webnovel

Menjaga Pasien

Ini bukan sekadar gangguan kecil bagiku. Entah kenapa kami seperti sedang berlomba untuk saling mendahului. Selesai menyikat gigi, Fujia ikut menyerbu lemariku. Tidak hanya sampai di situ, ia bahkan memegang seragam yang sama denganku. Akhirnya kami saling berebut.

Aku menatapnya dengan kening terangkat, ''Kau bilang hanya akan menumpang mandi. Lalu tindakan macam apa ini?'' aku melirik tangannya yang bertengger di seragamku. ''Lepaskan tanganmu sekarang!''

Wajahnya berubah dari datar menjadi tampak kesal, lalu katanya. ''Kau ingin aku dihukum karena tidak memakai seragam. Lagi pula kau masih punya banyak stok. Yasudah, aku akan meminjam baju Kenta saja, badan kami juga tidak jauh beda.''

Fujia mendengus lalu berbalik hendak keluar dari kamar. Ini akan menjadi rumit kalau dia memergoki Kenta sedang berganti pakaian. Ia memegang kenop pintu, hendak membukanya. Buru-buru kusergap dari belakang dan kutahan pintu itu agar tidak jadi terbuka. Ia berbalik, tatapannya menuntut jawaban atas tindakanku.

''Kau maunya apa? Apa aku juga tidak boleh meminjam seragam Kenta?''

''Ah, bukannya begitu. Pakai saja punyaku. Besok, jangan dikembalikan. Kau simpan saja.'' Aku paling tidak suka berbagi pakaian, apalagi dengan Fujia. Secara, penampilannya terlihat cukup lusuh, meski dia anak orang kaya.

Bibirnya tertarik lebar, menampilkan senyum mirip joker. Sekarang, dia pasti senang. Fujia memang tipikal manusia yang mudah berubah emosinya. Entah itu topengnya atau memang tulus. Tapi yang kutahu selama ini, walau bagaimanapun sikapku, dia selalu menyikapinya dengan goyonan. Terkadang aku berpikir, hidupnya seperti lolucon yang selalu menyenangkan disetiap situasi.

Selesai berseragam, kuselempangkan tas lalu membuka pintu, meninggalkan Fujia yang duduk sambil berkaca. Dia menyurai rambutnya nan agak keriting itu dengan sisir milikku. Aku lupa menyembunyikannya. Kuharap sesuatu yang disebut kutu atau kulit mati kepalanya tidak tertinggal di sela-sela sisir. Atau mungkin, kubuang saja sisir itu nanti.

Aku membuang napas panjang lalu melangkah keluar. Aku kaget dan berbalik ketika melihat Kenta melepas singletnya di dekat ruang mesin cuci. Kututup pintu dan bersandar sejenak. Mataku yang berdosa ini masih terbayang-bayang dirinya yang hanya mengenakan celana panjang.

''Bikin kaget saja. Dasar ceroboh! Kenapa dia baru memakai pakaian, arggghh!!!'' Efek dari kejadian itu masih mempengaruhi jantungku yang berdetak laju.

''Masio, kau menghalangi jalan.''

Aku terkejut untuk kedua kalinya. Tahu-tahu, Fujia sudah berdiri di depanku. Ia menatapku lalu melirik jam tangannya. ''Kau mau mengajak berantem, 15 menit lagi masuk kelas! Kenapa mendadak sikapmu aneh sekali hari ini. Apa ada sesuatu di luar?''

Matanya memicing, penuh kecurigaan padaku.

Dia menebak dengan benar, aku tak bisa menyembunyikan senyum kikuk padanya. ''Oh, bicara apa kau ini, aku hanya berniat menunggumu—''

''Pasti ada yang kau sembunyikan!''

Deg!

Tiba-tiba Fujia mengunci pinggangku seperti seorang pegulat. Aku terkejut, Ia mengambil kesempatan saat aku lengah. Kenop pintu diputar lalu mendorongku hingga pintu terbuka dan kami terhuyung keluar.

Leherku otomatis bergerak ke arah ruang mesin cuci, akan tetapi sosok yang kucari sudah berdiri tak jauh dari kami, dengan tangan terlipat di dada, dan seragam yang telah kokoh ditubuh kecil itu. Kenta berdiri dengan tatapan heran pada kami.

Kehadiran Gadis Sakit Mental itu membuat Fujia melepas pelukannya. Bocah berwajah joker ini malah memeluk Kenta di depanku. Dan bikin sakit mata adalah, respon Kenta nol besar. Dia tampak tak terganggu sama sekali.

''Kudengar kalian bertengkar, benarkah?'' tanya Kenta.

''Ah, tidak. Hanya sedikit pertukaran emosional saja,'' balas Fujia seraya merangkul pundak Kenta. Karena tubuh mereka sama tingginya, sehingga ketika berbicara wajah mereka sangat dekat. Aku suka heran melihat Fujia yang punya kebiasaan berbicara dengan posisi sangat dekat. Sebagai temannya yang baru berusia dua tahun, kadang aku risih. Tapi hal itu tak jadi masalah, karena tinggi kami terpaut cukup jauh.

Dan menurut dugaanku, sikap Kenta tak jauh beda dengan Fujia, sehingga ia tidak risih sama sekali.

''Ini tidak bisa dibiarkan, sebagai seorang gadis, dia terlalu mudah untuk di peluk lelaki manapun!''

Aku hanya bisa berharap, payudara Kenta yang tidak begitu menonjol itu tak terasa ketika dipeluk. Lama-lama melihat mereka seperti permen karet, membuat mataku berkunang-kunang. Kudorong wajah Fujia dan Kenta sambil menerobos di tengah-tengah mereka. Keduanya berhasil dipisahkan, lalu aku berkata dengan penuh penekanan. ''Tidak ada skinship di depanku, mengerti!''

Waktu istirahat berlangsung, kantin seperti biasa selalu dijejali oleh banyaknya siswa baik yang sedang makan maupun yang mengantri. Karena sudah cukup penuh, sebagian dari siswa yang tidak kebagian tempat duduk, memilih makan di taman atau di belakang sekolah.

Aku bersama Fujia dan si Gadis Sakit Mental, mengambil meja panjang di bagian ujung, di sudut-sudut. Bagian paling enak, nongkrong di sudut-sudut adalah, kau tidak terlalu diperhatikan banyak orang, dan juga dapat kebagian udara segar dari jendela yang langsung mengarah ke taman. Dari sini, masih bisa melihat pohon beringin yang dipenuhi bunga westeria. Cukup untuk mengembalikan mood yang hancur. Kami duduk menunggu ramen Yakisoba yang telah disedu dengan air panas.

''Lain kali jangan letakkan jam rusak di kamarmu!" tegur Fujia. Wajahnya menatap siswa yang berlalu lalang di ambang pintu.

Sebuah kesialan yang tak diduga-duga sama sekali. Kami dikelabuhi oleh jam digital yang menunjukkan pukul 7.30, ternyata begitu sampai di sekolah, tak ada satupun orang yang datang. Alhasil, kami pun tidur kembali dalam kelas.

"Biarkan aku lolos kali ini. Aku lagi banyak pikiran dan lupa beli sore tadi,'' ucapku dengan nada malas. Karena terlalu bersemangat mengikuti event promo CCTV silikon, akhirnya aku lupa beli jam digital dan lupa pula menyingkirkan jam rusak itu.

''Soal bayangan hitam tadi malam, apa jangan-jangan itu paman Rai?''

Aku dan Fujia menatap Kenta yang mengungkit kejadian tadi malam. Mimik gadis itu menyiratkan tanda tanya besar.

Tadi malam memang ada sesuatu yang aneh. Aku merasa ada yang janggal, seseorang selian kami sepertinya memasuki rumah. Akan tetapi aku tak ingin membenarkan dugaan Kenta. Mereka akan semakin penasaran dan bertanya banyak hal padaku. Kali ini Fujia bisa lolos dari rumahku lantaran ayah tidak ada, malam besok dan hari berikutnya jika ia bertamu, aku belum tentu bisa menjamin keselamatannya. Ayah bisa saja menyuntikkan formula padanya dan itu akan menjadi masalah yang serius.

''Jangan bicarakan soal tadi malam. Kalian tidak ada bukti mengenai bayangan itu. Inilah akibatnya, kalau menonton film horor dengan lampu dimatikan,'' cetusku.

Ketika itu, Erika datang bergabung di meja kami. Ia duduk di dekat ku seraya tertawa lepas begitu menatap kami satu persatu. Senyumnya membangkitkan rasa penasaranku.

''Dari tadi beberapa orang di kelas sedang memperhatikan kalian. Apa yang terjadi, kalian seperti habis bergadang. Lingkaran di bawah mata itu sudah cukup hitam.''

Aku, Fujia dan Kenta saling bersua, tetapi tak ada satupun dari kami yang mau menjawab pertanyaannya. Kami membuka tutup ramen Yakisoba, bersama-sama. Ketika aku menguap, dua bocah ini juga menguap bersamaan.

"Kalian tampak sedang mengejek satu sama lain," kata Erika. "Tolong beri jawaban, karena aku sangat penasaran,'' Erika menyembunyikan tawanya dengan senyum. "Kenapa ada 3 panda sedang duduk di kantin? Hahaha. Dan penampilan Fujia sedikit berbeda selain lingkaran mata itu.''

''Kau tak akan percaya apa yang kualami tadi malam," aku menjawab seraya mengumpit bekal makanan Erika. "Kau memang peka, dia memaksa meminjam seragamku yang nyatanya lebih besar ukurannya dari tubuhnya. Kau bisa lihat sendiri ketidakcocokannya.''

"Eih, dia mulai lagi,'' Fujia menunjukku sedangkan wajahnya menatap Kenta, sedang mencari dukungan. ''Setekah ini pasti, pasti—"

Ia mengacungkan sumpit, tetapi ucapannya lekas kupotong, ''Tidak perlu dikembalikan, belikan yang baru saja!"

Fujia mendengus seraya menatapku sinis.

Sambil makan, mataku tertarik pada Kenta yang berbisik pada Erika. Katanya samar-samar kudengar, ''Apa mereka sedekat ini? Tadi pagi aku dibuat pusing karena melihat mereka sedang bertengkar.''

''Itu sudah menjadi hal biasa, lambat laun kau akan terbiasa. Mereka sering jalan bersama, kalau Fujia gagal mengutarakan perasaan pada gadis,'' jawab Erika.

Aku mengangguk karena Erika paham betul bagaimana pertemananku dengan Fujia. Memang setiap Fujia tertarik pada seorang gadis, ia selalu mengajakku. Padahal itu malah merugikan dirinya. Setiap gadis yang diajaknya bertemu, selalu mengajakku jalan-jalan dihari berikutnya. Tentu aja aku tak ingin disebut pagar makan tanaman. Diam-diam aku menolak mereka agar Fujia tidak menganggap aku musuhnya.

Mataku beralih pada Fujia yang tertarik dengan pembicaraan mereka. ''Lain kali, aku akan mengajakmu saja kalau lagi ada kencan, bagaimana?''

Platak!

Sumpit jatuh, saat aku menutup mata Fujia yang terus memandangi Kenta. Lalu berkata, ''Simpan senyum bodohmu itu!''

Dan aku berkata dalam hati, ''Repot kalau nanti semua gadis mengajak Kenta untuk kencan. Secara fisik, Kenta memiliki wajah yang cukup tampan untuk disebut laki-laki. Dan kurasa gadis-gadis pun akan tertarik dengannya.''

Next chapter