-Terjebak Menjadi Simpanan-
"Kenapa kau selalu mengancamku. Kejadian dimasa lalu yang menimpamu sama sekali tidak ada kaitannya denganku." Monica berteriak setengah mengeram.
Terserah. Apapun yang kau lakukan aku sama sekali tidak peduli." Mahesa berseru dingin. Laki-laki itu lebih memilih berkutat dengan berkas di depannya dibandingkan meladeni sang istri.
"Kau selalu seperti ini, Mahesa. Padahal itu hanya kecelakaan yang bahkan bukan aku pelakunya." Monica menghela nafas panjang. "Itu hanya kebetulan."
Mahesa tidak menggubris. Laki-laki itu hanya melirik sekilas, "Apa maumu, aku tidak punya banyak waktu untuk mengobrol hal tidak penting."
Degh …
Helaan nafas kesal terdengar. Monica tengah menahan amarahnya dengan mengepalkan kedua tangan. Ia menghela nafas panjang, kemudian menatap Mahesa lagi.
"Malam ini diadakan pertemuan keluarga di rumah. Mama mau kita datang."
"Itu saja?"
"Mahesa, please. Keluargaku mengadakan pertemuan dengan calon tunangan Rafael. Jika kau tidak datang mereka akan bertanya-tanya tentang hubungan kita."
Mahesa menghela pelan. Ia mendongak, mengangkat sebelah alisnya.
"Akan aku usahakan."
"Mahesa! Kau tidak bisa bermain-main."
Brakk …
Mahesa melemparkan tumpukan kertas hingga berserakan di depan Monica. Raut wajahnya berubah jengkel dengan tatapan dingin lebih dari biasanya.
Monica terdiam. Ia terkejut, perlahan mengusap dadanya sambil menatap Mahesa yang tengah dikelilingi dengan aura gelap.
Gluk….
Monica meneguk ludahnya dengan susah payah. Mendapati Mahesa marah bukan hal yang baik. Laki-laki itu cenderung kasar atau bahkan melemparnya dari ruangan ini.
"Ma-mahesa ak-"
"Keluar!!" bentaknya.
"Mahes-"
"AKU BILANG KELUAR! KAU TIDAK PUNYA TELINGA HAH!!"
Degh …
Monica menunduk takut. Wanita itu langsung bergegas keluar sebelum singa itu mengamuk.
Ruangan mendadak hening. Lembaran kertas berserakan di lantai. Ruangannya benar-benar kacau kali ini. Mahesa menghela napas panjang. Laki-laki itu mengusap wajahnya dengan kasar, kemudian kembali duduk kursi kerjanya.
Mahesa membuka laci. Menatap sebuah frame foto berukuran kecil yang menampilkan seorang wanita berambut pirang tengah tersenyum sambil memegang bunga mawar putih yang merekah indah.
Mahesa terdiam, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Dulu, kehidupannya penuh dengan canda tawa dan bahagia. Kelopak mawar putih yang bertebaran, juga malam berbintang yang gemerlap.
Tapi sekarang semua hanya tinggal sebuah kenangan. Badai itu muncul tiba-tiba tepat merenggut segalanya, cintanya, kebahagiaannya. Mengubah malam berbintang menjadi gelap gulita.
Mawar putih yang dulu membuatnya bahagia kini berubah menjadi mawar mengerikan yang dilumuri cairan merah darah dengan pecahan kaca tepat di depan matanya.
"AHHH!!" Mahesa berteriak. Ia memegang dadanya yang terasa perih di saat yang bersamaan.
"Tuan!"
Roy yang baru membuka pintu langsung berlari ke arah Mahesa. "Tuan baik-baik saja?" tanyanya.
Mahesa terdiam beberapa saat. Memejamkan matanya sebelum mendongak menatap sekretarisnya.
"Hn, aku baik-baik saja."
Roy menuntun tuannya duduk ke sofa Panjang di dekat mereka. Laki-laki itu menghela pelan.
"Perlu saya panggilkan dokter?"
Mahesa mengeling. "Tidak perlu. Aku hanya mengingat kejadian di masa lalu."
Roy langsung paham. "Apa Nyonya Monica mengungkitnya lagi?"
Mahesa tidak menjawabnya. Ia hanya mendengus pelan. Istrinya itu memang tidak mengungkit secara sengaja. Hanya saja jika ia melihat Monica, maka kejadian naas di masa lalu itu kembali terbayang-bayang.
Alasan yang sama membuatnya kesal berada satu ruangan dengan sang istri.
"Tentang kecelakaan."
Degh …
"Ya tuan? Apa saya harus memanggil psikiater untuk anda?" Roy bertanya dengan hati-hati. Tuan Mahesa masih ketakutan dengan kecelakaan, mobil dan juga hal-hal yang berhubungan dengan kejadian naas di masa lalu.
Dulu ketika ia pertama kali menjadi sekretarisnya tuan Mahesa ia melakukan banyak kesalahan. Termasuk bertindak sendiri untuk memanggil psikiater tanpa persetujuan majikannya.
"Tidak, bukan tentangku." Mahesa berseru. "Apa wanita yang nyaris ku tabrak beberapa minggu lalu itu sudah menghubungimu?"
Roy mengerutkan alisnya beberapa saat. Berpikir keras dengan apa yang dimaksudkan oleh sang majikan.
"Di depan rumah mertuaku."
"Ah, saya mengerti." Roy langsung berseru. "Dia tidak menghubungi saya. Mungkin tidak ada yang menjadi keluhannya. Mengingat saat itu dia tidak benar-benar tertabrak tuan."
Roy bicara dengan perlahan. Tuannya sedikit trauma dengan kecelakaan. Meskipun tuannya itu kasar dan membentak wanita yang nyaris tertabrak mobilnya kala itu, tapi ia masih ingin bertanggung jawab jika wanita itu terluka.
"Dia baik-baik saja berarti."
"Benar tuan. Anda tidak perlu khawatir."
Tidak ada yang tertabrak, tentu saja.
"Baguslah." Mahesa melonggarkan ikatan dasinya. Ia menghela nafas Panjang. "Meskipun aku tidak tau siapa wanita itu tapi tetap saja aku merasa bersalah ketika nyaris menabraknya."
Roy tidak mengatakan apapun. Pikirannya melayang-layang. Alisnya mengerut, ia sama sekali tidak fokus dengan apa yang tuannya katakan saat ini. Ingatan kecil muncul tiba-tiba.
'Wanita itu?'
Degh …
Roy mengingatnya.
"Roy…"
"Roy!!"
Degh …
"Ya tuan!" Roy berseru refleks, sedikit nyaring. Panggilan tuannya itu membuat lamunannya buyar seketika.
Roy berdehem pelan. Ia mengedip-kedipkan matanya beberapa kali, mengumpulkan nyawanya yang sempat tercecer ke dunia lain.
"Kau tidak mendengarku?" tanya Mahesa dingin.
"Maaf tuan, saya tidak fokus. Maafkan saya," serunya setengah menunduk. "Tuan bicara apa dengan saya?"
Mahesa tampak bingung dengan tingkah aneh sekretarisnya itu. Mengingat selama ini Roy tidak pernah kehilangan fokus sama sekali.
"Apa yang tengah kau pikirkan?" tanya Mahesa penasaran.
Roy mendongak pelan. "Saya tidak memikirkan apapun tuan. Saya hanya merasa sedikit lelah," serunya.
Ia tidak mungkin mengatakan pada tuannya jika ia sedang memikirkan wanita yang mereka bicarakan itu. Wanita yang terlihat mirip dengan seseorang yang berpapasan dengan mereka di toilet wanita baru-baru ini.
'Apa tuannya juga tidak mengenali wanita itu?'
Ia juga tidak menyadari waktu itu. Roy yakin jika keduanya adalah orang yang sama. Meski malam itu ia tidak melihat terlalu jelas karena hujan.
Mahesa mengerutkan sebelah alisnya beberapa saat. Ia menghela nafas pelan, percaya. Laki-laki itu mengangguk. "Apa jadwalku selanjutnya."
"Anda memiliki janji makan siang dengan klien dari Jepang, kemudian dilanjutkan rapat bersama para petinggi dan terakhir pertemuan dengan perwakilan cabang sorenya."
"Batalkan dua janji. Malam ini aku memiliki acara penting dengan keluarga istriku."
"Saya mengerti." Roy langsung mengubah jadwal tuannya dengan cepat.
"Err, tuan. Ini tentang kesepakatan bersama pemasok baru." Roy berseru. Tuannya belum mengambil keputusan siang itu. Seharusnya pertemuan mereka di lapangan golf dan restoran sushi akan berjalan lancar.
Namun tidak, karna tuannya mendadak pergi begitu saja siang kemarin.
Mahesa mendengus pelan tanpa membuka suara. Laki-laki itu kembali ke meja kerjanya.
Dari reaksi singkat itu saja Roy bisa mengerti jika tuannya tidak lagi berniat membuka kesempatan pada mereka.
"Saya akan mencari yang lebih bisa diandalkan tuan." Roy berseru.
To be continued....