webnovel

YOU, ME, DEATH

Cara termudah untuk melupakan mantan kekasih adalah, mereset kembali pikiran. begitulah yang terjadi pada Junghan, pria kaya yang jatuh miskin karena mantannya. Dia bertekad menjadi orang lain dengan menghapus ingannya untuk memulai lembaran baru. Namun, tak semudah yang direncanakannya. satu persatu masa lalu datang padanya.

Vince_Umino · Urbain
Pas assez d’évaluations
20 Chs

Keputusan yang merugikan

Pada jam pulang sekolah, teman sekelasku mulai bertaburan keluar dari kelas.

Hari ini Kenta bersama tiga orang gadis mendapat jadwal piket. Sedangkan Fujia duduk di atas meja sambil berceloteh pada mereka.

Pembicaraan mereka tidak jauh-jauh dari mangaka dan kuliner yang sedang tren baru-baru ini. Dibumbui candaan dan plesetan dari Fujia. Sehingga meski hanya berlima, ruang kelas cukup riuh.

Aku paling tidak suka melihat Kenta tertawa terbahak-bahak. Alasannya banyak, salah satunya karena dia, aku menambah daftar pekerjaan rumah dan tugas dari ayah.

[ Gadis Sakit Mental itu harus sadar diri! ]

Selesai memasukkan buku ke dalam tas, aku meninggalkan ruang kelas. Begitu keluar dari kelas, beberapa siswa masih membludah di lorong-lorong kelas. Biasanya, beberapa gadis akan menungguku di depan gerbang untuk pulang bersama.

Kadang kala aku keluar menggunakan pintu belakang demi menghindari ajakan mereka yang menginginkan pulang bersama.

Aku berjalan di lorong yang cukup sepi. Di sini hanya ada segelintir siswa sedang piket.

Sepintas aku teringat kejadian tadi malam. Saat banyangan yang terlintas pada pelajaran terakhir.

Sambil berjalan menuruni tangga ke lantai satu, aku membuka rekaman CCTV di smartphone.

Rekaman CCTV kusesuaikan pada tanggal waktu saat matinya listrik di rumahku.

Dari rekaman CCTV hari itu, kamar ayah cukup gelap karena aku lupa menghidupkan lampu utama.

Karena ruangan cukup gelap, rekaman CCTV menjadi hitam putih dan menangkap teriakan Fujia bersama Kenta dari ruang TV.

Selepas teriakan mereka, lampu mendadak mati, malam itu, gorden di kamar ayah menyebarkan cahaya dari halaman belakang. Aku terkejut saat melihat siluet seseorang berdiri di luar jendela kamar ayah.

Bayangan itu seperti sedang mengintip di celah gorden. CCTV infrared menyorot siluet hitam itu hingga cukup dekat, akan tetapi tak dapat merekam wajah orang itu.

Bulu kuduku berdiri. Aku berhenti di dekat gerbang belakang untuk menyimak dengan jelas rekaman itu.

Orang di depan jendela terekam sedang berusaha membuka jendela kamar ayah, tetapi tak berhasil. Ia hilang dalam sekejap, cctv berhenti menyorot.

Beberapa menit setelah itu, pintu kamar ayah mendadak dibuka. Tentu saja bukan aku, melainkan orang asing itu.

[ Astaga, apa jangan-jangan dia masuk lewat jendela di atas dapur? Karena cuma itu jalan yang tersedia. Tetapi, bagaimana dia tahu? Kecuali sudah mengamati rumah kami. ]

Aku kembali melihat rekaman. Sekarang pintu kamar ayah ditutup oleh orang itu. Kejadian itu bertepatan saat suaraku terekam sedang bertengkar dengan Fujia dan Kenta, tepatnya saat menuju kamarku.

Sorot cahaya dari senter bergerak ke segala arah di kamar ayah. Orang itu menggeledah berbagai tempat tetapi anehnya ia tak mengambil apa pun.

Padahal ia telah menemukan beberapa kotak koleksi jam tangan ayah yang cukup mahal jika dijual.

[ Jika bukan karena ingin mencuri, lantas apa yang dicari orang itu? ] tanda tanya besar bermunculan dalam pikiranku.

Ia mungkin akan datang lagi, entah kapan.

Aku perlu satu CCTV silikon untuk diletakkan di luar rumah.

Aku berbelok, membatalkan niat untuk pulang. Aku pergi ke Golden Street, menjenguk Yubi sebentar lalu membeli satu CCTV infrared.

Sesampainya di depan rumah, kuletakkan sepatu dengan rapi di rak sepatu. Saat berjalan di ruang tengah, suara air yang direbus terdengar dari arah dapur.

Aku pergi menuju kamar, dan menoleh sesaar pada ayah.

Pria tua dengan bahu lebar yang masih tampak gagah itu, mengenakan kemeja hitam dibalut oleh celemak motif bunga.

Rambutnya yang silver panjang, diikat ekor kuda dan seperti biasa ia tahu betul kehadiranku. Ayah menoleh, kaca matanya melorot.

Kepulan asap dari aktivitas memasak, keluar lewat jendela atap yang sengaja dibukanya.

"Jendela dapur tidak kau kunci!" ucap ayah.

"Bukannya tidak dikunci, memang kuncinya rusak."

[ Orang asing tadi malam, mungkin yang merusaknya. Ternyata dugaanku benar, dia memang masuk lewat pintu atap dapur. ] Pikirku.

"Oi, kau datang cukup terlambat. Hari ini, kemana saja?" tanya ayah seraya membetulkan kaca matanya.

"Aku hanya jalan-jalan sebentar. Kapan ayah pulang?"

"Sekitar pukul 2 siang, 1 jam sebelum kamu datang. Ayah sedang membuat pangsit ayam dan mie udon. Kau pulang sendirian, di mana Yunna?"

Aku menghela napas, mendengar nama itu.

"Aku tak akan melupakan nama itu. Kau masih mengkhawatirkannya ... setelah menjerumuskannya pada status seorang lelaki dan membuatnya membohongi seluruh penghuni sekolah."

Seperti biasa, jika mengungkit hal sepenting ini, ayah seperti tidak punya kuping, sekarang ia memutus kontak mata dan mengabaikan aku.

[ Menjengkelkan! ]

Aku tak ada niat memperpanjang amarahku terhadapnya. Lagi pula kehadiran Yunna di sekolah sebagai Kenta sudah terlanjur dan tidak bisa ditarik lagi.

Aku menatapnya dengan sinis lalu masuk ke kamar dan menggantung tas.

[ Ayah bukan orang bodoh yang melakukan ini itu tanpa pertimbangan. Pasti ada sesuatu yang disembunyikannya. Kadang, aku tidak mengerti cara berfikirnya. Yang pasti dia selalu melepas tanggung jawab dengan berbagai alasan yang dipaksa-paksakan. ]

Selesai mandi, terdengar ayah memanggilku. "Masio, cepat keluar. Makanan sudah siap!"

Hari sudah petang, kututup jendela kamar dan pergi ke luar.

Meja makan sudah ditata rapi dengan pangsit ayam, beberapa sayur dikukus, Mi udon. Aroma nasi dari rice cooker tercium saat ayah sedang membukanya. Ia menatapku sejenak dengan kaca mata dipenuhi uap.

Gadis Sakit Mental itu, duduk sambil meniup udon yang panas. Matanya melirikku.

"Bagaimana sekolah kalian?" Ayah bertanya tanpa menatap pada kami. "Tadi malam paman kerja lembur."

Aku menarik kursi dan ikut duduk. Hampir mulut ini berucap untuk menyatakan keberatan soal Kenta yang masuk ke kelasku, tetapi ayah seperti bisa membaca gelagatku.

Ia mendahuluiku. katanya, "Mulai sekarang, Kenta tidur di kamar Masio. Berangkatlah bersama-sama ke sekolah, mulai besok!"

"Hah, apa kuping ini tidak salah dengar?" emosiku langsung membantah ucapannya.

"Tunggu ayah! Kau tidak bisa memutuskan hal yang sangat penting tanpa persetujuanku. Tidur, dengannya? Tidak, aku tidak mengizinkannya!" Aku membantah dengan kukuh. "Ayah, aku keberatan!"

"Aku senang tidur berdua, terima kasih Paman Rai," Kenta menyela. Ia menghindari kontak mata denganku.

Aku beralih menatap ayah dengan tajam ketika ia membelai rambut Kenta dengan wajah gembira.

Dia tak memikirkan bagaimana perasaanku.

[ Aku tahu, ada ketimpangan kasih sayang di rumah ini. Akibat kehadiran Gadis Sakit Mental ini! Awas kau! ]

Mendapatkan perhatian besar dari ayah, Yunna alias Kenta, Gadis Sakit Mental itu menjulurkan lidah padaku yang sukses membuat aku makin geram.

"Mulai sekarang, kau tidak bisa mengusirku. Kamar itu ...," Kenta menunjuk pintu kamarku dengan wajah sangat bahagia. "Mulai sekarang, kamar itu milik kita berdua! Oh, ya Paman, di sekolah sangat menyenangkan sekali. Aku punya beberapa teman baru dan tadi malam kami tidur di sini."

Dia memamerkan kehadiran Fujia.

"Ouh ya, bagus sekali. Kapan-kapan kenalkan temanmu pada Paman, ya," ucap ayah seraya melirik pada Kenta.

Melihat ekspresi ayah, aku mengumpat dalam hati. [ Memang luar biasa, Ular Berbisa yang satu ini. Suaranya sengaja dilembut-lembutkan, cih! ]

Mendadak ayah menatapku dengan sorot mata yang tajam, seperti kami sedang melakukan perang dingin melakui mata ke mata. Pisaunya yang tajam mengarah padaku, mengancamku.

Keadaan ini tidak bisa lebih parah lagi.

Aku akhirnya mengalah, menutup mulut menelan kekalahan dari Kenta. Hanya bisa membatin saat merasakan diskriminasi di rumah ini.

[ Dengan melihat ini, aku tak yakin, aku anak ayah. ]