor ngidul.
Ketika Sean sudah sampai di lantai lima. Dia langsung mencari sosok yang hendak ditemuinya. Dan benar saja, di salah satu ruangan terlihat wanita tersebut sedang menatap layar komputer yang menampilkan hijaunya tabel excel.
Buru-buru Sean datang menghampirinya.
"Kamu April, kan," ucap Sean dengan senang sambil menepuk pundaknya. Ah, akhirnya Ibu Kost ketemu juga.
Iyalah April! Ya, masak Milea! Huh, memeng bocah ini setengah gila, deh, kayaknya.
April menengok ke arah belakang untuk melihat siapa yang memanggil. Ketika mengetahui ternyata yang menepuk pundaknya adalah bocah yang tadi mengajaknya bertengkar, April langsung mengernyitkan keningnya sambil berdecak kesal.
Bocah ini lagi! Kenapa dia ada di mana-mana, sih!
"Apa!" jawab April dengan sewot.
"Jadi nama kamu April?" ulang Sean lagi.
Tabel penjualan sudah membuat kepala April hampir meledak, sekarang haruskah dia juga berhadapan lagi dengan bocah antah berantah yang menyebalkan ini?
"Katanya tadi kamu lagi nyewain rumah, kan? Nah, kebetulan aku juga lagi nyari kost-kostan," ucap Sean sambil menjentikkan jarinya dan berkedip senang kepada April.
Dahi April mengerut.
Maksudnya?
"Mulai hari ini. Aku yang bakalan nempatin rumah kamu," ucap Sean dengan senyuman paling memukau.
April membuka mulutnya tidak percaya.
"Hah?!"
***
innstaggram: Mayangsu_
T1kt0k: Mayangsuu